Keluargaku

Sebuah Seri Otobiografi

Butir 1

KELUARGAKU

Di penghujung malam, tangis seorang bayi yang lahir dari rahim seorang wanita, memecah kesunyian. Mengiringi fajar yang sedang menyingsing. Bayi keenam, dan terakhir. Seorang bayi laki-laki. Semua keluarga menyambut dengan penuh suka cita. Namun suka cita yang sumbang, bagaikan panas mengandung hujan. Ada yang tidak utuh disaat itu. Seseorang yang seharusnya ikut menyambut si pendatang baru dalam keluarga. Tapi dia tak ada, kemana dan kenapa?

Ayah...
Dua bulan sebelum sang bayi memperlihatkan dirinya dimuka bumi. Daun kehidupan sang ayah, telah gugur ditiup Nafiri Izrail dari pohon kehidupannya di Lauhulmahfuz. Karena memang hanya sekianlah jatah waktu yang ditetapkan untuk dia oleh sang Pemberi Kehidupan. Kepergian yang tak boleh ditunda, walau hanya sekedipan mata.

Itulah aku. Lahir dari ibu yang mempunyai 6 orang anak, dari dua suami.
Aku bungsu dari suami ibuku yang kedua, setelah berpisah dengan suaminya yang pertama, yang memberinya empat orang anak. Tiga orang perempuan dan yang keempat laki-laki.

Dari ayahku, ibuku yang sehari-hari kami panggil ummi melahirkan dua orang anak yang keduanya laki laki, aku dan kakakku yang aku panggil uda, panggilan untuk kakak laki-laki di Minangkabau.

Ayahku meninggal, karena menderita sakit yang akhirnya merenggut nyawanya. Sepeninggal ayahku suami pertama ibuku kembali bersama kami, dan akupun ikut memanggilnya ayah, sebagaimana yang lain.

Diwaktu aku berusia sekitar tiga atau empat tahun aku mendapat penyakit borok memanjang dari kiri ke kanan disekitar perutku. Dan sakitku ini bertahan cukup lama ditubuhku, sehingga mengganggu sekali bila aku pakai celana. Karena suka menempel pada borokku, yang membuat aku meringis kesakitan bila aku membuka celana untuk mandi atau keperluan lain. Setelah sembuh borok ini meninggalkan bekas di sekitar perutku.

Walau tanpa ayah kandung, namun aku dapat merasakan kebahagiaan ditengah-tengah keluargaku, karena kami semua saling menyayangi. Tidak ada perbedaan antara adik kandung dan adik tiri, semua kurasakan memperhatikan dan menyayangi aku dan kakakku yang telah menjadi yatim. Ummi berhasil menanamkan rasa kasih sayang diantara kami, anak-anaknya yang berlainan ayah.

Keluargaku tinggal pada sebuah rumah gadang, rumah adat keluarga besar orang Minangkabau. Rumah gadang kami bergonjong empat. Menghadap ke selatan dan membelakangi bukit barisan yang membujur dari barat ke timur. Dibagian depannya terdapat lima jendela, tanpa ada pintu untuk keluar masuk. Dibagian belakang, barulah terdapat pintu. Tanpa ada jendela lain. Pintu ini adalah satu-satunya pintu keluar atau masuk rumah gadang.

Dibagian dalam, rumah gadang itu dibagi dua. Sebagian rumah sebelah selatan yang dekat ke jendela, adalah ruangan utama tanpa sekat memanjang dari ujung yang satu ke ujung yang lain. Ruangan multi fungsi, sebagai ruang tamu, ruang makan maupun ruangan keluarga. Bagian utara adalah deretan kamar, jumlah kamarnya ada empat ditambah satu lagi rumah saruang- ditengah yang berfungsi bukan sebagai kamar, tetapi sebagai ruang penghubung antara pintu dan ruangan utama. Rumah saruang ini adakalanya juga berfungsi sebagai gudang penyimpanan sementara padi yang baru dipanen dan dimasukkan kedalam karung, sebelum dimasukkan kedalam kapuak, ruangan khusus yang berfungsi sebagai lumbung penyimpanan padi yang terletak dikolong rumah gadang. Yang pintu keluar masuknya terdapat di lantai ruangan utama. Padi yang habis dipanen dimasukkan kedalam kapuak ini. Kalau di perlukan lalu diambil secukupnya bila beras yang untuk dimasak telah habis.

