Puasa, Obat Maag Paling Mujarab

Dalam suatu obrolan menjelang bulan puasa, seorang teman bilang, bahwa dia tidak bisa puasa. Alasannya karena dia menderita sakit maag.

Saya juga seorang penderita sakit maag yang kronis. Sakit maag ini sudah saya derita sejak tahun 1974. Pada awalnya saya tidak tahu apa nama atau apa penyakit yang saya derita. Gejalanya, setiap pagi setelah habis shalat subuh, perut saya selalu melilit dan terasa perih.

Saya tak pernah mengatakan hal ini kepada siapapun, maklum, saya hidup di rantau hanya sendiri, jauh dari sanak dan saudara. Kalaupun ada saya tidak mau merepotkan mereka.
Setiap pagi saya merasakan perih di lambung saya. Dalam kesederhanaan pikiran dan ketidak tahuan saya, sarapan apakah yang cocok buat saya untuk menghilangkan rasa sakit ini. Apakah makan nasi atau bubur kacang hijau yang tiap pagi banyak di jual di pinggir jalan. Begitulah setiap hari saya rasakan. Saya tak pernah minum obat untuk sakit yang saya rasakan ini, karena tidak tahu obat apa yang harus saya minum.

Setelah pindah ke Jakarta 1978, barulah saya tahu bahwa saya menderita penyakit maag. Setelah saya berobat kerumah sakit karena terlalu sering mengalami gangguan di lambung saya. Sejak itulah saya selalu menyimpan persediaan obat-obatan untuk sakit maag saya ini.

Ketika akan memasuki bulan Ramadhan, saya sudah di liputi kecemasan. Apakah saya akan sanggup melakukan ibadah yang lamanya sebulan itu?

Pada hari pertama puasa, saya memang tersiksa sekali. Namun saya telah bertekad tidak akan membatalkan puasa saya. Saat itu saya sempat terfikir, kalau saya akan mati, biarlah mati dalam jihad Ramadhan ini.
Setelah lolos hari pertama dan hari kedua dengan rasa sakit yang semakin berkurang, alhamdulillah hari-hari selanjutnya saya bisa berpuasa dengan tenang tanpa ada gangguan lambung lagi, dan saya juga dapat beraktifitas dengan normal sebagaimana hari-hari biasanya.

Jadi bagi yang punya langganan sakit maag, tak usah cemas dalam melaksanakan puasa di bulan Ramadhan ini, puasa justru adalah obat bagi sakit maag anda, karena dalam bulan puasa jadwal makan kita yang di luar Ramadhan tak beraturan, yang menjadi biang kerok timbulnya sakit maag, saat itu tertata dengan baik dalam bentuk berbuka puasa dan sahur. Oleb sebab itu, jangan ada alasan lagi bila bulan Ramadhan tiba, anda tidak berpuasa karena alasan sakit maag.


Hari-hari Yang Sunyi

HARI-HARI YANG SUNYI

Semenjak umi dibawa pergi dan tak pernah kembali, kehidupan kami dirumah gadang berubah. Tak kedengaran lagi bunyi alu beradu dengan lasuang. Menumbuk kopi untuk dijadikan sabuak.Karena tidak ada yang menggantikan umi untuk berdagang berkeliling kampung. Umi belum sempat melakukan regenerasi pada anak-anaknya yang masih gadis-gadis kecil yang baru berusia belasan tahun.
Tak kedengaran lagi canda tawa kakak-kakakku, tuan Salim, uda Des dan aku. Kesunyian, kesedihan dan rasa kehilangan menyelimuti rumah gadang. Hari-hari berlalu dalam kemuraman, isak tangis terkadang datang putus bersambung diantara kakak-kakakku, sambil sesekali bertanya dalam ratapan mereka, kapankah umi akan pulang? apakah umi akan pergi selamanya dan tak akan kembali lagi? Pertanyaan yang pelan-pelan menghilang, berlalu bersama berjalannya waktu, tak seorangpun dapat memberikan jawabannya…
Gairah kehidupan tak ditemukan lagi diantara kami anak-anak umi yang enam orang. Walaupunetek Timah maupun amai Uda selalu mencoba dan berusaha menasehati dan membujuk kami agar tetap tabah dan selalu bersabar dan tawakal, menyerahkan segalanya akan takdir Allah, namun semangat kehidupan kami telah terenggut. Nasehat itu mungkin hanya dapat dimengerti oleh kakak-kakakku Inan, Ipah, Pidan maupun tuan Salim. Namun bagi uda Des dan aku semua itu tak bermakna apa-apa, kami belum mengerti apa-apa.
Belum sempat aku mengerti arti menjadi yatim karena ditinggalkan ayah disaat aku masih dalam kandungan umi, dan kini aku dan uda Des yatim piatu, karena umipun telah pergi menyusul ayah.
Berita dikampung beredar simpang siur, ada yang mengatakan umi ditembak di Kabunalah.Perbatasan nagari Kamang dengan Salo yang sepi tak berpenghuni. Berbagai tempat dan kampung disebut sebagai tempat pembuangan mayat umi. Tapi tak satupun yang pasti.
Kami terombang ambing dalam ketidak pastian dan penantian. Mata kakak-kakakku telah pada sembab memerah, karena tangis yang kunjung berhenti. Aku, hanya akulah yang tak bisa menangis. Si bungsu yang baru berusia menjelang 4 tahun. Bila aku melihat kakak-kakakku menangis sambil memeluk aku, aku hanya terdiam dengan pikiran yang menerawang, dan tak tahu harus berbuat apa.
Mungkin inilah mukjizat yang diberikan oleh Tuhan padaku, tak setetespun airmataku mengalir, padahal semua kakak-kakakku dan keluarga yang lain bertangisan. Tuhan memberi aku kekuatan dalam menghadapi musibah ini.
Rumah gadang kini terasa sepi, lantainya yang tebuat dari kayu, tak kedengaran lagi berisik terinjak oleh kaki-kaki kecil yang berlarian kesana kemari, tak ada lagi tawaria, maupun celoteh dari mulut-mulut kecil, canda diantara kami bersaudara.
Sekeliling terasa suram dan muram, kehidupan rasanya berhenti. Uda Des tak lagi bersemangat mengajakku pergi ke ladang, menggembalakan sapi peninggalan ayah kami.
Tuan salim pun tak bersemangat lagi belajar jadi tukang perabot rumah tangga, yang menjadi industri utama penduduk Kamang.
Setiap pagi sejak umi masih ada, aku selalu bangun paling belakangan. Sebelum turun kehalaman, dan dibawa kesumur dekat ladang. Aku duduk di kapalo janjang, anak tangga teratas rumah gadang, memperhatikan kesibukan umi maupun kakak-kakakku yang sibuk bekerja, didapur maupun dihalaman dibawah pohon manggis.
Kini, sejak umi tak ada lagi, semua kegiatan maupun kesibukan itu tak ada lagi. Aku hanya termangu duduk dikapalo janjang sambil melepaskan pandanganku kehalaman maupun kedapur, melihat kakak-kakakku berkumpul di sana.
Lesung batu yang umurnya lebih tua dari kakak-kakakku, tergeletak begitu saja dibawah pohon manggis, tak beranjak sedikitpun dari tempatnya, dipenuhi daun-daunan dan air yang menghitam tempat bersarangnya nyamuk. Tak jauh, dua buah alu yang telapaknya diberi besi agar kuat menumbuk buah kopi, bersandar dipohon manggis. Besi yang biasa mengkilat dan licin memutih karena dipakai saban hari, mulai memperlihatkan karat. Kuali yang biasa dipakai untuk merendang kopi, tengkurap penuh debu diatas pagu dapur. Begitu juga kisukan, penyaring kopi yang telah halus jadi bubuk, tergantung diam dipaku tiang dapur. Kaleng kopi umi yang lingkarannya lebih besar dari pelukanku, yang biasa dipakai untuk berdagang keliling kampung dengan menjujungnya dikepala, kini telah berubah fungsi menjadi tempat peralatan dapur.
Aku lebih sering main sendiri, terkadang mengelamun sambil membayangkan dan berharap umi kembali. Fitrizal, anak etek Timah yang biasanya paling suka mengganggu aku, seakan juga mengerti dengan keadaanku. Bila aku duduk menyendiri, karena kakak-kakakku sibuk dengan urusannya masing-masing. Dia datang menghampiri, duduk diam disampingku.
Bila malam tiba, kesunyian itu makin terasa. Walau rutinitas kehidupan kami tetap berjalan seperti biasa. Namun hilangnya umi yang sehari-harinya memegang tongkat komando ditengah-tengah kami sangat terasa. Tak kedengaran lagi suara umi menyuruh kakak-kakakku membereskan piring setelah makan. Dan lalu dilanjutkan dengan perintah untuk mengaji membaca Al-Qur’an bersama-sama. Serta membetulkan bacaan siapa yang salah.
Kini bila makan malam tiba setelah selesai shalat magrib, semuanya membisu, hanya dentingan beradunya sendok dengan piring yang memecah kesunyian. Bila sedang mengaji membaca Al-Qur’an. Kalau semasa umi masih bersama kami, suara kakak-kakakku saling bersaing berirama melantunkan ayat-ayat suci itu. Kini, yang terdengar hanyalah bacaan lirih, yang sering diiringi isakan tangis.
Malam haripun berlalu terasa begitu lama. Suara binatang malam yang selama ini bagaikan musik merdu berirama indah, kini seperti nyanyian sunyi yang menyayat hati. Gemerisik daun kayu ditiup angin, seakan tarikan nafas umi yang sedang meregang nyawa diberondong senjata api. Malam-malam yang panjang, alangkah sulitnya mata terpejam.

TAMAT





* lasuang  = lesung batu,   sabuak = bubuk kopi,   etek = bibi adik ibu,   tuan & uda = kakak laki-laki, mas (Jawa),  amai = bibi kakak ibu,  kapalo janjang = anak tangga paling atas,  kisukan =ayakan tepung, 

