Korupsi Ala Awak Kopaja AC


13228678521632934935
Bus Kopaja AC 013 jurusan Grogol - Ragunan, terlihat kondektur bersandar pada counter gate yang berfungsi sebagai penghitung jumlah penumpang yang naik.

Untuk mengikuti acara makan malam bersama para blogger dari 9 negara Asean, kemarin saya berangkat dari rumah jam 17.30. Jalan kaki dari rumah, saya sampai di halte Telkom Tomang sekitar sepuluh menit kemudian. Dalam keraguan saya mau naik bus apa menuju FX Plaza Senayan, ditengah kemacetan jalan S. Parman menjelang magrib itu saya melihat sebuah bus Kopaja AC 013 jurusan Grogol - Ragunan berjalan pelan mendekati halte.

Sampai bus tersebut di halte saya segera mendekat untuk naik dari pintu depan, sebagaimana peraturan yang di tetapkan oleh pengelola bus Kopaja AC tersebut. Begitu saya mendekati pintu, sang kondektur menyuruh saya untuk naik lewat pintu belakang. Dengan sengaja di berdiri di pintu, seakan untuk menghalangi saya serta penumpang lainnya yang akan naik dari pintu depan, dan menyuruh kami untuk melanggar aturan dengan naik dari pintu belakang.

Setelah saya duduk, begitu juga tiga penumpang lain yang juga baru naik bersama saya yang memang mendapati bus dalam keadaan kosong, saya menduga bahwa counter gate yang berupa palang besi bercabang tiga yang akan berputar ketika dilewati penumpang, yang  berada dekat pintu depan dan berfungsi untuk menghitung jumlah penumpang yang naik mungkin rusak, sehingga penumpang terpaksa di naikkan lewat pintu belakang. Padahal seharusnya pintu belakang ini tidak boleh terbuka, kecuali bila ada penumpang yang turun. Tapi di bus yang saya tumpangi ini, ada atau tidak ada penumpang yang turun, begitu mendekati halte, kedua pintunya, depan dan belakang terbuka. Sehingga memberi kesempatan untuk calon penumpang naik dari belakang, malah disuruh oleh sang kondektur atas arahan sopir.

Sampai di halte RS Harapan Kita, dua orang calon penumpang bersiap untuk naik. Kembali sang kondektur yang saat itu perempuan, berdiri di pintu depan sambil menyuruh calon penumpang yang mau naik untuk lewat pintu belakang. Setelah kedua penumpang itu naik dari pintu belakang, bus Kopaja AC itu pun  meneruskan perjalanan.

Sampai di halte Slipi Jaya beberapa calon penumpang nampaknya juga sudah bersiap hendak menaiki bus yang saya tumpangi ini. Kembali sang kondektur berdiri di pintu dan setelah bus berhenti, kembali dia menyuruh penumpang untuk naik dari pintu belakang. Tapi nampaknya sang kondektur menyadari bahwa disitu tengah berdinas seorang polantas, dia lalu turun dari bus dan menyuruh penumpang naik dari pintu depan. Tapi hanya satu orang yang naik dari pintu depan, sementara 3 orang lainnya sudah keburu naik dari pintu belakang.

Dari kejadian adanya penumpang yang disuruh naik dari pintu depan dan saya melihat sendiri bahwa counter gate itu tidak rusak, baru saya menyadari bahwa telah terjadi penghilangan data penumpang oleh awak bus Kopaja AC itu. Dengan menyuruh penumpang naik melewati pintu belakang, maka penumpang tersebut tidak akan terhitung oleh counter gate. Dengan tidak masuknya data karena tidak terhitungnya sang penumpang oleh counter gate, maka ongkos yang dibayarkan penumpang Rp. 5000 dengan sendirinya juga tidak akan masuk ke kas pengelola bus Kopaja AC ini, melainkan masuk kantong sang awak  bus. Sebuah praktek korupsi yang dengan lihai di lakukan oleh awak bus Kopaja AC ini.

Sementara data di counter gate tetap sedikit dari seharusnya yang ada, misalnya penumpang yang mereka angkut ada 100 orang, maka yang tercatat di Counter gate ini pasti dibawah itu. Bila ditanyakan kenapa hanya sedikit penumpang yang tercatat di Counter gate ini, maka dengan enteng kedua awak bus ini akan berkata "penumpang sepi...!"

Besarnya gaji pengemudi bus Kopaja AC yang Rp. 2,6 juta untuk pengemudi dan Rp. 2,1 juta untuk kondektur perbulannya, mungkin dirasa belum cukup oleh kedua awak bus ini. Sehingga mereka melakukan tindakan tidak terpuji itu, menggerogoti dari dalam apa yang sebenarnya bukan hak mereka dan melanggar aturan perusahaan yang telah mereka tanda tangani sewaktu diterima di perusahaan ini.

Mungkin kita bisa menghitung berapa ongkos yang dibayarkan penumpang yang ditilep awak bus ini, bila dalam satu trip perjalanan saja mereka bisa menghilangkan data lebih dari sepuluh penumpang?

Obor SEA Games Singgah di Indosat

Obor SEA GAMES ke 26 yang di ambil dari api abadi Mrapen, kemarin mulai memasuki Jakarta. Setelah di inapkan semalam, hari ini obor tersebut kembali di arak keliling Jakarta. Arakan obor tersebut tadi pagi secara resmi di lepas oleh Gubernur Jakarta, Fauzi Bowo, dihalaman balaikota Jakarta, jalan Merdeka Selatan.
Sebagai Official Telekomunication Partner, Indosat yang berkantor pusat di sudut jalan Merdeka Barat, mendapat kehormatan menjadi persinggahan pertama Obor SEA Games ini. Obor yang dilepas jam 9.00 dan di bawa oleh mantan atlet Bina Raga Ade Rai sebagai pelari pertama, bergerak menyusuri jalan Merdeka Selatan, kemudian memutar kekanan melewati air mancur Bank Indonesia dan masuk ke Jalan  Merdeka Barat.
Rombongan Obor SEA Games ini kemudian belok kekiri memasuki gerbang kantor pusat Indosat. Dihalaman kantor Indosat Obor SEA Games ini diserah terimakan dari tangan Ade Rai kepada  Fadzri Santosa, direktur PT Indosat yang kemudian membawa obor ini ke panggung upacara.
Upacara penyambutan di Indosat ini berlangsung singkat, dengan hanya satu kata sambutan dari Fadzri Santosa yang menguraikan keterlibatan secara total Indosat dalam SEA Games ini, serta berbagai produk khusus Indosat yang berkaitan dengan SEA Games.  Selesai dengan pidato sambutannya Fadzri kembali menyerahkan Obor SEA Games kepada Ade Rai untuk melanjutkan perjalanan menuruti rute-rute yang telah di tentukan sebalumnya.
Sebelum berjalanan meninggalkan kantor pusat Indosat, di halaman depan Indosat, rombongan Obor SEA Games ini sejenak di abadikan bersama Direktur Indosat Fadzri Santosa.
Dengan kembali Ade Rai sebagai pemegang obor, rombongan Obor SEA Games ini meninggalkan kantor Pusat Indosat, memasuki jalan Merdeka Barat terus ke jalan Thamrin mengikuti rute-rute yang telah di tentukan, dengan diselingi singgah kebeberapa tempat dimana terdapat kantor Official Partner SEA Games 2011 ini.