Kamar utama yang biasa disebut biliak gadang ada dua, terletak di bagian ujung barat dan timur. Kamar sebelah barat adalah kamar keluarga kami, dan yang sebelah timur kamar keluarga etekku. Dua kamar lainnya dengan ukuran yang lebih kecil yang disebut biliak kaciak, terletak disebelah kamar utama. Biliak kaciak yang disamping kamar kami ditunggui oleh nenekku, sementara yang disebelah kamar etekku dihuni oleh tuo bibi etekku.

Rumah saruang terletak persis ditengah, diantara dua biliak kaciak nenekku dan tuo. Di rumah saruang inilah terletak sartu-satunya pintu yang menghubungkan bagian dalam rumah gadang ini dengan dunia luar, tempat keluar masuknya penghuni rumah gadang ini setiap hari.

Sebelum bisa turun tangga sendiri, aku sering duduk di puncak tangga dekat pintu rumah saruang ini. Memperhatikan semua aktifitas yang terjadi, menunggu aku dijemput oleh ummi dan di gendong menuju rumah dapur. Bila aku duduk dipintu rumah saruang, dihadapanku terbentang halaman belakang rumah kami, sebelah kanan berdiri rumah dapur etekku, dan sebelah kiri rumah dapur kami. Rumah dapur etekku lebih besar dari rumah dapur kami. Dibawah pintu telah menyambut tangga kayu dengan tujuh anak tangga, aku belum bisa menuruni anak tangga ini, karena jarak anak tangga yang satu dengan yang lainnya belum terjangkau oleh kakiku. Persis diujung tangga, sebelah bawah terdapat beberapa batu kali yang permukaannya datar sebagai alas untuk mencuci kaki. Disebelahnya ada cibuak yang terdiri dari beberapa potongan pohon bambu, yang buku sebelah dalamnya telah dilubangi, kecuali bagian paling bawah. Disusun dalam posisi berdiri mungkin ada 10 buah, diikat dan ditanam ditanah.

Tinggi cibuak tersebut sekitar empat ruas bambu, satu ruas ditanam ditanah, dan tiga ruas diatasnya berdidri kokoh diatas permukaan tanah. Setiap batang bambu tersebut diisi dengan air yang dibawa dari luak yang ada di ujung ladang, atau kalau musim hujan diisi dengan air yang mengucur dari atap rumah yang di tampung dan di alirkan dengan bambu. Untuk mengambil air yang berada didalam cibuak tersebut dibuatlah tanjua. Bambu yang lebih kecil ukurannya dari bambu untuk cibuak, yang panjangnya sekitar sejengkal, di beri tangkai yang panjangnya sama dengan dalamnya cibuak, dan dilubangi dekat buku bambu bagian samping bawah untuk saluran keluar airnya.

Kegunaan cibuak ini adalah untuk mencuci kaki, bagi yang ingin masuk kerumah gadang, dan juga untuk mengambil wudhu untuk shalat, terutama malam hari. Karena satu-satunya sumber air kami adalah luak atau sumur yang ada di ujung ladang. Luak atau sumur ini dibuat dengan menggali tanah yang mempunyai mata air dekat tebing di pinggir sawah, yang jaraknya dari rumah sekitar 300 meter.


Disamping keluarga kami, yang jumlahnya sembilan orang termasuk nenekku, juga tinggal di rumah gadang tersebut bibiku yang sehari-harinya aku panggil etek. Bibiku ini saudara sepupu ibuku, bukan adik kandung, Suaminya seorang pegawai negeri dan mereka punya satu anak. Sebenarnya dia punya dua anak yang lahir kembar, namun yang satu meninggal beberapa waktu setelah lahir. Usiaku dan anak bibiku tak terpaut jauh, aku hanya lebih tua enam bulan.