Pergi Dibawah Todongan Senjata Api

Seorang Balita di Tengah Pergolakan PRRI  (11)Umi Basiah
Kebiasaanku setiap hari sejak tak seorangpun diantara kami yang boleh menemani umi di bok, adalah menunggu kepulangan umi menjelang zuhur, siang hari. Kemudian melepas beliau ketika umi telah selesai shalat ashar.
Tapi itu tak berlangsung lama.
Hari terakhir pulang, umi bilang, umi tidak akan kembali ke bok, ketika diantara kakakku bertanya kenapa, umi bilang ketika mau pulang tentara yang berjaga mengatakan bahwa umi tidak usah lagi kembali ke bok .
Kami begitu bahagia, kini kami tidak lagi akan kehilangan umi buat selamanya. Keceriaan mulai bersemi lagi di rumah gadang, wajah-wajah kembali berseri. Kakak-kakakku mulai membersihkan lagi peralatan dagang umi. Dapur yang berantakan dirapikan lagi, masakan hari itupun agak istimewa.
Ketika mangrib menjelang, kami semua telah berada di rumah gadang. Umi dan kakak-kakakku semua menunaikan shalat magrib, kecuali uda Des dan aku yang masih balita.
Ketika semua selesai shalat, kami makan bersama-sama dalam suasana yang bahagia, karena umi telah berada lagi ditengah-tengah kami. Dentingan sendok beradu dengan piring, begitu sering dan nyaring terdengar. Hal yang tak pernah terjadi semenjak umi di tahan.
Selesai makan, peralatan dibenahi. Ketiga kakakku begitu bersemangat bekerja, sehingga dalam waktu singkat rumah gadang telah rapi kembali.
Baru saja aku mengambil nafas karena makan kekenyangan, aku mendengar suara sepatu seperti berlarian di sekeliling rumah. Aku ingat bunyi suara sepatu seperti itu seperti sepatu tentara yang ada di bok. Tak lama kemudian terdengar suara: “Oi….buka pintu…!!!
Serentak kami semua terdiam….hening!
“Oi….buka pintu!” suara itu kembali terdengar, dan rasanya lebih lantang dari yang pertama, ini disebabkan kami semua sudah terdiam. Mendengar suara itu, wajah-wajah yang tadi gembira langsung berubah, kami saling pandang, dan pandangan terakhir jatuh pada umi.
Umi tak perlu menunggu lama untuk bangkit dari tempat duduknya. Apalagi setelah melihat anak-anaknya dalam keadaan tegang, pucat, takut dan gelisah. Umi bangkit dan berjalan menuju pintu, nenek yang selama ini hanya diam tak pernah ikut campur, karena kondisi fisiknya yang sudah lemah dan sakit-sakitan, seakan mendapat firasat buruk, dengan tertatih-tatih ikut bangkit menemani umi.
Benar saja, baru saja umi membuka pintu, seorang tentara dengan persenjataan lengkap, langsung mengatakan:
“Ibu harus ikut kami sekarang juga!
Sementara dibelakang dan sekeliling rumah,beberapa orang tentara dalam posisi siaga, untuk menjaga segala kemungkinan.
Umi yang sudah terbiasa menghadapi tentara selama di bok maupun di pos Pintu Koto, apalagi mereka yang datang ini sudah dikenal oleh umi, dihadapi umi dengan tenang.
“Baik pak, tapi izinkan saya untuk berkemas dan shalat isya sebentar…”
Si tentara yang menjadi juru bicara, melihat kebelakang. Rupanya di antara tentara yang sedang mengepung rumah kami tersebut, terdapat tentara yang lebih senior. Si Senior mengganggukkan kepala.
Umi lalu masuk, kembali kedalam rumah gadang. Sementara kakak-kakakku sudah tidak tahan dengan situasi yang ada. Mereka mulai bertangisan, umi berusaha menenangkan mereka, namun tak berhasil.
Umi lalu masuk kamar, membuka lemari dan mengganti pakaian. Baju kurung putih dengan kerudung juga putih. Disaat umi bersalin bedug isya pun terdengar. Selesai bersalin umi langsung memakai mukena, kain sarung dan shalat isya.
Disaat umi shalat, adalah saat yang menegangkan. Kakak-kakakku tak bisa menghentikan tangisnya, nenekku juga sudah mulai terpengaruh, begitu juga etekku yang sedang memangku anaknya. Tuan Salim kakakku yang nomor empat hanya tertunduk diam, namun sesekali aku melihat dia menghapus airmatanya. Uda Des dan aku pun diam. Tuo yang sudah buta dan tak bisa kemana-mana, serta pendengarannya yang sudah berkurang, hanya duduk tafakur, di sajadahnya.
Selesai shalat, umi merapikan perlengkapan shalatnya. Mukena, kain sarung sajadah dilipat ditumpuk jadi satu. Umi lalu mengambil Al-Quran yang masih baru, dua buah. Satu Al-Qur’an biasa, dan yang satu lagi Al-Qur’an ukuran kecil. Kedua kitab suci itu di letakkan diatas perlengkapan shalatnya. Lalu dibungkus oleh umi dengan sebuah kain panjang yang dilipat dua.
Setelah semua selesai, umi berjalan memangku bungkusannya diharibaannya, menuju pintu keluar di rumah saruang. Serentak semua yang ada di rumah gadang saat itu bangkit mengiringi umi dengan tangisan yang tak lagi dapat dibendung.
Umi menuruni tangga, diiringi yang lain. Nenek yang sudah renta tergelincir di tangga, untung ada yang cepat memegang hingga tidak sampai terjatuh ke halaman. Semuanya turun mengiringi umi, tapi begitu sampai dihalaman kami dihadang. Dalam ratapan yang tak lagi terbendung, negosiasi terjadi diiringi tangisan, tapi semua kandas. Permintaan terakhir, agar aku diperkenankan ikut bersama umi, pun tak di kabulkan.
Umi dibawa pergi, di bawah kawalan tentara bersenjata lengkap, diiringi ratapan yang menyayat hati. Runtuhlah bumi tempat berpijak, putuslah tali tempat bergantung, kepada siapa lagi tempat mengadu. Semua menangis, kecuali satu orang. Si kecil yang hanya diam membisu, yang tak tahu harus berbuat apa. Setetespun airmatanya tak mengalir, namun pandangannya nanar, jauh…..,mengiringi langkah sang bunda yang di bawa pergi entah kemana, pergi dan tak pernah kembali…..

Seorang Balita di Tengah Pergolakan PRRI (10)

Menghitung hari
Sejak kejadian aku kehilangan umi, aku dan uda Des tidak diperbolehkan lagi ikut menemani umi di bok. Kami enam orang kakak beradik, kembali berkumpul lengkap di rumah setap hari. Kehidupan kami sejak umi ditahan sudah tidak karuan. Umi yang selama ini adalah tulang punggung keluarga, tidak lagi berada ditengah-tengah kami. Tidak ada lagi yang jadi panutan ditengah keluarga kami, kakak-kakakku yang masih berusia belasan tahun, belum satupun yang bisa menjadi pengganti umi, menjadi pengendali ditengah keluarga, maupun yang melanjutkan usaha umi sebagai pedagang kopi bubuk.
Kehadiran umi yang hanya beberapa jam sehari disiang hari, tidak cukup untuk mempertahankan keadaan, apa lagi untuk memperbaikinya. Kami bagaikan kapal kehilangan nakoda, tidak tahu harus berbuat apa, mengarungi samudra kehidupan dengan gelombang yang siap menggulung dan badai yang dapat menenggelamkan kami semua. Tidak ada yang memimpin dan tak satupun yang berbakat sebagai pemimpin, karena semuanya masih muda belia.
Kami enam orang bersaudara, dengan dua ayah yang berbeda.
Kakakku 4 orang, pertama sampai yang ke empat, tiga perempuan dan yang terakhir satu laki-laki, punya ayah berasal dari desa Balai Panjang. Ketika ayah mereka menceraikan umi dan menikah lagi, umi menikah dengan ayahku yang berasal dari desa Guguk Rang Pisang, dan umi melahirkan dua anak laki-laki, uda Des dan aku. Ketika umi hamil tujuh bulan, ayahku meninggal karena sakit, dan lahirlah aku sebagai anak yatim. Karena tidak ada lagi kepala keluarga ditengah keluarga kami, ayah kakak-kakakku kembali rujuk dengan umi, uda Des dan akupun lalu memanggilnya ayah.
Umi dengan naluri keibuannya, berhasil mendidik kami menjadi keluarga yang utuh antara aku dan uda Des dengan kakak-kakakku yang lain.
Ditangkapnya umi karena fitnah anggota OPR binaan PKI yang saat itu begitu erat bersanding dengan Soekarno, membuat segalanya berubah.
Umi yang menjadi tulang punggung keluarga, karena ayah juga mempunyai anak dengan istri yang lain dan jarang dirumah, menghidupi kami anak-anaknya dengan berjualan kopi bubuk yang di jajakan berkelililng kampung di nagari Kamang. Kami memang mempunyai beberapa petak sawah serta kebun untuk menghidupi keluarga. Tapi itu tidak cukup untuk satu keluarga dengan enam anak yang masih kecil-kecil. Dari balita seperti aku dan uda Des, serta kakak-kakakku yang baru menginjak remaja berusia belasan tahun dan masih bersekolah.
Dengan ditahannya umi, apa yang dapat dilakukan oleh kakak-kakakku yang masih remaja itu beserta kami berdua yang masih balita? Sementara ayah juga ikut mengungsi, karena tak ingin juga jadi sasaran fitnah OPR dan ditangkap oleh tentara APRI, yang saat itu menahan umi.
Memang ada etek, adik umiku yang tinggal serumah engan kami di rumah gadang. Tapi dia bukan pula adik kandung umi, hanya adik sepupu. Dia juga punya anak yang usianya hanya berbeda enam bulan lebih muda dariku. Suaminya yang pegawai negeri, saat itupun ikut mengungsi. Satu lagi saudara sepupu umi yang lain, tinggal agak jauh dari kami, bersuamikan seorang guru dengan dua anak wanita sebaya dengan kakakku.
Kami saat itu, bagaikan hanya tinggal menghitung hari. Untuk menuju dan memasuki arena perjuangan hidup yang sesungguhnya!

Seorang Balita di Tengah Pergolakan PRRI (9)

Umi Hilang
Kembali giliranku menemani umi ke bok, setelah semalam kakakku Des yang usianya beda dua tahun dariku.
Perjalanan dari rumah ke bok kami lalui aman-aman saja seperti hari-hari sebelumnya. Karena kami tidak mampir di pos tentara di Pintu Koto, kami tiba lebih cepat dari sebelumnya. Kami sampai di bok hari masih terang, tapi tentara yang berada disana aku lihat telah berpakaian lengkap. Aku tidak tahu kemana mereka akan beroperasi malam ini.
Karena matahari semakin condong ke barat dan tertutup awan, suasana didalam bok terasa semakin gelap, sementara lampu petromax belum dinyalakan. Tidak betah dengan kegelapan dalam bok, aku bermain dihalaman samping, dekat palanta bambu. Matahari semakin turun merendah, awan-awan yang tadinya berwarna putih berangsur berubah kemerahan yang makin lama semakin pekat seiring datangnya malam. Awan-awan yang berarak diangkasa menghadirkan lukisan yang begitu indah, saat itu terbersit wajah ayahku, yang tak pernah ku tahu seperti apa gerangan rupanya. Karena dia telah dipanggil menemui Tuhan  sewaktu aku masih dalam kandungan umi. Kakakku pernah bercerita, bahwa arwah ayahku bersembunyi di balik awan senja bila dia ingin melihat aku. Jadi bila aku ingin menemui ayahku, lihatlah dia di senja hari, ketika matahari akan tenggelam, lihatlah dia di balik awan yang berarak di rembang petang, yang berwarna kemerahan, bergulung bergelombang, bergerak lembut ditiup angin senja, lukisan maha indah dari sang Pencipta.
Belaian lembut di kepalaku membangunkan aku dari lamunan. Tanpa kusadari rupanya umi telah berdiri dibelakangku. Entah sudah berapa lama aku tidak tahu, aku lalu di angkatnya kepangkuannya. Barulah aku sadar bahwa matahari telah tenggelam, dan awan yang menyembunyikan ayahku tak kelihatan lagi.
Aku dibawa umi kedalam bok, didudukan di balai-balai yang biasa kami tempati. Umi bersiap-siap untuk shalat magrib.
Selesai shalat magrib umi mengambil Al-Qur’an, umi mengaji dengan suara lirih, aku hanya menyimak dalam diam, karena itulah ajaran umi kepada kami. Bila kami mendengarkan orang sedang mengaji, kami harus diam. Bila kakakku mengaji, yang tidak mengaji harus diam menyimak, dan kalau sedang bekerja, bekerjalah dalam diam.
Selesai mengaji umi mengambil nasi bungkus yang dibawa dari rumah, kami makan berdua. Dua orang tahanan wanita yang berada disamping kami telah duluan makan, sementara tentara ada yang makan duluan ada juga yang belakangan.
Selesai makan umi berbenah, membentangkan kain panjang diatas balai-balai untuk alas tidur kami. Aku menggelengkan kepala ketika umi menanyakan apakan aku sudah mengantuk. Aku duduk sendiri ketika umi mengambil air wudhuk untuk melakukan shalat isya.
Aku memperhatikan seperti ada kesibukan diantara para tentara yang berada di bok saat itu. Suara-suara dalam bahasa Jawa terdengar begitu ramai, aku merasa tidak nyaman, karena aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Untunglah umi segera datang, sehingga aku sedikit tenang. Baru saja umi mau shalat isya, dua tahanan wanita yang berada disebelah kami di panggil. Mereka berjalan berdua berpegangan dengan wajah yang penuh ketakutan, darahku berdebar, aku melihat kearah umi. Rupanya umi tengah khusuk dalam shalatnya, aku menggeser dudukku lebih dekat ke umi. Perasaanku tidak tenang, mataku liar memandang kearah tentara yang masih bersileweran di dalam bok dengan persiapan mereka masing-masing. Apakah umi juga mau dibawa seperti kedua orang itu? Seperti tahanan laki-laki yang dibawa kemarin, dan saat ini tak ada lagi di bok?
Aku rasakan umi shalat begitu lama, aku sudah tak sabar agar umi segera selesai shalat, biar aku bisa lebih dekat ke umi. Saat ini rasanya aku ingin berada dalam pelukan umi, karena aku tak ingin umi juga di bawa seperti dua tahanan wanita itu. Kalau umi di bawa dengan siapa aku tinggal di box ini?
Akhirnya umi selesai juga shalat isya, aku tak sabar menunggu umi berdo’a, aku langsung menghambur ke pangkuan umi, memeluk umi dan tak ingin melepaskannya lagi!
Umi berusaha menenangkan aku, dengan belaian dan kata-katanya yang lembut, dan juga menyemangati aku agar tidak menjadi orang penakut, kita boleh takut hanya kepada Tuhan, sebab Tuhanlah yang mengatur segalanya, apapun yang akan terjadi pada dirir kita.
Aku tidak tahu berapa lama aku berada dipangkuan umi, hingga akhirnya aku tertidur disana.
Pagi itu aku bangun kesiangan dari biasanya. Kulihat umi tidak ada disampingku, dibalai-balai sebelah kami yang biasanya ditempati dua tahanan wanita yang dibawa pergi tadi malam juga kosong, di dapur kosong, aku lihat sekeliling bok. Beberapa orang tentara masih tertidur dengan pakaian seragam mereka. Aku panik, benarkah umi juga ikut dibawa disaat aku tidur semalam?
Aku memanggil umi, tak ada yang menyahut. Aku lalu berjalan keluar bok, sambil memanggil umi. Aku berjalan terus menuju sumur, umi tak ada! Aku kembali ke bok, sambil terus memanggil umi, namun umi bagai hilang ditelan bumi!. Para tentara yang berada di bok pun tak ada yang menyahuti panggilanku, untuk memberi tahu dimana umi berada.
Aku terus berjalan melewati bok kearah belakang, menyeberangi pematang tabek, dan masuk kampung. Air mataku tak bisa lagi aku tahan, aku menangis sambil tetap memanggil-manggil umi.
Jarak antara bok dengan rumah di kampung cukup jauh. Aku melewati jalan setapak diantara kebun yang penuh pepohonan. Akhirnya aku masuk kampung dan melihat rumah penduduk. Aku terus memanggil umi, begitu aku semakin dekat dengan rumah pertama yang aku temui, pintu dan jendelanya tiba-tiba tertutup. Begitu juga rumah berikutnya dan berikutnya lagi. Tapi sekilas aku juga melihat, ada orang yang mengintip dari balik pintu yang kelihatan renggang dan bergerak-gerak.
Karena merasa sudah berjalan begitu jauh masuk kampung, tanpa mendapatkan hasil dan tak satupun tempat untuk bertanya, akhirnya aku balik lagi menuju bok. Tangan dan bajuku sudah basah dipakai untuk mengelap airmataku. Suaraku sudah parau berteriak memanggil umi, namun tak satupun yang memberikan jawaban. Aku terus berjalan, kembali menuju bok.
Sampai di bok aku tidak masuk, aku terus berjalan kearah yang berlawanan. Dekat persimpangan ke kampung dan yang ke sumur aku bingung mau kemana. Tapi aku pergi kearah sumur sambil tetap memanggil-manggil umi.
Rupanya Tuhan mendengarkan tangisanku, dan masih mempertemukan aku dengan umi. Dari sumur terdengar suara umi menyahuti penggilanku. Aku berlari menuruni jalan kesumur tanpa memikirkan aku bisa jatuh bergulingan, atau tercebur masuk tabek. Dan menelan aku di kedalaman airnya. Melihat aku lari di penurunan jalan kesumur, umi segera mengejar menyonsong aku, begitu dekat aku langsung menghambur kepangkuan umi dengan tangisan yang tak bisa lagi aku tahan.
Melihat aku menangis begitu sedih sambil memanggil umi, mata umi sempat juga berkaca-kaca.  Tapi umi nampaknya lebih bisa menahan tangisnya dibanding aku. Aku di pangku kesumur, pakaianku di buka dan aku dimandikan. Isak tangisku masih belum bisa aku tahan, sementara umi sudah tenang dan kemudian juga berusaha untuk menenangkan aku.
Selesai mandi kami kembali ke bok, aku tak mau berjalan, karena aku tak mau berpisah dengan umi, akhirnya aku di pangku menuju bok. Sesekali isak tangisku keluar tanpa bisa ditahan
Namun akibat kejadian itu, mulai saat itu umi tidak diperbolehkan lagi membawa aku ataupun kakakku Des, ke bok.
Siangnya, setelah aku dan umi sampai dirumah dan aku menceritakan kejadian pagi harinya, barulah umi bercerita, kemana umi saat aku mencarinya.
Waktu aku datang kesumur sebenarnya umi sudah tahu dan mendengar panggilanku, Cuma karena saat itu sedang berada di jamban tabek, umi tidak menyahuti panggilanku, karena disangka umi aku akan menunggu di sumur. Setelah umi selesai dan melihat aku tidak ada, umi menyangka aku kembali ke bok dan menunggu di bok. Karena umi membantu membersihkan peralatan bok di sumur hanya sendiri, karena dua tahanan wanita sebelumnya sudah tidak ada makanya umi di sumur cukup lama. Hingga aku datang kedua kalinya kesumur sambil menangis.