13204749922006230023
Rombongan obor SEA Games melewati jalan Merdeka Selatan



1320475236815859231
Ade Rai sambil memegang obor, bersama rombongan memasuki jalan Merdeka Barat



1320475706754651896
Obor SEA Games memasuki pekarangan Indosat



13204758231899031350
Obor SEA Games disambut meriah oleh musik tradisional Tanjidor serta liputan media



13204763991289253981
Obor diserah terimakan kepada direktur Indosat Fadzri Santosa



1320476661940328817
Dorektur Indosat Fadzri Santosa membawa obor menuju tempat upacara penyambutan



132047695794308873
Fadzri Santosa memberikan sambutan atas kedatangan obor SEA Games



13204771581737651551
Direktur Indosat Fadzri Santosa menyerahkan kembali Obos SEA Games kepada Ade Rai untuk melanjutkan perjalanannya mengelilingi Jakarta.



1320478683958908660
Berfoto bersama sebelum meninggalkan Indosat



132047879916793677
Barisan pengiring Obor SEA Games, memanjang di jalan Merdeka Barat


Powered  by Indosat
Official Telecomunication  Partner - SEA Games 2011
Jakarta - Palembang

Merubah Hidup Dengan Wonderful Life

131383540871143545 
.
Beberapa hari yang lalu sekitar jam 11 malam, seorang pemuda bernama Siswanto mendatangi counter voucher saya. Setelah memperkenalkan diri dia menyerahkan sebuah amplop putih. Katanya dia dari distributor voucher telepon selluler, mengundang saya ikut berbuka bersama di sebuah restoran di jalan Tanah Abang Dua. Siswanto juga mengatakannya perusahaannya akan mengadakan launching produk baru mereka. Saya sudah menduga ini adalah undangan promosi dagang, tapi nampaknya dia sudah membaca pikiran saya dan mengatakan tidak bergabung juga tidak apa, datang saja dulu.

Sore kemarin habis shalat asyar saya berjalan memenuhi undangan itu, dari rumah saya naik angkot menuju kolong jembatan Tomang Raya yang melintasi Kali Banjir Kanal. Turun dari angkot saya berjalan menyusuri Tanggul Banjir Kanal menuju jembatan gantung. Setelah melintasi kali Banjir Kanal lewat jembatan gantung saya sampai di Jalan Bakti. Lewat sebuah gang kecil saya tembus di jalan Citarum lalu berjalan lurus mengikuti jalan Tulang Bawang.

Di pertigaan jalan Tulang Bawang, Jalan Musi dan jalan Tanah Abang Dua, saya berjalan lurus memasuki jalan Tanah Abang Dua. Hanya beberapa meter dari pertigaan saya belok ke kanan, memasuki pekarangan Restoran Bumbu Desa.

Sampai di pintu utama restoran, beberapa orang sudah terlihat antri sayapun menyambung di belakang barisan. Setelah tamu yang berada di depan saya selesai mengisi buku tamu, saya pun menyusul. Sebuah goody bag berwarna biru bertuliskan Woonderful life saya dapatkan sambil menyerahkan undangan yang saya bawa.

Setelah bersalaman dengan beberapa orang penerima tamu, saya mulai mencari tempat duduk. Ruangan restoran yang cukup luas itu masih sepi, kecuali dari pihak tuan rumah. Saya belum melihat Siswanto, yang pagi sebelumnya telah menelpon saya untuk konfirmasi kehadiran di acara itu. Setelah mendapatkan tempat duduk yang cukup nyaman untuk melihat presentasi nantinya, saya pun memperhatikan sekitarnya. Spanduk Wonderful Life terpajang di beberapa tempat berikut X Banner yang didirikan di sudut panggung, disebelah layar presentasi.

Rupanya acara ini tidak berjalan tepat waktu seperti yang tertulis di undangan jam 16.00. Lewat pukul lima sore baru terlihat tanda-tanda akan dimulai, itu juga baru sekadar lagu-lagu pengantar waktu. Tepat jam 17.30 baru acara di buka oleh pembawa acara dengan memanggil Aswanto SI sebagai presiden direktur PT Great Life Indonesia. Aswanto nampaknya cukup memahami waktu yang ada, sehingga dia hanya memberikan sambutan singkat.

Acara selanjutnya adalah presentasi produk. Dalam presentasi disebutkan PT Great Life Indonesia sebagai distributor dari seluruh operator telepon selluler Indonesia. Namun dalam pemasarannya Great Life tidak menjadikan reseller hanya sebagai perpanjangan tangan penjualan produk voucher, tapi menggandeng para outlet untuk ikut sebagai partner dengan memberlakukan sistem manajemen berjenjang.

Tidak sebagaimana bisnis MLM pada umumnya yang hanya menjadikan para member menjadi bumper untuk memperkuat posisi uplinenya dan berpotensi sebagai konsumen mutlak. Karena produk yang dijual sangat mahal jauh berlipat dari harga rielnya. Maka dalam sistem jaringan GL ini member tak akan pernah mengalami kerugian, apalagi menjadi konsumen mutlak. Karena produk yang di jual adalah produk dengan tingkat kebutuhan tinggi masyarakat yang memakai telepon selluler. Jadi tanpa membuat satu jaringanpun, member tetap dapat berbisnis dengan menjual pulsa elektrik untuk telepon selluler di lingkungan tempat tinggalnya.

Member baru akan menikmati keuntungan plus bila dia berhasil membuat jaringan yang luas dan pro aktif mengembangkan jaringannya itu dengan sistem member get member. Karena bila jaringannya cukup luas sang member bisa menjadi distributor bagi membernya. Sambil tetap bisa menjual voucher dilingkungannya. Sistem yang dikembangkan PT GI ini di promosikan dengan slogan Wonderful Life, hidup menjadi lebih luar biasa!
Acara malam itu di selingi dengan permainan serta ditutup dengan memberikan door prize. Saya cukup beruntung mendapatkan sebuah jam dinding.

Anda berminat untuk bergabung?

