Guguak Rang Pisang

Butir 4

GUGUAK RANG PISANG

Aku punya hubungan yang sangat erat dengan keluarga ayahku, yang di kampung kami istilahnya bako. Almarhum ayahku punya saudara 5 orang, tiga perempuan dan 2 laki-laki. Ayahku sendiri adalah anak kedua. Saudara perempuan ayah aku panggil tuo, angah dan etek. Sesuai dengan umur mereka. Tuo untuk yang tertua, angah untuk yang di tengah dan etek untuk yang ketek alias kecil. Sedang saudara ayahku yang laki-laki aku panggil pak adang dan pak angah. Pak adang untuk yang gadang atau yang besar, dan pak angah. Sebenarnya mereka semuanya ada sembilan orang. Namun tiga diantaranya meninggal, dua orang meninggal saat masih balita, sementara yang satu lagi setelah meningkat remaja.

Kampung ayahku, jaraknya sekitar 4 kilometer dari kampung ibuku, tapi itu kalau mengikuti jalan raya. Bila melewati jalan pintas melaluli pematang sawah yang membentang diantara dua kampung itu, kemudian menyeberangi agam atau sungai yang membelah keduanya, jaraknya akan berkurang jadi sekitar 3 kilometer.
Berbeda dengan kampung ibuku yang bagaikan tanah semenanjung, kampung ayahku yang bernama Guguak Rang Pisang, berada persis dikaki bukit barisan yang membentang dari barat laut ke tenggara.

Guguak Rang Pisang juga mempunyai kisah sendiri. Guguak, yaitu gundukan tanah yang tinggi ditengah hamparan sawah atau tanah yang datar. Guguak ini dibiarkan sebagai mana adanya mungkin karena terlalu tinggi untuk diratakan atau keras karena mengandung berbatuan.

Jorong atau Desa Guguak Rang Pisang berasal dari guguak yang sebenarnya adalah kaki bukit barisan yang mulai meninggi, sehingga tidak mungkin lagi diteruskan diratakan untuk lahan persawahan.

Kaki bukit ini kemudian sebagian dijadikan untuk perkampungan sawah bertingkat, dan tabek atau kolam ikan. Agar tanah hasil perataan kaki bukit dipinggir kampung tidak longsor ke dalam banda atau kali kecil yang berfungsi sebagai saluran irigasi yang mengelilingi sawah dipinggir perkampungan. Maka ditanamilah seluruh pinggir kampung yang menghadap kesawah itu dengan pohon pisang.

Lalu kenapa yang ditanam itu pohon pisang? Disinilah briliannnya hasil pemikiran nenek moyang kita dahulu.

Sebagaimana kita ketahui pohon pisang itu perkembangannya berkesinambungan. Bila satu batang pisang berbuah, kemudian buahnya dipetik dan batangnya kemudian layu dan mati. Di sekeliling pangkal batangnya telah lebih dahulu tumbuh anak pisang baru menggantikan induknya. Siklus ini berlanjut terus dan semakin berkembang hingga seluruh pinggir guguak disepanjang aliran banda yang mengelilingi kampung itu penuh dengan pisang, seakan membentengi kampung itu. Hingga kini, pisang-pisang itu tetap bertahan di tempatnya, entah telah berapa generasi mereka disana.

Bila Anda pertama kali memasuki kampung itu, dari jalan yang membentang membelah persawahan yang menghampar luas, yang kelihatan adalah pohon pisang yang melambai-lambai ditiup angin, seakan mengucapkan selamat datang kepada para tamu-tamunya.

Gerbang kampung Guguak Rang Pisang ini bernama Banda Rusuang, disini terdapat jembatan yang terletak diatas banda atau saluran irigasi yang mengelilingi kampung Guguak Rang Pisang bagian barat dan selatan. Dikiri kanan jembatan ini dibuat tanggul beton sepanjang lebih kurang tiga meter, sebagai pagar jembatan, sekaligus berfungsi sebagai tempat duduk-duduk santai warga kampung dikala senja menjelang magrib. Rumah keluarga ayahku ada di dusun Karan. Kawasan Selatan Guguak Rang Pisang. Untuk menuju kesana ada dua jalan.