Senjata Itu Meledak di Samping kepalaku

Seorang Balita di Tengah Pergolakan PRRI (8)
Kehadiranku di dalam tahanan markas tentara di nagari Magek itu sedikit mewarnai keadaan disana. Aku lebih banyak diam, karena suasana disana memang tak terasa nyaman bagiku, juga bahasa para tentara itu yang tak satupun aku mengerti, bila mereka berbicara sesamanya, umi bilang itu bahasa Jawa. Tapi aku juga tak merasa ketakutan, melihat tentara bersileweran dengan memanggul berbagai macam senjata.
Tapi mungkin diamnya aku dan tanpa rasa takut, berbeda dengan bila mereka bertemu dengan anak-anak yang kadang lebih tua dariku, yang suka menjerit ketakutan atau lari terbirit-birit begitu melihat tentara lewat dikampung mereka, membuat banyak tentara disana itu yang merasa penasaran dan berusaha untuk mengajak aku bermain atau berteman seakan aku anak ataupun adiknya.
Begitupun pagi itu.
Aku sedang duduk di dalam bok, umi sedang berbenah, karena menjelang siang nanti kami akan pulang. Selagi asyik melihat umi bekerja, aku mendengar seseorang memanggilku di luar.
“Mi….., ayo main diluar sini…!”
Aku melihat umi, tanpa menunggu aku bertanya, umi bilang: “pergilah…!”
Aku berjalan keluar bok. Diluar matahari pagi bersinar begitu cerah membuat mataku sejenak silau, karena didalam bok pencahayaan tak begitu memadai, sebab hanya mengandalkan cahaya yang menerobos melalui atap atau pintu keluar satu-satunya.
Setelah berhenti sejenak untuk menyesuaikan penglihatanku dengan suasana diluar bok, keluar dari pintu aku lalu belok kekiri, kemudian kekiri lagi memasuki halaman samping. Dari halaman samping bok, pemandangan kedepan begitu indah. Didepanku terbentang sawah dengan padi yang sedang menguning, bagaikan hamparan mas membentang luas, terayun ayun di belai angin yang bertiup lembut. Burung pipit beterbangan dan hinggap di tangkai padi yang merunduk keberatan beban. Alam terasa begitu damai, ditengah perang atau pergolakan yang tidak tahu kapan akan berhentinya.
Sambil berjalan aku melihat beberapa orang tentara berada dihalaman samping itu, ada yang baru selesai mandi dan menjemur pakaian, ada juga yang ngobrol sambil berolahraga serta ada juga yang sedang membersihkan senjatanya.
Sejenak aku bingung dan lupa sama suara yang memanggiku tadi, tapi itu tak lama suara itu kembali terdengar: “yuk, sini…”
Aku lalu menoleh ke bangku bambu yang berada di bawah pohon, yang aku tidak tahu nama kayunya. Bangku itu di buat persis menghadap ke sawah yang membentang didepan kami. Aku lalu berdiri dekat bangku yang tingginya se bahu aku itu, aku tida bisa menaikinya untuk dudu disana. Tentara yang memanggil aku tadi sedang duduk dibangku itu sendiri, dia sedang membersihkan senjatanya, sejenak dia melihat ke arahku.
Tentara itu meletakkan senjatanya diujung bangku sebelah kanan, sambil tetap duduk dibangku, dia lalu merunduk dan mengangkat aku dan mendudukkan aku diatas pahanya, dengan menghadap kearah sawah.
Setelah aku duduk dipahanya dia kembali mengambil senjatanya, lalu mengangkat senjata dan mulai membidik kea rah sawah. Aku lalu disuruh sama dia membidik seekor burung yang sedang hinggap diatas padi, tapi mana aku tahu bagaimana cara membidik, walaupun telah ditunjukkan oleh dia bagaimana menghubungkan dua titik bidikan yang ada dipangkal senjata bagian atas pelatuk dan yang ada di ujung laras dengan burung yang hinggap disawah.
Dalam kebingunganku mendengar aba-abanya, tiba-tiba senjata itu meledak! Duaaar…. Aku terkejut, suara ledakan itu memekakkan telingaku, seraca reflek tanganku menutup kedua telingaku. Pergerakkanku yang tiba-tiba itu membuat posisi dudukku diatas pahanya tidak seimbang, hingga aku terhuyung jatuh kearah depan, untunglah tangan kirinya dengan cepat memeluk aku dari belakang, hingga aku hanya terhuyung, tidak sampai jatuh ketanah.
Aku dipindahkan duduk diatas palanta disampingnya, sementara dia menyuruh si pengantar nasi untuk pergi kesawah untuk melihat hasil tembakannya.
Mendengar suara ledakan senjata api di halaman samping, umi juga terkejut dan keluar menuju tempat aku berada. Tapi begitu umi melihat aku tidak apa-apa dan hanya berdiri terdiam sambil melihat kesawah, umi mulai memperlihatkan sikap agak tenang, aku di pangku dan dibawa kembali kedalam bok.
Dari pangkuan umi aku menyaksikan burung-beterbangan dari tangkai padi ketika si pengantar nasi masuk kesawah, setelah berputar-putar melihat sekitarnya, akhirnya dia kembali dengan tangan hampa.
Kalau tadi aku lihat wajah umi dalam kecemasan, kini wajah itu berubah menjadi kemarahan. Aku tahu karena aku pernah melihat umi marah kepada kakakku. Tapi nampaknya umi tidak dapat mengungkapkan kemarahannya disana, umi hanya diam dan memendam kemarahan itu, karena umi sadar, di sana umi adalah tahanan perang, tanpa kesalahan yang jelas, hanya karena fitnahan anggota OPR binaan PKI yang mencari muka ke tentara pusat, untuk kesenangan diri sendiri dan mengorbankan warga sekampung.
Ketika kami sampai di dalam bok, aku melihat satu-satunya tahanan laki-laki, yang berada disana dibawa keluar oleh beberapa orang tentara berseragam lengkap. Umi serta dua tahanan wanita lainnya tidak tahu kemana dia dibawa.
Setelah selesai berbenah, kami lalu keluar dari bok. Umi melapor ke tentara yang sedang bertugas jaga. Setelah diizinkan kami lalu meninggalkan bok, pulang ke rumah di Ladang Darek dan harus kembali lagi ke bok nanti sore, selepas shalat asyar. Itu juga berarti aku harus tinggal dirumah, bergantaian dengan uda Des menemani umi kembali ke bok tempat umi ditahan.

Seorang Balita di Tengah Pergolakan PRRI (7)

Menikmati masakan Jawa



Aku terbangun hari sudah siang. Umi tidak ada disampingku, aku lalu duduk sambil melihat kesekeliling. Aku melihat umi sedang berada di sudut bok yang berfungsi sebagai dapur, melihat aku bangun umi lalu mendekatiku. Umi mengemasi balai-balai tempat tidur kami, melipat kain panjang yang menjadi alas tidurku dan juga selimut. Sambil bekerja umi menanyaiku apakah aku mau mandi, aku mengangguk. Selesai membereskan tempat tidur kami, umi memangku aku keluar dari bok.

Dari pangkuan umi aku melihat banyak tentara bergelimpangan tidur dengan masih memakai pakaian seragam mereka, aku tidak tahu kapan mereka kembali dari operasinya. Sesampai diluar bok aku juga melihat beberapa orang tentara yang baru bangun, maupun yang sudah selesai mandi serta yang masih berjaga-jaga.

Sampai diluar bok aku diturunkan umi dari pangkuannya. Kami berjalan menuju sumur yang terletak dipinggir tabek ikan, dibawah bukit dimana bok berada. Setelah agak jauh dari bok kami menemukan jalan dua jalur, kekiri jalan datar kearah kampung yang kami lewati kemarin, waktu datang dari rumah dan mampir di pos Pintu Koto, sementara yang kekanan jalan menurun. Kami mengambil jalan yang ke kanan. Jalan ini menurun, disebelah kiri kami tebing yang semakin jauh kami turun, tebing itu makin tinggi kurasakan. Dikanan kami jurang curam yang berujung di tabek ikan.

Di ujung penurunan terdapat sebuah sumur. Disekeliling sumur ditutup dengan daun kelapa yang di jalin bersilangan setinggi orang dewasa, kecuali sisi dekat tebing.