Renungan Malam





Anakku…
Ketika malam bergulir menjelang dini
Kutatap wajahmu yang tidur dalam damai
Menyembunyikan sebuah salinan diriku
Betapa engkau sebuah ciptaan Sang Maha Sempurna
Yang hadir menggantikan kakak-kakakmu


Anakku…
Ku beri engkau julukan rizki yang maha agung
Karena kehadiranmu memang sebuah anugerah
Yang datang disaat usia senja mulai merayap menapaki diriku
Disaat kakak-kakakmu mulai berbenah mempersiapkan diri
Untuk pergi meninggalkan ayah dan bundamu
Berlayar mengharungi lautan kehidupan barunya
Bersama pendamping yang telah diberikan Tuhan untuknya

Anakku…
Betapa tawa dan tangismu telah meramaikan lagi
Rumah yang tadinya telah berangsur sunyi
Celoteh mulut kecilmu…
Kembali membangkitkan semangat dan gairah hidupku
Untuk hidup lebih lama lagi

Tuhan….
Berilah aku kesempatan
Mengemban amanat yang telah Engkau berikan padaku
Hingga dia bisa melangkah dengan kakinya sendiri
Mengarungi kehidupan yang telah Engkau tetapkan untuknya
Di jalan yang Engkau ridhai
Dengan tuntunan cahayaMu
Hingga Engkau memanggil aku keharibaanMu
Karena tugas dan kewajibanku telah selesai

Amiin

 14-6-2011
02:01

Saya telah mencoba aneka merek rokok, tapi saya tak mencandu

Waktu saya tinggal di Dumai, Riau, sekitar tahun 1973 bersama kakak. Saya diberi modal sebuah etalase terbuat dari kayu yang diberi roda, Kami waktu itu menyebutnya kios. Untuk mengisi kios ini saya juga dimodali dengan berbagai macam merek rokok untuk di jual eceran, baik rokok merek lokal pabrikan Jawa maupun produksi pabrik rokok Sumatera, khususnya dari tanah Deli. Tak ketinggalan juga rokok putih produksi luar negeri.

Setiap hari itulah dagangan saya, di pinggir jalan Sudirman, Dumai, yang waktu itu masih merupakan kota kecamatan, dengan kilang minyak Pertamina Putri 7 berdiri dengan megahnya.

Karena saya menjual rokok secara ketengan, saya bebas mencoba semua jenis rokok yang saya jual, bagaimana rasa rokoknya, dan apa yang saya dapatkan dengan merokok itu, serta seperti apa yang namanya candu rokok itu, menuruti rasa penasaran bagaimana orang bisa kecanduan rokok.

Setelah berjalan beberapa bulan, saya tidak mendapatkan apa itu nikmatnya merokok. Yang saya rasakan hanya rasa pahit tembakau rokok tanpa filter, rasa mint rokok menthol, rasa manis rokok kretek dan tawarnya rokok yang katanya rendah tar dan nikotin.


Karena tidak adanya rasa ketergantungan atau candu terhadap rokok yang manapun. Saya akhirnya tidak meneruskan "pelajaran" merokok saya. Walau merokokpun saya juga tidak merasakan gangguan pada diri saya saat itu.


Hingga kini sayapun bebas dari kecanduan rokok itu. Kalaupun kadang-kadang saya iseng untuk merokok, maka saya akan merokok begitu saja sebatang sebulan atau sekali enam bulan, itupun rokok kretek tanpa filter. Sekadar menikmati sensasi rasa cengkeh yang terbakar, maupun rasa manis di ujung lidah.

Serial Fotografi: Operasi Jerawat Tanpa Berdarah


Sebelum datangnya era fotografi digital, bila datang ke studio foto untuk pembuatan pasfoto, Anda akan terpaksa menerima saja apapun hasil foto Anda tersebut. Rambut kusut tak tersisir, muka jerawatan seperti permukaan bulan di injak Neil Amstrong. Anda tinggal menggerutu sambil menyesali nasib. “Ya ampuuuun..... mukaku kok begini amat?

Kini, keluhan seperti itu mungkin tak akan terdengar lagi. Semenjak maraknya serbuan kamera digital di pasaran, mulai dari kamera saku yang harganya murah meriah, hingga kamera DSLR kelas profesional berharga puluhan juta.

Kehadiran kamera digital ini juga beriringan dengan hadirnya program aplikasi pengolah gambar di komputer, seperti Photoshop, PhotoPaint dan lain-lainnya. Gabungan antara gadget dan aplikasi komputer ini mampu menghadirkan karya foto yang seolah tanpa cacat. Bahkan dengan segala kelebihannya, mampu mebuat sebuah hasil karya foto melebihi keindahan foto aslinya.

Diantara kehebatan program aplikasi pengolah gambar itu, dapat kita lihat pada foto pendamping tulisan ini.

Seorang pelanggan yang datang untuk membuat pasfoto, rupanya mempunyai problem pada wajahnya, apalagi kalau bukan masalah yang dibicarakan di awal tulisan tadi, jerawat!

Setelah di lakukan pemotretan dan fotonya di salin ke komputer, mulailah pekerjaan operasi jerawat ini di kerjakan.

Pekerjaan pertama setelah membuka foto tersebut di program pengolah gambar, adalah mengatur komposisi warna secara keseluruhan. Setelah merasa cukup, baru tampilan muka sang pelanggan di perbesar , sehingga detail wajahnya semakin jelas. Dengan piranti stamp muka sang pelanggan mulai di operasi . Piranti stamp ini sebenarnya bukan mengangkat sang jerawat sampai ke akar-akarnya. Melainkan menutup sang jerawat dengan kulit muka yang mulus di sekitar jerawat. Hal ini di lakukan agar warna kulit yang menutup jerawat persis sama dengan warna kulit di sekitarnya, sehingga muka sang pelanggan tidak kelihatan belang.

Dalam proses pekerjaannya piranti stamp kita pakai untuk menyalin permukaan wajah yang tidak berjerawat, lalu menempelkannya di atas permukaan wajah yang berjerawat. Makanya sewaktu menyalin permukaan yang akan di tempelkan di atas jerawat kita harus mengambilnya dari area terdekat yang terdekat dengan jerawat, agar nanti permukaan wajahnya seragam.

Setelah operasi selesai, pekerjaan terakhir adalah mengganti latar belakang yang tidak rata dengan warna yang sesuai. Akhirnya tuntas sudah operasi jerawat ini, tanpa ada setetes darahpun yang mengalir... hehehe.

Foto kiri, sebelum di lakukan operasi. Kanan setelah operasi, mulus tanpa jerawat.

Serial Fotografi: Anda Cukup Bawa Kepala

Hadirnya tehnologi fotografi digital, membuat lompatan yang jauh dalam penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Kemudahan-kemudahan yang disajikan, membuat urusan potret memotret ini menjadi mudah dan cepat, dengan hasil tak perlu di sangsikan lagi. Asal kita memakai perlatannya dengan benar sesuai aturan pakainya.

Lompatan besar yang kita dapatkan itu disamping tehnologinya, juga semakin minimnya biaya yang di keluarkan untuk mendapatkan sebuah foto. Apakah itu untuk keperluan pribadi, keluarga maupun bisnis.

Dulu, untuk mendapatkan sebuah foto, kita harus membeli film negatif yang masih kosong. Setelah melakukan pemotretan, kita harus memproses film itu dulu di laboratorium. Setelah film selesai di proses, kita juga belum bisa menikmati hasil pemotretan itu. Karena film yang baru selesai di “cuci” itu belum sepenuhnya bisa dilihat. Masih terdapat satu proses lagi yang harus kita jalani, yaitu; mencetak film itu pada kertas foto, yang hanya juga bisa dilakukan di laboratorium cetak foto. Sudah berapa banyak biaya yang di keluarkan, untuk mendapatkan selembar foto?