Jalan pertama dari Banda Rusuang mengikuti satu-satunya jalan raya kampung ini, terus mendaki sampai ke Masjid Sofia, yang berada persis di tengah-tengah kampung, satu-satunya masjid untuk warga di Guguak Rang Pisang ini. Aku tidak tahu dari mana inspirasi untuk nama masjid ini. Apakah dari masjid Aya Sofia yang sampai tahun 1453, adalah gereja katedral (basilika) Bizantium Hagia Sophia yang dibangun oleh Konstantius, putra Konstantin yang Agung. Lalu saat Konstantinopel ditaklukkan Sultan Mahmud II pada tahun 1453, lalu pergi ke Gereja Hagia Sophia dan memerintahkan mengubahnya menjadi masjid yang dikenal dengan Aya Sofia dan kemudian sejak pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk menjadi museum di Turki sana?

Persis disudut tikungan di depan Masjid, terdapat simpang tiga, belok kekiri mengikuti jalan raya yang melingkar bagai bulan sabit menuju nagari Salo. Belok kekanan adalah jalan menurun menuju rumah keluarga ayahku. Disisi kiri dan kanan terdapat tabek atau kolam ikan. Jalan yang hanya dapat dilewati kendaraan roda dua sepanjang dua ratus meter ini, akan berujung di rumah almarhum Sutan Basa mantan saudagar tembakau. Dengan melewati halaman rumahnya, jalan ini terus menyambung diujung halaman sebelah selatan, kembali menurun dari ketinggian kira-kira satu setengah meter. Berjalan kira duapuluh lima meter belok kanan melewati pematang sawah. Lima belas meter berikutnya belok kiri melewati jalan yang sedikit melengkung kekanan kira-kira seratus lim puluh meter sampailah di Karan, rumah keluarga ayahku yang berada di sebelah kiri jalan.

Alternatif kedua sebenarnya lebih dekat, tapi ini hanya untuk pejalan kaki karena jalannya sempit.

Dari Banda Rusuang, persis dekat pagar jembatan belok kanan melalui pematang yang membatasai sawah dan banda saluran irigasi. Jalan ini berkelok-kelok sepanjang tiga ratus meter mengikuti alur banda. Dekat pohon Ambacang, sejenis mangga berbuah bulat dengan kulit yang berbintik-bintik hitam, yang tumbuh di kebun tetangga disebelah rumah ayahku, belok kiri melintasi jembatan kecil terbuat dari pohon kelapa sepanjang tiga meteran, menaiki tangga tanah yang di batasi bambu, sampailah di Karan. Berjalan sekitar tujuh puluh lima meter lagi, tibalah di rumah keluarga ayahku, Rumah Inyiak Aki-ku.

Rumah Inyiak Aki, panggilanku terhadap kakekku, juga berupa rumah gadang, sebagaimana rumah kami di Ladang Darek. Bedanya, rumah kami di Ladang Darek menghadap ke selatan membelakangi bukit barisan, sedangkan rumah Inyiak Aki menghadap ke utara kearah bukit barisan, di depan rumah diseberang jalan terdapat sawah bertingkat-tingkat, sampai mendekati kolam didepan masjid.

Perbedaan lain dengan rumah kami di Ladang Darek adalah; rumah Inyiak Aki memakai atap ijuk dari pohon enau, atap yang menjadi tradisi untuk rumah gadang di Minangkabau, sedang rumah kami memakai atap seng gelombang, Bila ditimpa hujan lebat berisiknya bukan main. Begitu juga tangga dan pintu masuknya. Tangga rumah Inyiak Akiku berada di depan rumah, diantara sambungan rumah gadang dengan rumah saruang, ruangan tambahan di ujung timur rumah gadang yang menjadi penghubung dengan dapur, sementara di Ladang Darek tangganya ada di bagian belakang rumah.

Perbedaan lain diantara dua kampung ini adalah; Ladang Darek berada di tanah yang datar, sementara Guguak Rang Pisang, karena berada di kaki bukit, struktur tanahnya tidak rata, bertingkat-tingkat. Rumah kakekku termasuk yang berada didataran paling bawah, sekitar satu setengah meter dari permukaan sawah yang berada di bagian barat dan selatan kampung.

Di dua kampung inilah masa kecilku dihabiskan, bila aku telah lama di Ladang Darek, Azwar, anak tertua dari tuo-ku di Guguk Rang Pisang akan menjemputku dengan sepeda, dan membonceng aku dibelakangnya menuju Guguk Rang Pisang.