Aku dimandikan umi, dinginnya udara pagi membuat aku menggigil kedinginan, tapi itu hanya sebentar setelah aku disabuni rasa dingin itu mulai berkurang. Setelah selesai mandi dan ganti baju kami kembali ke bok. Umi tidak ikut mandi, karena umi sudah duluan mandi sewaktu umi bangun subuh.

Sampai di bok aku melihat ada orang baru yang belum pernah kulihat sebelumnya, rupanya dia orang yang mengantarkan makanan untuk tentara yang bermarkas di bok. Dihadapannya beberapa buah rantang berisi makanan terletak di atas balai-balai yang ukurannya paling luas. Beberapa orang tentara diantaranya sudah menikmati sarapan paginya.

Melihat tentara itu makan, umi lalu mengeluarkan bungkusan nasi yang dibawa dari rumah kemarin, yang masih tersisa satu bungkus. Umi mengambil air buat cuci tangan, mencuci tangannya dan kemudian juga tanganku. Umi membuka bungkus nasi, setelah bungkusnya terbuka, kelihatanlah nasi putih dengan lauk ditengah-tengahnya. Walaupun sudah terletak semalaman, namun nasi yang kami makan itu biarpun dingin tapi tidak basi.

Melihat kami makan nasi dingin, seorang tentara yang kelihatannya lebih tua dari yang lainnya, mengajak aku ikut makan bersama mereka, umi menolak ajakan itu secara halus. Tapi dia rupanya serius mengajak aku makan bersamanya, dengan menyuruh si pengantar nasi menjemput aku dengan menggendongnya ketempat mereka makan. Umi dengan perasaan serba salah terpaksa membiarkannya.

Aku didudukkan disamping tentara yang lagi makan itu, diambilkan piring dan diisi nasi. Ketika akan diisi lauk pauk aku bingung, karena aku belum pernah melihat masakan yang ada dihadapanku itu sebelumnya. Tanpa bertanya, si pengirim nasi menambahkan lauk itu ke piring yang diambilkan untukku. Aku hanya diam saja, karena suasana yang asing di dalam bok itu masing menyelimutiku.

Setelah isinya lengkap, piring makanan itu lalu di letakkan dihadapanku. Beserta secangkir air teh untuk minumnya. Aku melihat kearah umi, umi hanya mengangguk.

Aku melihat piring nasi yang telah berisi lengkap itu. Pelan - pelan aku mengambil kentang, aku berpikir kok gulai kentangnya berwarna coklat? Biasanya kalau umi memasak gulai kentang, warnanya putih, kuning atau merah. Tapi yang ada dihadapanku saat itu gulai kentang berwarna coklat seperti kolak . dengan perasaan penuh tanda tanya aku membawa kentang itu kemulutku. Baru saja kentang itu tergigit dan kuah yang menempel disana tersentuh oleh lidahku, aku tersedak, kentang itu terasa terasa manis! Aku kelabakan.

Di keluarga kami, adalah larangan yang paling keras memuntahkan makanan dari mulut, makanya setiap akan menyuap nasi atau makanan apapun, kami disuruh memeriksa dulu apa yang kami makan, kalau ikan apakah ada tulangnya, kalau buah mungkin busuk, atau makanan yang dimasak mungkin basi. Tapi aku saat itu, tak bisa mentaati larangan itu. Kentang yang rasanya manis seperti gula merah, langsung aku muntahkan ke tanganku, dengan perasaan takut, aku melihat kearah umi. Rupanya umi juga melihat kearahku. Umi meninggalkan makannya dan menghampiriku, dan mengambil kentang yang tadi aku muntahkan ditanganku, sambil bertanya kenapa. Tapi bukannya jawaban atas petanyaan umi yang aku berikan, malah aku minta minum, karena dimulutku masih tertinggal sisa gigitan. Umi lalu mengambil cangkir air teh yang telah disediakan pengantar nasi tadi. Tanpa berpikir panjang aku lalu meminum air yang di cangkir itu. Baru saja aku minum beberapa teguk aku tersedak lagi, dan lebih parah, karena air yang baru aku minum keluar dari hidung!

Umi nampaknya mengerti permasalahanku, umi segera pergi ke balai-balai tempat dia makan, lalu mengambil cangkir bekas minumnya yang masih berisi air, dan sekalian membawa kain panjang. Aku kembali diberi air minum dari cangkir yang di bawa umi. Aku minum, sementara umi membersihkan lantai bekas tumpahan air sedakanku.

Cukup banyak aku minum, hingga cangkir yang dibawa umi kosong. Setelah aku agak tenang, barulah aku sadar, tentara yang sedang makan itu mentertawakan aku!

“Kamu tidak suka smur, ya?” kata si pengantar nasi kepadaku dalam bahasa Minang yang kedengaran aneh di telingaku.

Aku hanya diam, sementara hidungku perih dan kepalaku berdenyut-denyut karena kesedakan tadi. Mataku kembali melihat gulai kentang yang masih ada di piring makanku. Smur, itu nama gulai kentang ini? Tapi kok manis? Gulai kok manis? Alam pikiran kecilku dijejali pertanyaan yang aku tak tahu jawabannya. Sebab bila umi maupun kakak-kakakku membuat gulai, pasti pedas tak pernah manis, dan belum habis sensasi rasa gulai manis ini meneror selera makanku, sensasi kedua ikutan menyerbu, disaat aku ingin menghilangkan rasa gulai kentang manis itu dari mulutku dengan minum air tawar, yang diberikan pengantar nasi itu justru teh manis!

Bukannya aku tak suka teh manis, tapi kebiasaan kami makan selama yang aku tahu tak pernah minumnya pakai teh manis. Jadi sensasi rasa teh manis disaat aku mengharapkan air tawar itulah yang membuat aku tersedak lebih parah, sebab airnya sudah sampai di tenggorokanku karena aku minum buru-buru untuk menghilangkan rasa manis smur kentang.

Aku dipangku umi kembali ke balai-balai tempat umi makan, nasi dingin peninggalan kemarin itu masih tersisa banyak, karena umi baru memakannya beberapa suap sebelum kejadian yang menimpa aku tadi. Tanpa bertanya umi lalu menyuapi aku. Rasa masakan yang sudah begitu familiar di lidahku, membuat aku segra melupakan kejadian tadi dan makan bersama umi hingga nasi itu habis oleh kami berdua. Sementara tentara itu juga makan dengan nikmatnya dengan smur kentang yang rasanya manis itu, serta minum dengan air teh yang juga manis.



Bersambung

Seorang Balita ditengah Pergolakan PRRI (6)

Aku menginap di tahanan



Kami masuk kedalam bok, setelah umi berbicara sejenak dengan tentara yang berjaga diluar. Sampai di dalam umi, meletakkan aku di salah satu balai-balai bambu. Aku duduk, sementara umi meletakkan barang bawaannya, pakaian ganti, dan dua bungkus nasi yang dibungkus pakai daun pisang yang dibawa dari rumah. Sementara umi pergi berwudhuk kesumur diluar bok, aku memperhatikan keadaan disekelingku.

Ruangan dalam bok itu diterangi sebuah lampu petromak, yang di kampung kami lebih akrab dipanggil lampu starongkeng. Tidak seperti biasanya, bila orang kampung memasang lampu pertromak menggantungnya di langit-langit rumah, maka lampu di dalam bok ini diletakkan saja di atas lantai balai-balai dengan tudung lampunya yang tetap terpasang. Sehingga cahaya lampu itu hanya menerangi bok bagian bawah, sedang bagian atasnya remang-remang.

Di balai-balai sebelah yang aku duduki, ada dua orang wanita yang nampaknya lebih tua dari umi, disebelahnya lagi, seorang laki-laki yang umurnya mungkin sama dengan ayah tuo, ayah kakak-kakakku. Kedua wanita itu beberapa kali melihat kearahku, begitu juga laki-laki disebelahnya. Awalnya aku tidak tahu kenapa kedua wanita dan satu laki-laki ini berada didalam bok ini, belakangan barulah umi mengatakan bahwa mereka juga sedang di tahan, sama dengan umi.

Dibalai-balai yang lain aku melihat beberapa orang tentara. Semuanya berpakaian seragam sedang bersiap-siap seperti mau pergi, masing-masing mempersiapkan senjatanya.

Umi kembali dari sumur, lalu mengambil mukena dan sarung untuk shalat magrib dan memakainya. Setelah itu umi naik kebalai-balai tempat aku duduk, membentangkan sajadah dan shalat.

Selesai shalat dan membenahi perlengkapan shalatnya umi mengambil bungkus nasi, yang tadi dibawa dari rumah. Setelah menawari makan kedua wanita serta laki-laki sesama tahanan dan para tentara yang masih berada didalam bok, kami makan berdua. Umi hanya membuka satu bungkus nasi, karena isinya cukup banyak. Bila makan dirumah, umi selalu mengawasi anak-anaknya makan, bila ada yang makannya nasinya berantakan atau berserakan di luar piring, atau kalau ada diantara kakak-kakakku makan sambil bercanda, serta makan dengan mengunyah nasi dengan mulut berdecak umi akan langsung menegur. Tapi saat ini umi makan tanpa suara sama sekali, umi dengan sabar membenahi nasiku yang berantakan diatas daun maupun yang jatuh ke balai-balai. Aku memang belum bisa makan dengan baik tanpa nasi berserakan, tangan kecilku belum bisa menggenggam nasi dengan benar.

Selesai makan umi membenahi balai-balai tempat kami duduk, lalu membentangkan selembar kain panjang diatasnya, umi lalu menanyaiku apakah aku mengantuk, aku menganggukkan kepala.

Perjalanan panjang hari itu, memang membuat aku kecapean. Dan makan kenyang bersama umi menambah berat beban mataku, dan aku tak perlu menunggu lama untuk tertidur pulas diatas balai-balai bambu beralaskan kain panjang, dan tubuhku diselimuti umi dengan kain panjang lain yang rupanya telah dipersiapkan umi sebelum keberangkatan kami dari rumah.

Dinginnya udara malam membangunkan aku dari tidurku, ini juga disebabkan karena bok itu hanya berlantai dan berdindingkan tanah.

Kulihat disampingku umi berbaring miring menghadap kearahku, juga hanya berselimutkan kain panjang. Ketika aku mengalihkan penglihatanku kearah lain, aku juga melihat kedua tahanan wanita yang bersebelahan dengan tempat tidur kami, juga tidur dengan berselimutkan kain panjang tapi tanpa alas dibawahnya.

Pergerakan badanku rupanya membangunkan umi dari tidurnya, atau jangan-jangan malah umi belum tidur sama sekali. Umi lalu memperbaiki selimut yang tidak lagi menutupi badanku, aku lalu melihat ke wajah umi, umi menangis! Aku tidak mengerti mengapa umi menangis ditengah malam itu. Aku lalu memeluk umi, umipun lalu memeluk aku. Dinginnya udara malam yang tadi kurasakan mulai berkurang, namun tetap lebih dingin dibanding bila aku tidur dirumah diatas kasur dan berselimutkan selimut tebal yang hangat.

Beberapa suara tembakan terdengar memecah kesunyian malam, namun jaraknya cukup jauh dari bok tempat kami berada. Tapi walau begitu, umi berusaha agar aku tidak mendengarkan suara tembakan itu dengat menutup telingaku dengan tangannya, tapi itu percuma. Sepinya malam membuat suara tembakan itu terdengar nyata, walaupun jauh dari tempat kami berada. Aku lebih sering malah mendengarkan suara tembakan itu dari jarak yang lebih dekat, sewaktu kami bersembunyi dilubang perlindungan dirumah dapur sebelum umi ditangkap.



Bersambung

Seorang Balita ditengah Pergolakan PRRI (5)

Aku dibawa Umi




Sore, setelah shalat ashar, umi bersiap untuk kembali ke bok. Kakakku satu persatu mulai memperlhatkan ketidak relaannya umi kembali masuk tahanan. Tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa, yang dapat mereka lakukan hanyalah menangis, ada yang sesungukan dan ada pula yang hanya terdiam membisu dengan pandangan mata menerawang, sementara airmatanya mengalir membasahi pipinya yang setiap saat dihapus dengan kain panjang yang dikenakannya . Aku hanya diam dan membisu, memperhatikan umi berbenah. Umi juga kulihat tak kuat menahan kesedihannya untuk berpisah lagi dengan anak-anaknya. Air matanya tergenang, namun di tahan agar tak pecah menjadi tangisan dan memperburuk suasana.