Kini dengan tehnologi digital, minimal dua langkah pertama sudah dapat kita abaikan. Film dan biaya proses pencucian. Kita cukup membeli sebuah kartu memori, apakah itu berbentuk SD Card atau CF Card. Kartu memori ini dapat kita pakai berulang kali, dengan melalui proses format ulang atau menghapus data foto yang ada di dalamnya, bila isinya telah penuh. Tentu sebelumnya kita harus menyalin foto-foto itu dulu ke komputer atau ke media lain, seperti CD/DVD Room atau Flashdisk.

Keuntungan lain yang kita dapatkan dari fotografi digital ini adalah, kemudahan dalam hal montase atau editing. Bila kita masih memakai film seluloid, untuk melakukan editing foto, kita lebih dulu harus melakukan pemindaian (scanning) dengan alat pemindai (scanner), barulah foto kita dapat di olah atau di edit dengan komputer memakai program pengolah foto, seperti Photoshop. Namun satu hal yang harus disadari adalah, hasil pemindaian itu ada kemungkinan berbeda dengan foto aslinya, seperti tingkat kecerahan warna, kontras maupun ketajaman.

Sementara hasil pemotretan dengan kamera digital dapat langsung di olah di komputer, cukup dengan menyalin foto dari kamera ke komputer melalui kabel USB, atau dengan bantuan alat pembaca kartu memori (card reader). Hasil penyalinan dari kamera atau kartu memori ini tidak akan merubah hasil pemotretan kita, dari segi warna, kontras atau ketajaman.

Keuntungan lain fotgrafi digital adalah kecepatan proses pekerjaan. Karena semakin pendeknya alur pekerjaan yang harus dilalui, maka dengan sendirinya waktu kerjanyapun semakin singkat. Kalau selama ini untuk mendapatkan hasil pemotretan studio foto akan memakan waktu sekitar satu jam, maka sekarang waktu yang di butuhkan bisa hanya sekitar 15 menit atau paling lama setengah jam. Tergantung proses editing yang di lakukan, misalnya memperhalus wajah atau menghilangkan jerawat.

Bila terburu-buru sekalipun, sehingga tidak sempat mengganti pakaian. Misalnya mengganti kaos dengan kemeja, atau memakai jas lengkap untuk foto formal. Banyak studio foto yang sudah menyiapkan pakaian lengkap di komputer mereka, seperti foto pendukung tulisan ini. Jadi anda cukup hanya “membawa kepala” ke studio, selanjutnya, serahkan pada ahlinya.... kata sebuah iklan

Hasil editing sebuah pasfoto.
Anda cukup memotret bagian kepala, pakaiannya silahkan pilih sendiri


Handphone Berkamera, Pembunuh Studio Foto Kelas Menengah Kebawah


Sebelum datangnya era kamera digital, kita banyak menemukan studio foto. Apakah itu di kota-kota besar maupun di kota kecil, hingga ke kampung-kampung.

Studio foto itu, mulai yang mengambil tempat di ruko-ruko untuk yang berlevel kelas menengah atau atas. Hingga yang menjadikan teras rumah yang dibuat warung untuk di jadikan studio foto untuk kelas bawah. Maupun yang berada di pasar-pasar Inpres ataupun di pasar tradisional. Serta studio sederhana dengan perlengkapan seadanya di kaki lima atau yang mendirikan kios kecil dengan menempati jalur hijau.

Pada awal masuknya era kamera digital, studio foto kelas bawah ini belum begitu terganggu eksistensinya. Para pengusahanya masih bisa bertahan hidup dengan pendapatan yang cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. 

Hajat hidup studio foto kelas bawah ini baru terganggu setelah masuknya era handphone atau telepon genggam berkamera.

Kamera yang pada awalnya hanya ada pada telepon genggam kelas atas yang mahal, belakangan merebak ke telepon genggam kelas bawah. Apalagi setelah datangnya serbuan telepon genggam buatan Cina yang berharga murah meriah. Kini boleh dikatakan, tak satupun produk baru telepon genggam ini yang tidak di lengkapi dengan kamera.

Dengan datangnya serbuan telepon genggam berkamera ini, pelan-pelan studio foto kelas bawah ini keberadaannya mulai mendapat ancaman dan gangguan. Pangsa pasar yang tadinya masih cukup besar mulai menyusut. Setiap keluarga mulai mempunyai telepon genggam berkamera ini, dan memakainya untuk kebutuhan keluarga, untuk santai, ulang tahun malah yang ekstrim ada yang memakainya untuk acara pernikahan. Lahan yang selama ini di isi oleh studio foto kelas bawah ini.

Pelan-pelan, satu persatu, studio foto ini mulai gulung tikar karena kehilangan pangsa pasar, kalaupun mereka bertahan, pendapatan mereka tak mencukupi lagi untuk menutup biaya operasional. Bagi yang cukup modal dan melek teknologi, mereka segera mengikuti trend era digital ini. Menambah investasi untuk pembelian kamera digital, serta seperangkat komputer yang di lengkapi printer khusus untuk pencetak foto.

Sayangnya investasi yang di tanam ini, juga tak menjanjikan akan segera mencapai titik impas atau pulang modal. Karena pada umumnya mereka yang memakai telepon genggam berkamera ini juga tak selalu mencetak setiap foto yang di abadikan. Mereka hanya menyimpannya di memori kamera, lalu sewaktu-waktu melihatnya. Bila telah bosan lalu menghapusnya yang kemudian diisi lagi dengan foto-foto baru.
Beberapa teman seprofesi saya yang selama ini hidup dari studio fotonya, telah banting setir. Ada yang memugar studionya, lalu di jadikan warnet . Ada juga yang merubah studionya menjadi depo air minum isi ulang.

Serbuan tehnologi fotografi Digital ini tidak hanya melenyapkan studio-studio kecil kelas bawah. Tapi juga kelas menengah. Beberapa studio foto di kawasan Roxy, Jakarta Pusat, kini telah menutup pintu, menyerah. Beberapa studio yang tinggal, kini juga hidup dalam ambang ketidak pastian. Karena kekurangan order yang parah. Pengurangan tenaga, suatu hal yang makin sering terjadi.

Saya tidak begitu tahu bagaimana keadaanya dengan mereka yang berada di Jalan Sabang, dimana terdapat begitu banyak studio foto yang berderet di kiri kanan jalan.

Bagaimana situasinya di  kota-kota lain di Indonesia? saya kira tidak jauh berbeda.
Lalu bagaimana dengan studio-studio kelas atas? Walau badai era telepon genggam berkamera juga menerpa mereka, tapi mereka sudah punya pangsa pasar yang lebih terjaga dan spesifik, makanya mereka tetap bisa berkibar di tengah studio menengah maupun kecil mulai menghilang satu persatu.