Setelah selesai berbenah, umi lalu berdiri dan memperhatikan kami, anaknya satu persatu. Umi lalu mendatangi satu persatu dari keenam anaknya, menyalami dan memeluk satu persatu. Bendungan airmata yang tadi ditahan umi akhirnya jebol juga, umipun menangis sambil memeluk anak-anaknya. Namun umi tak mau terlalu hanyut, walau kakak-kakakku ada yang menangis dengan jeritan yang memilukan, umi berusaha untuk tegar. Hingga akhirnya umi tiba dihadapanku, aku diangkat dan ditatapnya dalam-dalam. Aku hanya terdiam tak mengerti, sambil juga menatap wajah umi yang berlinangan air mata. Disana, dalam tatapan matanya, seakan umi menyampaikan suatu pesan untukku. Namun aku tidak tahu, pesan apakah itu gerangan.

Setelah kami saling bertatapan, aku dipeluk umi lalu direbahkan ke pundaknya. “si Mi akan umi bawa….!” Umi memecah kebisuan. Kakak-kakakku terkejut dan saling pandang, tapi akhirnya nampaknya menyetujui apa yang dikatakan umi. Mereka seakan terwakili oleh diriku disamping umi. Itu terlihat dengan berkurangnya isakan tangis mereka.

Kami, aku dan umi, berangkat meninggalkan rumah. Kakak-kakakku beserta etekku uminya Fitrizal, melepas kami di depan tangga rumah gadang. Walaupun masih dengan airmata yang berlinang, mereka melepas kami dengan perasaan yang mungkin agak sedikit lega, karena ada aku disamping umi. Walau nantinya terjadi sesuatu dalam perjalanan kami, akupun tak dapat berbuat apa-apa.

Dari rumah memasuki jalan kampung kami belok kekiri, menuju persimpangan yang di kampung kami menyebutnya Simpang Labuah. Simpang empat yang tepat berada di tengah kampung kami Ladang Darek. Sampai di Simpang Labuah kami belok kekiri kearah barat. Sebelum terjadinya pergolakan, pada jam-jam sehabis shalat asar, Simpang Labuah ini selalu ramai oleh penduduk kampung, khususnya laki-laki yang melewatkan waktu istirahat mereka menjelang datang waktu magrib, apalagi di bulan puasa. Pada salah satu sudut persimpangan terdapat palanta, bangku panjang setinggi paha orang dewasa yang terbuat dari bambu di belah dua. Disanalah mereka mengobrol.

Namun sejak terjadinya pergolakan PRRI, Simpang Labuah lengang. Begitu juga jalan yang kami tempuh saat ini. Kalau bukan untuk tujuan yang benar mendesak, penduduk tak berani meninggalkan rumah mereka, takut menjadi sasaran fitnah OPR.

Kami melewati dusun Tanjuang dan Batu Bakaluak. Di dusun Panji kami belok kekiri, keluar dari jala raya. Masuk jalan kecil yang melewati rumah penduduk. Kami mengambil jalan pintas, agar tak terlalu jauh bila harus melewati jalan raya dan melewati simpang Kubang Putih. Jalan kecil itu kemudian berujung di tanah lapang, tempat anak-anak muda bermain sepak bola, lapangan yang luas itu juga sepi tanpa ada kegiatan, hanya kami berdualah yang melintas disana. Lepas dari lapangan kami kembali ke jalan raya yang membujur lurus dari selatan ke utara, membelah dua nagari Kamang Ilia, yang berakhir di pinggir Bukit Barisan, yang membentengi Kamang Ilia di bagian utara.

Kami terus berjalan, dikiri kanan jalan jendela dan pintu-pintu rumah tertutup rapat. Kalaupun kami berpapasan dengan penduduk lain, tegur sapa sangatlah mahal. Tak satupun yang ingin terlibat, masing-masing menyelamatkan diri sendiri. Kami melewati Masjid Wustha, yang boleh dikatakan masjid termegah di nagari Kamang Ilia saat itu. Persis berhadapan diseberang jalan bangunan Panti Asuhan Muhammadiyah yang beratap genteng. Namun panti asuhan tersebut juga sepi, bubar gara-gara pergolakan PRRI ini. Anak asuh kembali ke keluarga masing-masing, atau ikut kehutan mengungsi menyelamatkan diri, begitupun pengurusnya.

Aku mengikuti langkah umi yang berjalan disampingku, bila aku capek umi menggendong aku dalam pangkuannya. Umi berjalan dalam diam, dan aku telah belajar dari kakak-kakakku. Bila umi diam kami tak boleh mengganggunya. Dan kini itulah yang aku lakukan.

Akhirnya kami sampai di Pintu Koto, pintu gerbangnya nagari Kamang Ilia menuju kota Bukittinggi. Rumah-rumah maupun warung yang berada disekitar sana semua tertutup. Beberapa orang tentara duduk-duduk di palanta bambu yang terdapat di beberapa tempat yang ada warungnya. Kami langsung menuju pondok kecil yang berdiri persis ditengah persimpangan. Umi membisikkan ditelingaku yang saat itu berada di pangkuannya, “Kita ke pos tentara…!” kata umi.

Mendekati pos aku diturunkan umi dari pangkuannya, lalu kami langsung masuk. Didalam pos aku lihat seorang tentara duduk dikursi di belakang meja, umi lalu menemuinya dan berdiri didepan meja tentara itu. Aku tidak tahu apa yang dibicarakan umi dengan tentara tersebut. Karena aku asyik melihat berbagai macam senjata yang tersandar, maupun yang tergantung di paku di kiri kanan maupun yang didinding dibelakang tentara yang menjaga pos itu. Aku tidak tahu nama-nama senjata itu, walaupun aku sering mendengar kakakku menyebut nama senjata kanon, basoka, pistol, granat atau meriam, namun tak satupun yang aku tahu, mana senjata yang disebutkan kakak-kakakku itu.

Setelah umi selesai berbicara dengan penjaga pos, kami langsung keluar. Umi menuntun tanganku. Kami terus berjalan kearah nagari Magek, melewati Pakan Salasa. Pasar yang terletak diperbatasan nagari Kamang Ilia dan Nagari Magek, yang ramainya dua kali seminggu, setiap hari Selasa dan Jum’at. Lewat Pakan Salasa kami sampai di persimpangan, kami belok kekiri.

Setelah berjalan agak lama, kami belok kekanan masuk jalan kecil diantara perumahan dan kebun. Setelah berbelok beberapa kali kekiri maupun ke kanan melewati persimpangan, kami sampai di bok tentara di nagari Magek, yang pernah aku datangi bersama anduang Ipah beberapa hari sebelumnya, namun melewati jalan yang berbeda. Tidak berapa lama setelah kami sampai di bok tentara tempat umi ditahan itu, bedug magribpun berbunyi.

Bersambung

Seorang Balita ditengah Pergolakan PRRI (4)

Pulang untuk Pergi…



Tiga hari sudah umi di tahan, aku begantian dengan uda Des di ajak oleh anduang Ipah menjenguk umi. Pada hari keempat, pagi, ketika matahari belum lagi sepenggalahan, disaat semua anggota keluarga sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan aku sedang bermain sendirian dirumah gadang, kami dikejutkan oleh hal yang tak kami duga sebelumnya, umi pulang!

Kami semua terkejut dan sekaligus senang menyambut kedatangan umi. Wajah-wajah yang selama tiga hari ini kuyu tak bergairah dan kehilangan semangat hidup, saat itu bercahaya agi. Kami semua berhamburan mendekati umi. Semuanya ingin sekaligus memeluk umi, dan tangis bahagiapun pecah. Umipun memeluk anak-anaknya satu persatu, membelainya dengan penuh kasih sayang. Akupun kembali dapat menikmati pelukan umi yang hangat dan menenteramkan hati. Begitu lama umi mendekap dan menciumi aku dengan airmata yang tak berhenti mengalir, saat itu seakan-akan umi hanyalah milikku sendiri…

Tapi kebahagiaan yang kami rasakan itu hanya sekejap, setelah umi bercerita.

Umi diizinkan pulang pagi itu, namun sorenya harus segera kembali ke bok tentara pusat di Magek, dimana umi ditahan. Mendengar cerita umi, suasana bahagia yang kami rasakan disaat itu, bagaikan debu ditiup angin kencang. Hilang tak berbekas! Tangis bahagia yang tadi sempat menyelimuti suasana keluarga kami, kini berbalik sontak menjadi tangis duka. Rasa penyesalan, cemas takut dan beragam perasaan yang mengungkapkan rasa ketidak percayaan akan apa yang dikatakan umi, menyergap semua jiwa yang berada disaana saat itu, tak terkecuali aku. Aku yang saat itu tak pernah lepas dari pangkuan umi, merasakan sekali bagaimana umi menahan kesedihan berpisah dengan kami, dan bagaimana tegarnya umi menghadapi semua itu.

Berbagai usulan bertubi-tubi datang dari seluruh anggota keluarga, untuk mencegah umi kembali ke bok. Diantaranya agar umi pergi meninggalkan kampung, masuk hutan dan tidak pulang hingga pergolakan ini selesai. Serta usulan agar semua anggota keluarga ikut pergi ke bok tempat umi ditahan. Tapi umi menggelengkan kepala mendengar semua usulan itu. Umi menjelaskan alasannya, kenapa umi tak mau pergi menghilang meninggalkan kampung. Karena umi memikirkan keselamatan kami semua anak-anaknya. Umi tak mau anak-anaknya maupun anggota keluarga yang lain, akan menjadi tumbal atas kepergiannya menghilangkan diri. Bagi umi, kami anak-anaknya, adalah harta yang sangat berharga. “Biarlah umi yang ditahan, perang ini tidak akan lama, nanti kita akan berkumpul lagi…” demikian pesan umi, untuk menenangkan hati kami. Tapi kakak-kakakku tak dapat menerima alasan umi itu, namun umi adalah sosok yang sangat dihormati dan dicintai oleh anak-anaknya, tak satupun diantara kami yang berani membantah apa yang telah menjadi keputusan umi, walau dalam hati semua menolak dan tak setuju dengan alasan umi, bayangan akan kehilangan umi lagi, telah terpampang jelas di hadapan kami. dan kami anak-anaknya tak bisa berbuat apa-apa….

Hari itu berjalan dalam suasana hati yang kacau balau. Kebencian akan suasana perang yang merenggut ketenangan hidup dan kebahagiaan keluarga kami. Kebencian kepada tentara yang menangkap umi, kebencian kepada orang-orang yang memfitnah umi. Dan semua kebencian itu, akhirnya diselipi oleh rasa takut dan cemas ditinggalkan umi, cemas umi tak kembali, cemas perang ini berlangsung lama.

Semua perasaan benci, takut, cemas, gamang, sedih dan berbagai macam perasaan tak enak lainnya itu, berkecamuk didada keluarga kami, termasuk aku. Balita kecil yang tak mengerti apa-apa…

Bersambung

Seorang Balita ditengah Pergolakan PRRI (3)

Menjenguk Umi




Selepas shalat zuhur, aku diajak oleh anduang Ipah, kakakku yang nomor dua. Katanya pergi menjenguk umi yang lagi di tahan di bok tentara pusat di Magek, nagari tetangga kami.

Kami berjalan berdua, dari Ladang Darek menyusuri jalan kampung menuju Kabunalah, kampung terakhir menjelang perbatasan nagari kami dengan nagari Salo. Kami, aku dan anduang Ipah, tidak melalui jalan yang melewati jalan tengah nagari Kamang yang langsung menuju nagari Magek, karena hal itu akan membuat kami berjalan memutar cukup jauh, karena posisi bok tentara pusat ini lebih dekat keperbatasan nagari Magek dan Salo.

Rupanya kabar penangkapan dan ditahannya umi telah menyebar keseluruh kampung. Disepanjang jalan yang kami lewati penduduk memperhatikan kami, tapi mereka tak berani mendekat. Karena mereka juga tak mau terlibat atau ikut difitnah oleh mata-mata OPR yang mungkin ada ditengah mereka. Mereka hanya terlihat berbisik-bisik diantara mereka sambil melepaskan pandangan kepada kami. Kalaupun ada yang berpapasan dengan kami, mereka berusaha segera menghindar. Bila bertegur sapa, yang kedengaran kadang hanyalah jawaban yang tidak jelas, yang diucapkan dengan langkah yang diayunkan semakin cepat, untuk menghindar dari kami. Tidak seperti biasanya, keakraban penduduk kampung yang serba terbuka dan penuh kehangatan, saat itu berubah total. Kami benar-benar merasa tersisih saat itu.

Di simpang tiga Kabunalah yang jaraknya dari kampungku sekitar dua kilometer, kami belok ke kiri. Kira-kira tigaratus meter kemudian melewati perbatasan nagari Kamang dengan nagari Salo, dan desa pertama yang kami masuki di nagari Salo itu adalah Kampung Panjang.

Setelah melewati beberapa desa lagi, kami belok ke kanan, menyusuri jalan yang menghubungkan nagari Salo dan Magek. Tidak jauh setelah melewati perbatasan kedua nagari itu kami masuk jalan kecil berupa jalan setapak. Kami melewati kebun yang ditumbuhi berbagai macam tumbuh-tumbuhan kayu yang menjulang tinggi. Juga melewati beberapa rumah dikiri maupun kanan jalan. Setelah melewati beberapa tikungan, dari jauh aku melihat bangunan yang kelihatan Cuma atapnya yang terbuat dari daun rumbia terletak di atas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya.

Setelah dekat dan kemudian sampai di bangunan itu, barulah aku tahu, itulah tempat yang kami tuju. Rupanya atap yang kami lihat dari jauh tadi memang terletak diatas tanah, menutup lubang perlindungan yang digali sedalam lebih tinggi dari orang dewasa.

Beberapa orang tentara berjaga-jaga disekitar bunker dengan senjata di tangan. Didepan kamp tentara itu terbentang sawah yang cukup luas, yang saat itu sedang menguning tinggal menunggu waktu untuk di panen.

Setelah kakakku ditanyai dengan berbagai macam pertanyaan yang aku tidak mengerti, serta memeriksa barang bawaan kami sambil sesekali melihat kearah aku, akhirnya kami dipersilakan masuk oleh tentara yang menjaga disana. Kami menuruni tangga tanah, dan sampai di ruangan yang cukup lebar yang banyak terdapat balai-balai tempat duduk baralaskan pelupuh bambu, bahkan beberapa orang tentara aku lihat sedang tidur disana.

Melihat kami datang, umi yang datang dari sudut ruangan yang kelihatannya seperti dapur, langsung bergegas menemui kami. Begitu sampai umi langsung memeluk aku, airmata umi berlinang, kemudian menetes mengenai tanganku, terasa hangat.

Tapi nampaknya umi cukup tabah dan menahan diri untuk tidak memperlihatkan kesedihannya. Umi berusaha sekuat mungkin tidak menangis dihadapan kami, walau wajah dan airmatanya tidak dapat menyembunyikannya.

Begitu juga kakakku anduang Ipah. Apakah ketakutannya kepada tentara yang bersileweran disekitar kami, membuatnya begitu tegar, walau airmatanya juga tidak bisa di tahannya untuk tidak terlepas dari kelopak matanya. Aku mendengar dia sesungukan di pelukan umi, tapi kata-kata maupun bujukan umi akhirnya bisa menenangkannya.

Bagaimana dengan aku?
Aku tidak tahu, kenapa aku tidak bisa menangis disaat-saat seperti itu. Kenapa aku tidak menjadi seorang anak yang cengeng dan menangis sekencang-kencangnya untuk melunakkan hati para tentara itu agar melepaskan ibuku? Kenapa aku hanya terdiam dan bisu disaat umi dan kakakku bertangisan? Ataukah memang Tuhan mengajari aku menjadi anak yang tabah menghadapi kesedihan, karena masih banyak penderitaan dan cobaan hidup yang lebih berat akan menerpa aku?

Kenyataannya saat itu adalah, aku hanya diam dan membisu. Namun mata hatiku mengamati semua yang ada disana, seperti yang aku lakukan bila aku duduk di tangga teratas rumah gadang, merekamnya di dalam memori otakku, seorang anak kecil berusia tiga tahun.

Umi menanyakan keadaan kami semua, dan sambil menangis kakakku menceritakan keadaan kami yang bagaikan anak ayam kehilangan induk. Semuanya bingung tak tahu harus berbuat apa, dan juga merasa ketakutan, kalau-kalau hal ini akan menimpa anggota keluarga yang lainnya.

Setelah menyerahkan rantang berisi makanan yang dibawa kakakku anduang Ipah, kami kembali pulang. Sampai di rumah anduang Ipah dikerubuti oleh seluruh keluarga, semuanya berebut menanyakan keadaan umi, dan suara tangisan kembali mengiringi cerita anduang Ipah, sedangkan aku kembali kedunia kecilku, besama Fitrizal sepupuku.

Bersambung

Seorang Balita ditengah Pergolakan PRRI (2)

UMI DITAHAN




Apa yang dicemaskan keluarga selama ini akhirnya terjadi juga.Ketenangan kehidupan keluarga kami mulai terganggu.

Saat itu aku sedang bermain dirumah. Aku tak ingat lagi berapa orang kami yang berada dirumah saat itu. Beberapa orang tentara bersenjata lengkap mendatangi rumah kami. Aku tidak tahu siapa diantara kakakku atau keluarga lain, yang membiarkan mereka naik kerumah gadang, dengan memakai sepatu mereka yang kotor belepotan tanah. Hal yang tak pernah sekalipun dilakukan oleh keluarga kami, yang selalu menjaga kebersihan lantai rumah gadang. Aku sangat benci sama mereka, yang mengotori rumah kami dengan jejak-jejak sepatu tentara itu. Keluarga kami atau siapapun yang naik kerumah gadang, harus mencuci kaki dengan air cibuak yang ada dekat tangga rumah gadang. Kedatangan tentara itu juga didampingi orang kampung anggota OPR binaan PKI. Merekalah yang jadi tukang tunjuk siapa orang-orang kampung yang menjadi tentara luar atau anggota PRRI. Penunjukan ini bukan berdasarkan fakta, tapi karena fitnah maupun dendam pribadi.

Karena usiaku masih balita dan perbendaharaan kata-kataku belum seberapa, aku tak mengerti dan tidak tahu apa yang mereka bicarakan dengan umi maupun keluarga kami yang berada di halaman dan sekitar dapur saat itu. Bahasa mereka aku tak mengerti. Saat itu mereka membawa umi dengan paksa, dan tak seorangpun diantara kami yang boleh menemani, walaupun hanya seorang anak balita seperti uda Des atau aku. Seluruh keluarga kecuali aku, menangis melepas kepergian umi, tapi tak dapat berbuat apa-apa. Karena rasa takut juga menyelubungi seluruh keluarga. Tentara pusat itu membawa umi ke kamp mereka, yang oleh orang kampung disebut bok di Magek, nagari tetangga kami.

Suasana keluarga kami langsung berubah sepeninggal tentara itu dan umi. Bisik-bisik mulai menyeruak diantara kakak-kakakku, wajah mereka diliputi kecemasan, semuanya jadi serba salah tingkah, ketakutan, dan saling bertanya, kapankah umi pulang. Begitu juga keluarga etekku yang sama-sama tinggal bersama kami di rumah gadang.

Sore, malam hingga pagi esoknya rumah kami penuh ketegangan dan kecemasan. Rasa takut memenuhi semua anggota keluarga, kecuali aku yang tak mengerti apa-apa. Malam harinya bacaan ayat-ayat Al-Qur'an kakak-kakakku lebih panjang dari biasanya. Makan malampun tak lagi terasa nikmat, tak satupun terdengar celoteh yang biasanya saling bersahutan. Dentingan sendok beradu dengan piring, begitu nyaring terdengar memecah keheningan, membuat sipelaku menjadi semakin serba salah. Semua kelopak mata terasa panas dan tergenang air. Namun tak satupun tangis yang pecah. Langkah-langkah kaki kakak-kakakku yang biasanya berseleweran membenahi peralatan makan, yang membuat lantai papan rumah gadang berderit-derit, saat itu bagaikan langkah malaikat yang tak menjejak bumi.

Ketika semua aktifitas telah selesai, rumah gadang lebih hening dari biasanya, semuanya larut dengan pikiran masing-masing, menunggu hari esok dengan penuh kecemasan. Walau semuanya telah merebahkan diri ditempat tidur, namun tak satupun mata yang terpejam. Ada yang kembali bangun, lalu duduk menyandarkan tubuhnya ke dinding, memeluk lutut sambil menunduk membenamkan kepalanya diantara lutut dan dada, namun tak lama kembali membaringkan diri diatas kasur. Yang lebih sering terdengar adalah desahan tarikan nafas panjang, luapan beban yang begitu berat menghimpit dada. Kadang terdengar bisikan diantara kakakku, namun hanya sejenak, kemudian kembali hanyut dengan pikiran masing-masing.



Dalam ketidak mengertianku akan situasi yang menerpa keluarga kami, batinku merekam apa terjadi, dan menyimpannya didalam memori yang ada di kepalaku.

Malam itu terasa begitu dingin, walau kakakku telah menyelimuti aku dengan selimut tebal, namun hawa dingin itu tetap merasuk ketubuhku, sehingga aku sulit memejamkan mata. Kehangatan yang biasa aku rasakan dalam pelukan umi, kini menghilang begitu saja. Namun kantuk yang menyerang mata akhirnya membuat aku tertidur lelap juga

Aku terbangun hari sudah siang, uda Des tidak ada lagi disampingku. Begitu juga kakak-kakakku yang lain, semuanya sudah bangun. Aku lalu turun dari tempat tidur, dan berjalan menuju pintu lalu duduk dia anak tangga teratas, sebagaimana biasa aku lakukan setiap pagi aku bangun tidur.

Kesibukan rutin setiap pagi sedang berlangsung di bawah, di halaman maupun di dapur. Namun suasananya jauh bebeda dari hari-hari biasa, tiada keceriaan. Langkah-langkah bergerak berat tak bertenaga dan diam tanpa suara, wajah-wajah yang sembab dengan mata yang memerah dan berkaca-kaca. Yang kedengaran hanya suara ciapan anak ayam yang sedang mencari induknya, atau ayam-ayam betina yang berlarian dikejar ayam jantan, di sela meongan kucing minta makan, atau celotehan suara adik sepupuku Fitrizal dengan uminya, etekku.

Waktu berjalan terasa begitu lambat. Umi, dimana umi kini.....?



Bersambung

Seorang Balita ditengah Pergolakan PRRI

1958.

Sumatera Barat bergolak dengan gerakan yang bernama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI, dibawah komando Safrudin Prawiranegara. Rakyat yang mengerti politik maupun tidak, bangkit menggugat dan melawan pemerintah pusat dibawah pimpinan presiden Soekarno. PRRI menilai, Soekarno terlalu sibuk mengurus proyek mercu suarnya, Proyek Monumen Nasional, Masjid Istiqlal, hotel Indonesia dan pembangunan yang hanya terpusat di pulau Jawa. Sementara rakyat didaerah luar Jawa hidup dalam kemiskinan dan serba kekurangan dan ketertinggalan dalam pembangunan.

Pemerintah pusat mengirim tentaranya ke ranah Minangkabau untuk memadamkan pergolakan ini. Awalnya mereka hanya menyebar dikota-kota. Tapi karena medan pertempuran semakin luas, akhirnya para tentara itupun mulai masuk sampai ke nagari-nagari diluar kota. Dan akhirnya merekapun hadir di nagari Kamang, tempat dimana pada tahun 1908 rakyat ikut berperang melawan tentara penjajahan Belanda, yang kemudian terkenal dengan Perang Kamang.dimana jorong Ladang Darek kampungku, termasuk didalamnya. Rakyat Kamang kini tidak berhadapan dengan Belanda, tapi dengan bangsa sendiri.

Kehidupan kampung kami yang tadinya tenang dan damai, kini telah berubah. Kedamaian dan ketenteraman hidup mulai terusik. PKI dengan organ Organisasi Pembebasan Rakyat-nya pun ikut mengail diair keruh. Fitnah merebak, OPR gampang saja menuduh siapa saja sebagai mata-mata musuh, dan menuduh sebagai penghianat. Padahal itu hanya karena ketidak sukaan terhadap orang yang dituduh, atau karena ada masalah pribadi yang tak kunjung selesai dan berujung dendam. Kepada tentara dalam, (istilah yang diberikan untuk Tentara pusat yang menguasai kampung), dia menuduh si anu sebagai pengikut tentara luar.( rakyat maupun tentara PRRI yang berperang melawan tentara pusat yang bergerilya di hutan-hutan) Korban tak bersalahpun berjatuhan

Laki-laki dewasa yang merasa terpanggil untuk ikut berjuang kini jarang kelihatan. Mereka mulai kucing-kucingan dengan tentara pusat - istilah yang dipakai untuk tentara yang dikirim dari Jawa untuk menumpas pergolakan ini, yang dikirim oleh pemerintah pusat di Jakarta. Yang tidak ikut berjuang, pergi menghindar dan mengungsi, agar tidak diciduk oleh tentara pusat dan dituduh sebagai pemberontak.