Foto Pertama


13049625431428038695
Foto Pertama

Setelah kembali dari Pekanbaru, aku tinggal di kampung berdua dengan kakak tertua, Inan. Suatu hari aku disuruh mandi pagi-pagi ke luak gadang, sumur yang terletak di pinggir tabek dan sawah. Selesai mandi aku dipakaikan baju yang agak lumayan bagus, begitu juga kak Inan telah berganti memakai baju kurung, baju khas orang Minang.

Selesai sarapan kamipun berjalan meninggalkan rumah gadang. Melihat jalan yang kami lewati, aku kira kami akan pergi ke bok tempat umi di tahan tentara pusat beberapa tahun sebelumnya. Tapi setelah sampai di simpang tiga yang menuju bok itu, kami tidak berbelok ke kanan melainkan lurus mengikuti jalan raya nagari Salo Bungo Koto Tuo, tetangga nagari kami.

Aku tidak tahu berapa lama kami berjalan, keringat bercucuran membasahi pakaianku. Aku merasa haus, tapi aku tak berani mengatakannya pada kakakku. Setiap kami melewati lapau yang menjual beraneka ragam roti dan kue serta gula-gula, aku hanya menelan ludah, menahan keinginan dan rasa hausku.

Setelah berjalan cukup lama, kami sampai di jalan raya yang telah beraspal, kami menyeberangi jalan itu. Sampai di seberang baru aku tahu, ada jalan kereta api disana. Kami lalu menyeberangi rel kereta api, lalu berteduh di sebuah bangunan yang sekelilingnya berdinding, kecuali yang menghadap ke jalan kereta api. Di sekeliling dinding terdapat bangku panjang tempat duduk yang sebagian diantaranya sudah terisi. 

Kakakku duduk di bangku yang kelihatannya agak lapang, aku lalu didudukkannya di sampingnya.
Aku tidak tahu mengapa kami duduk disitu dan aku juga tidak menanyakannya pada kakakku. Semakin lama tempat itu semakin ramai, dari pembicaraan orang banyak itu baru aku tahu, bahwa tempat itu adalah stoplat tempat untuk menunggu kereta api yang mau menuju ke Bukittinggi dan Payakumbuh. Tapi aku sendiri tidak tahu, mau kemana aku akan dibawa oleh kakakku. Dari pembicaraan orang ramai itu pula aku tahu bahwa kami sedang berada di stoplat Biaro.

Setelah menunggu cukup lama, kereta yang kami tunggupun datang. Itulah pertama kali aku melihat kereta api secara langsung. Sewaktu kereta itu berjalan semakin dekat kearah stoplat, aku memegangi tangan kakakku erat-erat. Suara lengkingan kereta api itu membuat aku terkejut dan takut. Begitu juga Lokomotivnya yang hitam kelam dan bunyi mesinnya yang menderu serta dengusan nafasnya yang mengagetkan aku, semakin mempererat pegangan aku pada kakakku.

Setelah kereta api itu berhenti, aku melihat orang berduyun duyun naik ke atasnya. Dengan tetap berpegangan pada tangan kakakku, kamipun lalu naik ke atas gerbong kereta itu. Kami mendapat tempat duduk di bangku panjang yang berada di tengah gerbong. Sementara bangku yang berada di pinggir sebelah kiri dan kanan dekat jendela telah penuh.

Tidak lama kemudian kereta mulai bergerak meninggalkan stoplat Biaro itu, aku sendiri tidak tahu arah kereta ini kemana. Sementara aku mencium bau yang belum pernah aku ketahui itu bau apa, sementara asap kereta yang hitam pekat kadang-kadang terlihat sekilas. Dari obrolan para penumpang kereta, akhirnya aku tahu bau yang sejak dari tadi aku cium, rupanya itu adalah bau batu bara yang di bakar untuk menjalankan kereta api.

Setelah berjalan beberapa lama, kereta kembali berhenti . Dari seorang ibu yang menjawab pertanyaan anaknya yang duduk dekat jendela, aku mendengar ibu itu menyebut nama Tanjuang Alam.
Setelah selesai menurunkan dan menaikkan penumpang, kereta kembali berangkat meninggalkan stoplat Tanjung Alam, kembali aku mendengar lengkingan peluit kereta api meninggalkan stoplat. Kembali aku melihat asap mengepul di samping kereta yang disertai dengan bau batubara yang khas itu.

Setelah melewati perkampungan dan sawah-sawah yang membentang di kiri kanan jalan, kereta api kemudian mulai masuk kota yang ramai, sayang aku tidak bisa melihat terlalu bebas keluar, karena aku tak berani berdiri ketika kereta berjalan, sementara jendela kereta tertutup oleh kepala orang-orang yang duduk di pinggir.

Ketika kereta berhenti, kakakku mengatakan bahwa kami sudah sampai dan segera turun dari kereta. Akupun berdesakan dengan penumpang lain menuju pintu kereta, aku berusaha secepat mungkin sampai di pintu, karena takut keretanya berjalan lagi. Akupun mendengar para penumpang menyebutkan bahwa kami telah sampai di stoplat Aua Tajungkang, Bukittinggi. Disitu pulalah baru aku tahu bahwa aku di bawa oleh kakakku ke Bukittinggi.

Setelah turun dari kereta, kami berjalan menuju jalan raya. Tanganku di pegang erat oleh kakakku berjalan di sela-sela orang banyak di jalanan yang kami tempuh itu. Karena kuatnya pegangan tanggannya, aku merasa kesakitan. Tapi karena aku takut pada kakakku itu, aku hanya diam saja sambil berjalan menahan rasa sakit
Setelah kami di jalan yang agak lapang, baru tanganku di lepaskan. Bukan di lepas semua, melainkan dia beralih memegang tanganku yang satu lagi, yaitu tangan kiri. Sebabnya kami saat itu berjalan di jalanan yang banyak mobil lewat. Tangan kiriku di pegang agar posisiku berada di sebelah pinggir jalan, dan dia agak ketengahnya. Setelah berjalan cukup lama, kami lalu menyeberang jalan. Dekat persimpangan terminal bus, kami belok kekiri mendaki tangga yang kelihatan semakin lama-semakin tinggi. 

Kami hanya menaiki beberapa anak tangga, lalu belok kekiri masuk sebuah toko. Kakakku berbicara dengan pemilik toko, tak lama kemudian aku di ajak oleh kakakku masuk kebagian dalam toko itu. Sampai di dalam aku melihat lukisan-lukisan indah dan lampu yang menyala sangat terang. Bajuku di rapikan oleh kakakku, pemilik toko lalu mengangkat dan mendirikan aku pada sebuah bangku, sementara kakakku berdiri di sampingku.