Sejak meletusnya perang saudara atau pergolakan PRRI itu, ayah kami sudah jarang pulang, begitu juga pak aciak suami etekku. Sementara wanita dan anak-anak maupun laki-laki yang telah tua, tetap tinggal di dalam kampung. Mereka mulai menggali lubang perlindungan dibawah rumah masing-masing. Ini dimungkinkan karena rumah penduduk semuanya merupakan rumah panggung, walaupun sebagian rumah mereka bukan rumah adat atau rumah gadang.

Mencari Kakak

Sejak aku kembali dari Pakan Baru, aku tak pernah lagi bertemu dengan kakak-kakakku Latifah dan Lifdar. Itu berarti telah sekitar lima tahun kami berpisah.


Kedua kakakku itu punya panggilan kesayangan diwaktu kecil, yaitu; anduang Ipah dan anduang Pidan. Tapi keadaan telah mencerai beraikan kami, mereka berjuang mempertahankan kehidupannya masing-masing, dengan segenap kemampuan yang mereka punyai. Akupun berjuang mempertahankan kehidupanku, dengan berpindah-pindah dari keluarga ibu maupun keluarga ayah, hingga ke Panti Asuhan, dan kini kembali kekampung.

Libur sekolah telah tiba. Dalam kesendirianku bermain disekitar rumah, aku teringat kepada kedua anduang-ku itu. Anduang Ipah aku tidak tahu dimana kini dia berada setelah menikah, selain kota tempat tinggalnya, Pontianak . Karena sejak perpisahan kami dulu, tak pernah ada lagi komunikasi diantara kami. Anduang Pidan, kudengar pembicaraan diantara keluarga ibuku, dia juga sudah menikah, dan kini tinggal dikampung suaminya di Padang Tarok.

Padang Tarok, sebuah Nagari yang terletak antara Bukittinggi dan Payakumbuh, sekitar 20 kilometer dari Bukittingi, masuk dalam daerah Kabupaten Agam. Aku tahu nagari ini, karena aku pernah melihatnya dari atas kereta api waktu berhenti di stasiun Padang Tarok. Waktu itu aku dalam perjalanan pulang dari Panti Asuhan Muhammadiyah Payakumbuh.

Dikurung

Pakanbaru 1961

Setelah beberapa lama tinggal bersama kakakku anduang Ipah dan anduang Pidan di Pasar Bawah, aku dibawa oleh kakak yang laki-laki tuan Salim, ketempat tinggal yang juga sekalian tempat dia bekerja di Sukajadi.
Turun dari oplet, sebelum memasuki gang yang akan menuju rumah tuan Salim aku melihat kiri kanan. Disebelah kanan disamping tanah kosong aku melihat kantor polisi. Beberapa hari kemudian aku mengetahui namanya kantor resort polisi.

Dari mulut gang kami memasuki perkampungan, sebelah tanganku dipegang oleh tuan Salim, mungkin dia takut aku akan ketinggalan atau tersesat . Sebenarnya aku tak betah dibimbing seperti itu, karena aku terbiasa bebas kalau berjalan. Apalagi aku kadang setengah berlari mengikuti langkahnya yang panjang dibanding langkahku, pegangannya juga sering terasa keras ditanganku, sehingga aku merasa kesakitan. Tapi aku tak berani mengatakannya, karena aku merasa takut padanya.

Kami melewati jalan pintas, melewati kebun yang cukup luas. Dikebun itu aku melihat banyak pohon rambutan, juga pohon nangka. Di ujung kebun yang tak mempunyai pagar itu, kamipun sampai di tempat tinggal tuan Salim. Kami masuk, tempat tinggalnya itu berupa oloh, bengkel perabot rumah tangga yang sangat besar yang pernah kulihat. Dikampungku, oloh ini hanya berisi dua atau tiga bangku. Tapi disini, aku melihat begitu banyak bangku untuk para tukang yang bekerja disana.

Guguak Rang Pisang

Butir 4

GUGUAK RANG PISANG

Aku punya hubungan yang sangat erat dengan keluarga ayahku, yang di kampung kami istilahnya bako. Almarhum ayahku punya saudara 5 orang, tiga perempuan dan 2 laki-laki. Ayahku sendiri adalah anak kedua. Saudara perempuan ayah aku panggil tuo, angah dan etek. Sesuai dengan umur mereka. Tuo untuk yang tertua, angah untuk yang di tengah dan etek untuk yang ketek alias kecil. Sedang saudara ayahku yang laki-laki aku panggil pak adang dan pak angah. Pak adang untuk yang gadang atau yang besar, dan pak angah. Sebenarnya mereka semuanya ada sembilan orang. Namun tiga diantaranya meninggal, dua orang meninggal saat masih balita, sementara yang satu lagi setelah meningkat remaja.

Kampung ayahku, jaraknya sekitar 4 kilometer dari kampung ibuku, tapi itu kalau mengikuti jalan raya. Bila melewati jalan pintas melaluli pematang sawah yang membentang diantara dua kampung itu, kemudian menyeberangi agam atau sungai yang membelah keduanya, jaraknya akan berkurang jadi sekitar 3 kilometer.
Berbeda dengan kampung ibuku yang bagaikan tanah semenanjung, kampung ayahku yang bernama Guguak Rang Pisang, berada persis dikaki bukit barisan yang membentang dari barat laut ke tenggara.

Guguak Rang Pisang juga mempunyai kisah sendiri. Guguak, yaitu gundukan tanah yang tinggi ditengah hamparan sawah atau tanah yang datar. Guguak ini dibiarkan sebagai mana adanya mungkin karena terlalu tinggi untuk diratakan atau keras karena mengandung berbatuan.

Jorong atau Desa Guguak Rang Pisang berasal dari guguak yang sebenarnya adalah kaki bukit barisan yang mulai meninggi, sehingga tidak mungkin lagi diteruskan diratakan untuk lahan persawahan.

Kaki bukit ini kemudian sebagian dijadikan untuk perkampungan sawah bertingkat, dan tabek atau kolam ikan. Agar tanah hasil perataan kaki bukit dipinggir kampung tidak longsor ke dalam banda atau kali kecil yang berfungsi sebagai saluran irigasi yang mengelilingi sawah dipinggir perkampungan. Maka ditanamilah seluruh pinggir kampung yang menghadap kesawah itu dengan pohon pisang.

Lalu kenapa yang ditanam itu pohon pisang? Disinilah briliannnya hasil pemikiran nenek moyang kita dahulu.

Sebagaimana kita ketahui pohon pisang itu perkembangannya berkesinambungan. Bila satu batang pisang berbuah, kemudian buahnya dipetik dan batangnya kemudian layu dan mati. Di sekeliling pangkal batangnya telah lebih dahulu tumbuh anak pisang baru menggantikan induknya. Siklus ini berlanjut terus dan semakin berkembang hingga seluruh pinggir guguak disepanjang aliran banda yang mengelilingi kampung itu penuh dengan pisang, seakan membentengi kampung itu. Hingga kini, pisang-pisang itu tetap bertahan di tempatnya, entah telah berapa generasi mereka disana.

Bila Anda pertama kali memasuki kampung itu, dari jalan yang membentang membelah persawahan yang menghampar luas, yang kelihatan adalah pohon pisang yang melambai-lambai ditiup angin, seakan mengucapkan selamat datang kepada para tamu-tamunya.

Gerbang kampung Guguak Rang Pisang ini bernama Banda Rusuang, disini terdapat jembatan yang terletak diatas banda atau saluran irigasi yang mengelilingi kampung Guguak Rang Pisang bagian barat dan selatan. Dikiri kanan jembatan ini dibuat tanggul beton sepanjang lebih kurang tiga meter, sebagai pagar jembatan, sekaligus berfungsi sebagai tempat duduk-duduk santai warga kampung dikala senja menjelang magrib. Rumah keluarga ayahku ada di dusun Karan. Kawasan Selatan Guguak Rang Pisang. Untuk menuju kesana ada dua jalan.

Jalan pertama dari Banda Rusuang mengikuti satu-satunya jalan raya kampung ini, terus mendaki sampai ke Masjid Sofia, yang berada persis di tengah-tengah kampung, satu-satunya masjid untuk warga di Guguak Rang Pisang ini. Aku tidak tahu dari mana inspirasi untuk nama masjid ini. Apakah dari masjid Aya Sofia yang sampai tahun 1453, adalah gereja katedral (basilika) Bizantium Hagia Sophia yang dibangun oleh Konstantius, putra Konstantin yang Agung. Lalu saat Konstantinopel ditaklukkan Sultan Mahmud II pada tahun 1453, lalu pergi ke Gereja Hagia Sophia dan memerintahkan mengubahnya menjadi masjid yang dikenal dengan Aya Sofia dan kemudian sejak pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk menjadi museum di Turki sana?

Persis disudut tikungan di depan Masjid, terdapat simpang tiga, belok kekiri mengikuti jalan raya yang melingkar bagai bulan sabit menuju nagari Salo. Belok kekanan adalah jalan menurun menuju rumah keluarga ayahku. Disisi kiri dan kanan terdapat tabek atau kolam ikan. Jalan yang hanya dapat dilewati kendaraan roda dua sepanjang dua ratus meter ini, akan berujung di rumah almarhum Sutan Basa mantan saudagar tembakau. Dengan melewati halaman rumahnya, jalan ini terus menyambung diujung halaman sebelah selatan, kembali menurun dari ketinggian kira-kira satu setengah meter. Berjalan kira duapuluh lima meter belok kanan melewati pematang sawah. Lima belas meter berikutnya belok kiri melewati jalan yang sedikit melengkung kekanan kira-kira seratus lim puluh meter sampailah di Karan, rumah keluarga ayahku yang berada di sebelah kiri jalan.

Alternatif kedua sebenarnya lebih dekat, tapi ini hanya untuk pejalan kaki karena jalannya sempit.

Dari Banda Rusuang, persis dekat pagar jembatan belok kanan melalui pematang yang membatasai sawah dan banda saluran irigasi. Jalan ini berkelok-kelok sepanjang tiga ratus meter mengikuti alur banda. Dekat pohon Ambacang, sejenis mangga berbuah bulat dengan kulit yang berbintik-bintik hitam, yang tumbuh di kebun tetangga disebelah rumah ayahku, belok kiri melintasi jembatan kecil terbuat dari pohon kelapa sepanjang tiga meteran, menaiki tangga tanah yang di batasi bambu, sampailah di Karan. Berjalan sekitar tujuh puluh lima meter lagi, tibalah di rumah keluarga ayahku, Rumah Inyiak Aki-ku.

Rumah Inyiak Aki, panggilanku terhadap kakekku, juga berupa rumah gadang, sebagaimana rumah kami di Ladang Darek. Bedanya, rumah kami di Ladang Darek menghadap ke selatan membelakangi bukit barisan, sedangkan rumah Inyiak Aki menghadap ke utara kearah bukit barisan, di depan rumah diseberang jalan terdapat sawah bertingkat-tingkat, sampai mendekati kolam didepan masjid.

Perbedaan lain dengan rumah kami di Ladang Darek adalah; rumah Inyiak Aki memakai atap ijuk dari pohon enau, atap yang menjadi tradisi untuk rumah gadang di Minangkabau, sedang rumah kami memakai atap seng gelombang, Bila ditimpa hujan lebat berisiknya bukan main. Begitu juga tangga dan pintu masuknya. Tangga rumah Inyiak Akiku berada di depan rumah, diantara sambungan rumah gadang dengan rumah saruang, ruangan tambahan di ujung timur rumah gadang yang menjadi penghubung dengan dapur, sementara di Ladang Darek tangganya ada di bagian belakang rumah.

Perbedaan lain diantara dua kampung ini adalah; Ladang Darek berada di tanah yang datar, sementara Guguak Rang Pisang, karena berada di kaki bukit, struktur tanahnya tidak rata, bertingkat-tingkat. Rumah kakekku termasuk yang berada didataran paling bawah, sekitar satu setengah meter dari permukaan sawah yang berada di bagian barat dan selatan kampung.

Di dua kampung inilah masa kecilku dihabiskan, bila aku telah lama di Ladang Darek, Azwar, anak tertua dari tuo-ku di Guguk Rang Pisang akan menjemputku dengan sepeda, dan membonceng aku dibelakangnya menuju Guguk Rang Pisang.