Sejenak pemilik toko berdiri di belakang alat yang ditopang dengan tiga kaki, dia lalu membuka kain hitam penutup alat yang bertengger diatasnya. Pemilik toko itu menutupkan kain hitam itu ke kepala dan sebagian badannya. Tak lama kemudian aku mendengar bunyi klik, pemilik toko itupun lalu membuka kain hitam yang menutup kepalanya tadi, lalu menutupkan kembali ke alat yang terletak diatas kaki tiga itu.
Kami kembali keluar ke bagian depan toko, kakakku kembali berbicara dengan pemilik toko, kemudian kakakku menerima selembar kertas dari pemilik toko itu. Setelah itu, kamipun keluar dari toko itu.

Sambil berjalan menuruni tangga kakakku mengatakan bahwa tangga yang kami lewati ini adalah Janjang 40. Aku lalu melihat kebelakang, kearah tangga yang baru saja kami lewati itu, tapi karena kami telah sampai di ujung tangga, aku hanya bisa melihatnysa sekilas. Kakakku memegang tanganku untuk menyeberangi jalan, untuk kembali ke stasiun dan pulang.


Aku Disandera

Sebagai seorang anak yatim piatu yang juga miskin, aku jarang sekali punya uang jajan. Kalau ada orang kampung yang kasihan padaku, lalu memberiku uang, baru aku bisa jajan dan menikmati satu atau dua buah penganan yang di jual di warung dekat Simpang Labuah.

Sekali waktu, aku di beri uang jajan sama orang yang masih ada hubungan keluarga denganku, walau keluarga jauh.

Kebetulan hari itu adalah hari jum’at. Salah satu diantara dua hari pasar di pasar desa kami yang orang kampung menyebutnya pekan. Sehabis shalat Jum’at, aku langsung berjalan ke pekan. Uang tadi aku simpan di kantong celana. Aku sudah membayangkan mau jajan apa aku nanti di pekan, tak terasa akupun menelan ludah, membayangkan makanan-makanan enak yang nanti dapat aku beli di pekan. Tanganku sebentar-sebentar keluar masuk kantong celanaku, memastikan uang sebanyak 5 rupiah itu masih ada disana.

Sampai di pekan aku langsung menuju deretan pondok-pondok kecil beratapkan daun rumbia, tempat para pedagang makanan berjualan. Begitu banyak pilihan, ketupat sayur, sate, pecal, kue mangkok, serabi yang diberi kuah gula merah, bika panggang dan banyak lagi, yang semuanya itu membuat aku bingung menentukan pilihan, karena semuanya enak.

Dalam mencari makanan yang akan aku nikmati, sebelah tanganku tidak lepas dari kantong, memegang uang jajanku, memastikan uang masih berada disana.

Aku lalu mendekati warung pedagang yang menjual ketupat sayur, memesan ketupat sayur seharga 5 rupiah, sesuai dengan jumlah uang yang ada di kantongku. Sambil berdiri di dekat bangku kayu panjang tempat aku akan duduk nanti, aku begitu ngiler melihat makanan yang berada di depan mataku, aromanya yang begitu menusuk hidung membuat aku tambah lapar dan semakin ingin sesegera mungkin menikmatinya.

Aku mengeluarkan uang dari kantong celanaku, berancang-ancang untuk langsung membayar pesananku. Tapi pikiran lain berkelebat di kepalaku, yaitu aku akan membayar nanti setelah selesai memakan ketupat sayur itu. Seketika tanganku yang tengah memegang uang itu, segera kutarik kembali.

Karena ketupat sayur pesananku sudah di sodorkan kepadaku, aku lalu mengambilnya. Sejenak aku bingung, uang yang ada di tanganku mau di letakkan dimana? Secara refleks tangan kiriku mengambil uang yang terjepit di tangan kananku, di bawah piring yang berisi ketupat sayur pesananku.

Meja pedagang ketupat sayur itu tidak cukup besar, sesuai dengan ukuran warungnya. Sisa tempat dimana aku meletakkan piring ketupat sayur itu cukup sempit, karena mejanya telah dipenuhi oleh panci-panci besar berisi sayur nangka, daun pakis dan rebung. Sayur yang dapat dipilih sebagai teman pemakan ketupatnya.

Bila orang dewasa memakan ketupat sayur di warung itu, mereka cukup memegang piringnya dengan tangan kiri. Sementara tangan kecilku belum cukup kuat untuk memegang piring itu sebelah tangan, akupun lalu meletakkan piring di atas meja. Karena sisa meja tempat aku meletakkan piring ketupat sayur itu cukup sempit, maka untuk menahan piring agar tidak jatuh, maka aku harus menahannya dengan tangan kiri, tapi tangan kiriku saat itu juga tengah memegang uang. Agar tangan kiriku bebas menahan piring, maka uang yang aku pegang lalu diletakkan di atas bangku yang kemudian aku duduki. Dalam pikiranku uang itu kini aman karena aku duduki.

Selesai makan aku lalu berdiri untuk mengambil uang yang berada diatas bangku yang tadi aku duduki, tapi uang itu tidak ada!

Sambil bertanya-tanya di dalam hati kemana perginya uang itu, aku mencarinya di bawah bangku. Aku juga meraba paha belakangku yang memakai celana pendek, kalau-kalau uang itu menempel dan lengket disana, nihil. Para pembeli yang berada disampingku ikut bertanya, ada apa. Aku lalu mengatakan uangku yang tadi aku letakkan dibangku dan aku duduki, tidak ditemukan.

Rupanya pedagang ketupat sayur itu juga mulai tertarik dengan tingkahku yang celengukan kesana kemari kebingungan.

“A tu, a nan ang cari? Pedagang ketupat sayur itu menanyaiku, sambil terus melayani pembeli lain.

“Pitih awak balatakan di bangku ko cako, indak basuo...” aku menjawab, keringat dingin mulai membasahi tubuhku.

“Bilo lo ang malatakan pitih disinan...?”

“Cako, sabalun awak mamakan katupek...”  Rasa takut semakin membuatku merasa terpojok, mukaku mulai pucat.

“Indak ado bagai ang malatakan pitih nampak di den doh, baduto ang rangan...” pedagang ketupat sayur itu mulai menuduhku berbohong.

Aku benar-benar terpukul dengan tuduhannya bahwa aku telah membohonginya.

“Indak ado ang bapitih, ang kecekan pitih ang ilang. Ka makan katupek perai ang disiko...”

Pedagang itu semakin memberondongku dengan tuduhan-tuduhannya, bahwa aku ingin makan gratis disana. Aku hanya diam terpaku mendengar tuduhan itu, aku benar-benar terhenyak tak berdaya. Keinginanku untuk mencari uangku yang hilang langsung sirna. Tanpa dapat dicegah airmataku menetes membasahi pipiku. Penyesalan kenapa uang tadi tidak langsung saja aku berikan untuk membayar, disaat dia menyuguhkan piring berisi ketupat sayur itu padaku, semakin membuat aku terpuruk menyesali  diri sendiri.

“Kini tagak ang di suduk tu, sabalun ang baia katupek den waang indah buliah pai...” pedagang itu menyanderaku dengan menyuruh berdiri di sudut warungnya. Aku hanya bisa terdiam membisu tanpa bisa bicara-apa sambil beringsut dari tempatku berdiri kearah yang di tunjuknya.

Sambil menyesali perbuatanku yang ceroboh meletakkan uang sembarangan, aku menghapus airmata yang masih saja menetes. Dalam kesedihanku, aku bingung tak tahu harus berbat apa. Aku juga menyesali, kenapa kemiskinan keluarga kami membuat aku seperti sekarang ini. Sementara para pedagang-pedagang lain yang tadi ikut melihat kejadian itu mulai kembali sibuk dengan dagangannya, begitu juga si pedagang ketupat itu.

Para pembeli ketupat sayur yang datang silih berganti, heran melihat aku berdiri mematung, tertunduk sambil menangis di sudut warung ketupat sayur itu. Setiap ada pembeli yang bertanya, tuduhan kotor itupun selalu di ulang-ulang sang pedagang, yang membuat mereka ikut sinis melihatku, sedang aku merasa semakin terbenam dalam ketidak berdayaan, karena tidak bisa membela diri.

Aku tidak tahu berapa lama aku berdiri jadi sandera di sudut warung pedagang ketupat sayur itu, tapi cukup untuk membuat kakiku kesemutan karena berdiri mematung disana.

“Manga ang di siko Mi? Satu suara terdengar membangunkan aku dari lamunan penyesalan.

Belum sempat aku menjawab dan melihat siapa yang datang, pedagang ketupat sayur itu lebih dulu menyerocos memotong pertanyaan yang ditujukan padaku itu.

“Iko, anak uni ko. Kaciak baru lah pandai baduto. Lah jaleh wakno indak bapitih, makan katupek no di siko. Lah kanyangno dikecekanno pitihno ilang di ateh bangku tu...”

“Iyo, Mi? Aku hanya mengangguk tanpa berani mengangkat kepala.

“Bara ang makan katupektu...” suara lembut itu kembali menanyaiku, tapi belum sempat aku menjawabnya, sang pedagang dengan cepat memotong.

“Sapuluah rupiah...”

Aku terkejut mendengarkan harga yang dikatakan pedagang itu, bukankah aku tadi hanya makan ketupat sayur seharga 5 rupiah? Tapi aku tak berani membantah kebohongan yang telah dikatakannya.

Si ibu yang ternyata adalah orang sekampungku di Ladang Darek, yang walaupun tidak mempunyai hubungan keluarga denganku,  lalu membayar harga yang dikatakan pedagang ketupat itu.

“Paja ko anak yatim piatu komah, diagiah banano sapiriang alun karugi bagai lai doh, mungkin malah batambah rami galeh kau ko...”

Sambil mengambil uang kembalian, si pedagang ketupat sayur itu hanya diam mendengarkan omongan si ibu yang membebaskanku itu.
.
“Taruh pulang dih...” kata si ibu menyuruhku pulang setelah membebaskan aku penyanderaan.

“Jadih mai...”  jawabku sambil mengangguk, kemudian berjalan meninggalkan warung pedagang ketupat sayur itu dengan lega. Tapi dalam hati aku tetap marah pada si pedagang, karena telah mencatut harga ketupat sayur yang aku makan itu dua kali lipat dari harga sebenarnya....


1. “Apa yang kamu cari?
2. “Uang saya diletakkan di bangku ini tadi, tidak ketemu...”
3. “Kapan kamu meletakkan uang disana?”
4. “Tadi sebelum saya makan ketupat...”
5. “Saya tidak melihat kamu meletakkan uang di sana, kamu berbohong barangkali...”
6. “Kamu tidak punya uang, kamu katakan uang kamu hilang. Mau makan ketupat gratis kamu disini...”
7. “Sekarang berdiri kamu di sudut itu, sebelum kamu bayar ketupat saya, kamu tidak boleh pergi...”
8. “Sedang apa kamu disini Mi?”
9. “Ini, anak mbak ini. Kecil-kecil sudah pandai berbohong. Sudah jelas dia tidak punya uang, makan ketupat dia disini. Sudah kenyang dikatakannya uangnya hilang diatas bangku itu...”
10. “Benar, Mi?
11. “Berapa harga ketupat itu?
12. “Sepuluh rupiah...”
13. “Anak ini anak yatim piatu, kamu beri dia sepiring belum tentu bakalan menimbulkan kerugian, mungkin malah akan semakin laris dagangan kamu ini...”
14. “Langsung pulang ya...”
15. “Ya, bu..”

Perantau Minang Menjelajah Nusantara

Karatau madang di hulu
Babuah babungo balun
Marantau bujang dahulu
Dirumah paguno balun

Kalimat kiasan inilah yang memicu, kenapa orang Minang pergi merantau. Kondisi perekonomian yang sulit, sawah garapan yang masa pengolahannya panjang, yang diistilahkan dengan padi yang hanya pulang sekali setahun. Kehidupan di kampung yang tidak menentu, penguasaan tanah pusaka pada saudara perempuan yang hanya boleh digarap saudara laki-laki namun tak boleh dikuasai.
Maka berangkatlah si buyung pergi merantau, dengan berbekal hanya beberapa potong pakaian, serta uang yang hanya cukup buat ongkos di perjalanan. Di iringi doa sang bunda, beserta pesan dalam pantun

Jika buyung pergi kelepau
Hiu beli belanak beli
Ikan panjang beli dahulu
Jika buyung pergi merantau
Ibu cari dunsanak cari
Induk semang cari dahulu

Kenapa induk semang yang di cari dahulu? Karena dengan mendapatkan induk semang inilah, si buyung bisa mempertahankan hidupnya selama di rantau orang. Pergi merantau tanpa modal, selain badan yang sebatang, apa yang bisa dilakukan kalau bukan mencari induk semang? Dengan induk semang, kehidupan sehari-hari sudah pasti terjamin. Tanpa harus jadi pengemis atau hidup menumpang sebagai pengangguran.

Dengan induk semang mulailah sebuyung belajar bekerja atau berniaga, apakah itu sebagai tukang cuci piring di rumah makan. Atau jadi anak buah ketika berdagang. Dari situlah sibuyung belajar hidup merintis masa depannya, sementara pesan bunda senantiasa mengiringi setiap langkahnya.

Kok mandi di ilia-ilia
Kok manyauak di bawah-bawah
Bajalan usah malendo
Bakato usah manggadang

Selalulah bersikap rendah hati, jangan sampai berbuat dan berkata sombong. Berhati-hati kalau berjalan, sehingga tidak ada orang yang kena senggol. Berbicaralah apa adanya tanpa harus menyombongkan diri, atau menyakiti perasaan orang lain. Itulah inti pesan pada pantun diatas.