Keluargaku

Sebuah Seri Otobiografi

Butir 1

KELUARGAKU

Di penghujung malam, tangis seorang bayi yang lahir dari rahim seorang wanita, memecah kesunyian. Mengiringi fajar yang sedang menyingsing. Bayi keenam, dan terakhir. Seorang bayi laki-laki. Semua keluarga menyambut dengan penuh suka cita. Namun suka cita yang sumbang, bagaikan panas mengandung hujan. Ada yang tidak utuh disaat itu. Seseorang yang seharusnya ikut menyambut si pendatang baru dalam keluarga. Tapi dia tak ada, kemana dan kenapa?

Ayah...
Dua bulan sebelum sang bayi memperlihatkan dirinya dimuka bumi. Daun kehidupan sang ayah, telah gugur ditiup Nafiri Izrail dari pohon kehidupannya di Lauhulmahfuz. Karena memang hanya sekianlah jatah waktu yang ditetapkan untuk dia oleh sang Pemberi Kehidupan. Kepergian yang tak boleh ditunda, walau hanya sekedipan mata.

Itulah aku. Lahir dari ibu yang mempunyai 6 orang anak, dari dua suami.
Aku bungsu dari suami ibuku yang kedua, setelah berpisah dengan suaminya yang pertama, yang memberinya empat orang anak. Tiga orang perempuan dan yang keempat laki-laki.

Dari ayahku, ibuku yang sehari-hari kami panggil ummi melahirkan dua orang anak yang keduanya laki laki, aku dan kakakku yang aku panggil uda, panggilan untuk kakak laki-laki di Minangkabau.

Ayahku meninggal, karena menderita sakit yang akhirnya merenggut nyawanya. Sepeninggal ayahku suami pertama ibuku kembali bersama kami, dan akupun ikut memanggilnya ayah, sebagaimana yang lain.

Diwaktu aku berusia sekitar tiga atau empat tahun aku mendapat penyakit borok memanjang dari kiri ke kanan disekitar perutku. Dan sakitku ini bertahan cukup lama ditubuhku, sehingga mengganggu sekali bila aku pakai celana. Karena suka menempel pada borokku, yang membuat aku meringis kesakitan bila aku membuka celana untuk mandi atau keperluan lain. Setelah sembuh borok ini meninggalkan bekas di sekitar perutku.

Walau tanpa ayah kandung, namun aku dapat merasakan kebahagiaan ditengah-tengah keluargaku, karena kami semua saling menyayangi. Tidak ada perbedaan antara adik kandung dan adik tiri, semua kurasakan memperhatikan dan menyayangi aku dan kakakku yang telah menjadi yatim. Ummi berhasil menanamkan rasa kasih sayang diantara kami, anak-anaknya yang berlainan ayah.

Keluargaku tinggal pada sebuah rumah gadang, rumah adat keluarga besar orang Minangkabau. Rumah gadang kami bergonjong empat. Menghadap ke selatan dan membelakangi bukit barisan yang membujur dari barat ke timur. Dibagian depannya terdapat lima jendela, tanpa ada pintu untuk keluar masuk. Dibagian belakang, barulah terdapat pintu. Tanpa ada jendela lain. Pintu ini adalah satu-satunya pintu keluar atau masuk rumah gadang.

Dibagian dalam, rumah gadang itu dibagi dua. Sebagian rumah sebelah selatan yang dekat ke jendela, adalah ruangan utama tanpa sekat memanjang dari ujung yang satu ke ujung yang lain. Ruangan multi fungsi, sebagai ruang tamu, ruang makan maupun ruangan keluarga. Bagian utara adalah deretan kamar, jumlah kamarnya ada empat ditambah satu lagi rumah saruang- ditengah yang berfungsi bukan sebagai kamar, tetapi sebagai ruang penghubung antara pintu dan ruangan utama. Rumah saruang ini adakalanya juga berfungsi sebagai gudang penyimpanan sementara padi yang baru dipanen dan dimasukkan kedalam karung, sebelum dimasukkan kedalam kapuak, ruangan khusus yang berfungsi sebagai lumbung penyimpanan padi yang terletak dikolong rumah gadang. Yang pintu keluar masuknya terdapat di lantai ruangan utama. Padi yang habis dipanen dimasukkan kedalam kapuak ini. Kalau di perlukan lalu diambil secukupnya bila beras yang untuk dimasak telah habis.

Kamar utama yang biasa disebut biliak gadang ada dua, terletak di bagian ujung barat dan timur. Kamar sebelah barat adalah kamar keluarga kami, dan yang sebelah timur kamar keluarga etekku. Dua kamar lainnya dengan ukuran yang lebih kecil yang disebut biliak kaciak, terletak disebelah kamar utama. Biliak kaciak yang disamping kamar kami ditunggui oleh nenekku, sementara yang disebelah kamar etekku dihuni oleh tuo bibi etekku.

Rumah saruang terletak persis ditengah, diantara dua biliak kaciak nenekku dan tuo. Di rumah saruang inilah terletak sartu-satunya pintu yang menghubungkan bagian dalam rumah gadang ini dengan dunia luar, tempat keluar masuknya penghuni rumah gadang ini setiap hari.

Sebelum bisa turun tangga sendiri, aku sering duduk di puncak tangga dekat pintu rumah saruang ini. Memperhatikan semua aktifitas yang terjadi, menunggu aku dijemput oleh ummi dan di gendong menuju rumah dapur. Bila aku duduk dipintu rumah saruang, dihadapanku terbentang halaman belakang rumah kami, sebelah kanan berdiri rumah dapur etekku, dan sebelah kiri rumah dapur kami. Rumah dapur etekku lebih besar dari rumah dapur kami. Dibawah pintu telah menyambut tangga kayu dengan tujuh anak tangga, aku belum bisa menuruni anak tangga ini, karena jarak anak tangga yang satu dengan yang lainnya belum terjangkau oleh kakiku. Persis diujung tangga, sebelah bawah terdapat beberapa batu kali yang permukaannya datar sebagai alas untuk mencuci kaki. Disebelahnya ada cibuak yang terdiri dari beberapa potongan pohon bambu, yang buku sebelah dalamnya telah dilubangi, kecuali bagian paling bawah. Disusun dalam posisi berdiri mungkin ada 10 buah, diikat dan ditanam ditanah.

Tinggi cibuak tersebut sekitar empat ruas bambu, satu ruas ditanam ditanah, dan tiga ruas diatasnya berdidri kokoh diatas permukaan tanah. Setiap batang bambu tersebut diisi dengan air yang dibawa dari luak yang ada di ujung ladang, atau kalau musim hujan diisi dengan air yang mengucur dari atap rumah yang di tampung dan di alirkan dengan bambu. Untuk mengambil air yang berada didalam cibuak tersebut dibuatlah tanjua. Bambu yang lebih kecil ukurannya dari bambu untuk cibuak, yang panjangnya sekitar sejengkal, di beri tangkai yang panjangnya sama dengan dalamnya cibuak, dan dilubangi dekat buku bambu bagian samping bawah untuk saluran keluar airnya.

Kegunaan cibuak ini adalah untuk mencuci kaki, bagi yang ingin masuk kerumah gadang, dan juga untuk mengambil wudhu untuk shalat, terutama malam hari. Karena satu-satunya sumber air kami adalah luak atau sumur yang ada di ujung ladang. Luak atau sumur ini dibuat dengan menggali tanah yang mempunyai mata air dekat tebing di pinggir sawah, yang jaraknya dari rumah sekitar 300 meter.


Disamping keluarga kami, yang jumlahnya sembilan orang termasuk nenekku, juga tinggal di rumah gadang tersebut bibiku yang sehari-harinya aku panggil etek. Bibiku ini saudara sepupu ibuku, bukan adik kandung, Suaminya seorang pegawai negeri dan mereka punya satu anak. Sebenarnya dia punya dua anak yang lahir kembar, namun yang satu meninggal beberapa waktu setelah lahir. Usiaku dan anak bibiku tak terpaut jauh, aku hanya lebih tua enam bulan.

Terakhir yang tinggal dirumah gadang tersebut adalah bibi dari bibiku, yang kami semua memanggilnya tuo, karena dia lebih tua dari kami semua selain nenekku. Dia hidup sendiri tanpa suami ataupun anak. Seharusnya aku dan kakak-kakakku maupun anak bibiku memanggilnya nenek. Tapi karena yang dipanggilkan nenek adalah nenekku maka untuk membedakannya kamipun ikut-ikutan orang tua kami memanggilnya tuo.

Sewaktu aku lahir, kondisi tuo ini sudah dalam keadaan tunanetra, sehingga hari-harinya selalu dihabiskan disekitar rumah, tak pernah kemana-mana.

Adalagi satu keluarga bibiku yang lain, tapi dia tidak tinggal bersama kami di rumah gadang. Dia bersama suaminya yang bekerja sebagai guru, telah membuat rumah sendiri, yang masih berdekatan dengan rumah gadang, hanya dipisahkan jalan yang membelah kampung. Keluarga bibiku tersebut punya dua anak, yang semuanya wanita, yang setelah menamatkan sekolahnya juga kemudian berprofesi sebagai guru, sebagaimana ayahnya. Terhadap bibiku ini kami memanggilnya amai

Walaupun kami keluarga besar, anggota keluarga kami tak pernah bertengkar. Kami hidup dalam keadaan rukun dan damai. Ajaran agama dan ikatan adat telah menyatukan kami dalam suatu keluarga besar yang harmonis. Walaupun aku dan udaku berlainan ayah dengan kakak-kakakku yang lain namun mereka menyayangi kami sebagai adik kandung. Setidaknya itulah yang kami rasakan saat itu.

Kehidupan kampung yang damai dan terikat kuat dengan adat, dan kehidupan beragama keluarga kami yang cukup taat, mengikat kami dalam satu keluarga yang utuh.
Mungkin karena aku dan udaku yang telah yatim, menjadi penyebab mereka menyayangi kami sebagaimana adik kandung sendiri. Atau mungkin juga didikan ummi yang berhasil menyatukan kami sebagai saudara kandung, apalagi karena sistim keluarga Minangkabau yang menganut sistim garis keturunan dari ibu, maka kami utuh dalam satu keluarga. Tak ada yang merasa anak-kandung atau anak tiri maupun adik kandung maupun adik tiri.

Memang, aku tak begitu merasakan kedekatan, kehangatan, atau peran ayah tiriku terhadap aku dan udaku, namun aku tetap menghormati dia sebagai ayahku, karena dia juga tidak membeda-bedakan antara aku dan kakak-kakakku yang lain, walau terkadang aku merasakan ada sedikit perbedaan yang mungkin membuat sedikit jarak antara aku dengan dia.

Ini aku rasakan bila aku berada dikeluarga etekku disaat aku bermain dengan anaknya, aku sering merasakan perasaan lain bila aku melihat suami etekku yang kami panggil pak aciak itu membelai dan mengajak anaknya bercanda dan bermain. Ada rasa sepi, ada rasa iri, ada rasa kehilangan, ada rasa yang tak dapat kuungkapkan dengan kata-kata...!

Hal ini sering mengusik aku, bila aku sedang asyik bermain dengan Fitrizal-demikian nama sepupuku itu. Lalu ayahnya yang dia panggil papa, pulang kerja dan kelihatan oleh anaknya maka dia akan lari meninggalkan aku dan mendapatkan papanya yang kemudian menggendongnya.

Tinggallah aku sendirian, memperhatikan kemesraan dan kehangatan antara anak dan bapaknya. Keasyikan bermainku jadi hilang, aku hanya jadi diam termangu. Rasa sepipun merayap menyentuh diriku, terasa sekali aku ingin punya ayah yang bisa menggendong dan membelai aku serta mengajak bercanda, inilah yang tidak aku temukan pada ayah tiriku, yang mungkin membuat aku dan kakakku merasakan ada jarak diantara kami. Andai…….

Dalam kondisi seperti itu, ummi jadi dewa penolong. Dia akan mencari dan mendapatkan aku bila dia melihat Fitrizal pulang digendong papanya. Ummipun akan menggendong aku, dan membujuk dengan kata-kata yang menenteramkan hati. Sehingga akupun merasakan punya seseorang tempat aku berlabuh, yang mengerti aku, sehingga pelan-pelan akupun mendapatkan hidupku kembali.

Diluar kondisi yang tanpa ayah kandung, sebenarnya aku cukup bahagia dengan keluargaku, tentu bahagia yang kumaksud disini adalah kebahagian dan perasaan yang terungkap dari seorang anak berusia diantara tiga sampai empat tahun atau istilah sekarang disebut balita –dibawah lima tahun-.