Dima bumi di pijak, disinan langik dijunjuang
Basuluah matohari, bagalanggang mato rang banyak

Belajar menyesuaikan diri dengan keadaan setempat, tanpa harus kehilangan jati diri. Selalu bersikap jujur, sehingga disenangi orang banyak. Satu lagi falsafah hidup orang Minang di perantauan dalam menjalin hubungan dengan lingkungan adalah:

Masuk kandang kambing membebek
Masuk kandang sapi melenguh
Masuk kandang ayam berkotek
Masuk kandang anjing menyalak

Filosofi yang terkandung dalam petuah ini adalah, dalam menyesuaikan diri dengan situasi lingkungan yang baru, orang Minang akan berusaha sedapat mungkin mempelajari bahasa daerah setempat, sehingga komunikasi dengan lingkungan terjalin dengan akrabnya. Tidak mengherankan, sering orang tidak bisa menerka, bahwa mereka mengobrol dengan orang Minang. Seperti sering saya temui, orang tidak bisa menebak saya dari daerah mana. Ngarep boso Jowo, monggo. Bade basa Sunda, mangga. Walau saya bisanya hanya sekadar bahasa pergaulan sehari-hari di tengah pasar.

Begitu banyak bekal dan pesan moral yang di bawa oleh orang Minang ketika pergi merantau. Sehingga dengan modal itu mereka merantau menjelajahi keseluruh pelosok negeri ini. Kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat inilah, orang Minang di terima dengan tangan terbuka, kemanapun mereka pergi merantau.

Ketangguhan para pedagang Minang ini, hanya bisa disaingi oleh para pedagang keturunan Cina. Diantara mereka yang berhasil, bisa kita lihat pada mantan menteri perdagangan Abdul Latif dengan Pasaraya Sarinah Jayanya. Atau pada beberapa dekade berlalu, Rahman Tamin dengan bisnis Import eksportnya.

Latihan berdagang dari bawah sebagai anak buah, hingga di percaya sebagai tangan kanan dan kemudian belajar mandiri mulai dari kaki lima, membuat para pedagang Minang ini tangguh menghadapi berbagai macam situasi. Jatuh bangun adalah hal yang biasa bagi mereka, namun mereka tidak akan pernah menyerah dan kalah. Malah di dendangkan dalam sebuah pantun:

Hiduik bak cando roda padati
Sakali kateh sakali kabawah
Wakatu kateh yo dapek galak badarai
Tibo di bawah yo sansai badan marasai

Hidup bagaikan roda pedati, sekali keatas sekali kebawah. Waktu diatas dapat tertawa berderai, sewaktu dibawah sungguh malang, badan menderita.

Bila berhasil dalam perantauannya, keberhasilan itu tidaklah dinikmati sendiri. Kalau dulu mereka sebagai anak buah atau anak semang. Kini menjadi induk semang dengan menampung saudara atau famili yang baru datang dari kampung, sebagaimana mereka datang untuk pertamakalinya dulu.

Bila sibuyung sukses di rantau, maka komunikasi denngan kampung pasti akan lancar. Kalau pada zaman dahulu komunikasinya dengan surat menyurat. Kini, ditengah semakin maraknya sistem komunikasi seluler, tentu komunikasinya dengan telpon genggam, dengan kartu GSM yang sinyalnya sampai kepelosoklah yang dipakai. Seperti Simpati yang telah menyusup jauh kedesa-desa.

Keberhasilan si buyung di rantau bisa dilihat dari tampilan sehari-hari. Rumah baru, mungkin juga mobil baru. Begitu juga untuk orang tua dikampung. Rumah baru, maupun renovasi bisa kita saksikan bila kita berkunjung ke ranah Minang. Walau kebanyakan rumah ini hanya di huni oleh orang tua, sehingga sehari-hari kelihatan rumah itu kosong. Tapi lihatlah bila lebaran tiba, rumah itu akan penuh, kampung yang selama ini sepi, kembali ramai walau hanya seminggu dua minggu.

Mobil-mobil dengan plat kendaraan luar daerah dengan mayoritas dari Jakarta akan memenuhi jalanan di kota-kota Sumatera Barat, hingga jarak tempuh Bukittinggi – Padang sepanjang 90an kilometer yang biasanya hanya memakan waktu 2 jam, menjadi 4 hingga 5 jam bahkan adakalanya lebih. Pengalaman saya pulang lebaran tahun 2009 lalu. Perjalanan dari Kota Solok ke Padang Panjang yang hanya sekitar 40 kilometer melewati pinggir danau Singkarak, ditempuh dalam waktu 3 jam lebih! Padahal di hari biasa, hanya akan memakan waktu 30 hingga 45 menit.

Keberhasilan atau kesuksesan si buyung, akan menjadi buah bibir orang se nagari, dan akan menjadi penarik bagi mereka punya anak-anak bujang, agar mereka mencoba peruntungan pula di rantau orang.
Pulangnya si buyung dari rantau, ramailah kampung dan nagari. Ramailah jalan dan warung kopi, semarak masjid serta surau. Bagi keluarga yang punya anak gadis, sibuklah mamak dibuatnya.

Janjarak bungo janjori
Kambanglah bungo parautan
Siriah galak pinang manari
Anak rajo di kampuang sutan

Kehadiran si buyung, akan menjadi magnit bagi si upiak na alah gadang, berusaha mendekat mencuri pandang dari balik jendela rumah gadang. Ayah dan ibupun ikut sibuk berunding dengan mamak atau paman, untuk berusaha menjodohkan si upik dan si buyung. Bila cocok perhitungan, berjodoh si buyung dan si upik, diisi carano jo siriah langkok, Baralek Gadang orang sekampung.

Bagi mereka yang kurang beruntung, semakin jauhlah jalan untuk pulang. Laratlah mereka di rantau orang. Hingga bila itu berlarut-larut, keluarlah istilah dari mulut mereka rantau Cino. Seperti merantaunya orang Cina, merantau yang tak akan kembali lagi ketanah leluhur mereka. Dalam rindunya pada kampung halaman, sebuah senandungpun akan mereka lantunkan

Tinggalah kampuang ranah Balingka
Gunuang Singgalang lai ka manjago
Oi Mande kanduang tolong jo do’a
Antah pabilo kito basuo

Tinggallah kampung ranah Balingka, Gunung Singgalang akan menjaga, Bunda kandung tolong dengan do’a, entah pabila kita kan bersua.

Bagi yang larat di rantau orang ini, banyak yang berjodoh dengan masyarakat setetempat. Hingga semakin jauhlah jalan untuk pulang.

Namun tak jarang pula mereka yang menikah di rantau ini, kemudian meraih keberhasilan dalam kehidupannya, lalu membawa anak istrinya pulang kekampung halamannya di Ranah Minang. Untuk mempertemukan dan memperkenalkan anak dan istrinya kepada keluarga di kampung. Pulanglah dia si anak hilang.



1305765986829417496
Pedagang Minang di Indragiri Hulu, Riau



13057654511743601136
Kaki lima, langkah awal pedagang Minang di perantauan



1305766103351194550
Beginilah pada umumnya suasana kampung di Ranah Minang, Sepi ditinggal penduduknya pergi merantau. Kampung ini baru akan ramai bila lebaran tiba.