Terakhir yang tinggal dirumah gadang tersebut adalah bibi dari bibiku, yang kami semua memanggilnya tuo, karena dia lebih tua dari kami semua selain nenekku. Dia hidup sendiri tanpa suami ataupun anak. Seharusnya aku dan kakak-kakakku maupun anak bibiku memanggilnya nenek. Tapi karena yang dipanggilkan nenek adalah nenekku maka untuk membedakannya kamipun ikut-ikutan orang tua kami memanggilnya tuo.

Sewaktu aku lahir, kondisi tuo ini sudah dalam keadaan tunanetra, sehingga hari-harinya selalu dihabiskan disekitar rumah, tak pernah kemana-mana.

Adalagi satu keluarga bibiku yang lain, tapi dia tidak tinggal bersama kami di rumah gadang. Dia bersama suaminya yang bekerja sebagai guru, telah membuat rumah sendiri, yang masih berdekatan dengan rumah gadang, hanya dipisahkan jalan yang membelah kampung. Keluarga bibiku tersebut punya dua anak, yang semuanya wanita, yang setelah menamatkan sekolahnya juga kemudian berprofesi sebagai guru, sebagaimana ayahnya. Terhadap bibiku ini kami memanggilnya amai

Walaupun kami keluarga besar, anggota keluarga kami tak pernah bertengkar. Kami hidup dalam keadaan rukun dan damai. Ajaran agama dan ikatan adat telah menyatukan kami dalam suatu keluarga besar yang harmonis. Walaupun aku dan udaku berlainan ayah dengan kakak-kakakku yang lain namun mereka menyayangi kami sebagai adik kandung. Setidaknya itulah yang kami rasakan saat itu.

Kehidupan kampung yang damai dan terikat kuat dengan adat, dan kehidupan beragama keluarga kami yang cukup taat, mengikat kami dalam satu keluarga yang utuh.
Mungkin karena aku dan udaku yang telah yatim, menjadi penyebab mereka menyayangi kami sebagaimana adik kandung sendiri. Atau mungkin juga didikan ummi yang berhasil menyatukan kami sebagai saudara kandung, apalagi karena sistim keluarga Minangkabau yang menganut sistim garis keturunan dari ibu, maka kami utuh dalam satu keluarga. Tak ada yang merasa anak-kandung atau anak tiri maupun adik kandung maupun adik tiri.

Memang, aku tak begitu merasakan kedekatan, kehangatan, atau peran ayah tiriku terhadap aku dan udaku, namun aku tetap menghormati dia sebagai ayahku, karena dia juga tidak membeda-bedakan antara aku dan kakak-kakakku yang lain, walau terkadang aku merasakan ada sedikit perbedaan yang mungkin membuat sedikit jarak antara aku dengan dia.

Ini aku rasakan bila aku berada dikeluarga etekku disaat aku bermain dengan anaknya, aku sering merasakan perasaan lain bila aku melihat suami etekku yang kami panggil pak aciak itu membelai dan mengajak anaknya bercanda dan bermain. Ada rasa sepi, ada rasa iri, ada rasa kehilangan, ada rasa yang tak dapat kuungkapkan dengan kata-kata...!

Hal ini sering mengusik aku, bila aku sedang asyik bermain dengan Fitrizal-demikian nama sepupuku itu. Lalu ayahnya yang dia panggil papa, pulang kerja dan kelihatan oleh anaknya maka dia akan lari meninggalkan aku dan mendapatkan papanya yang kemudian menggendongnya.

Tinggallah aku sendirian, memperhatikan kemesraan dan kehangatan antara anak dan bapaknya. Keasyikan bermainku jadi hilang, aku hanya jadi diam termangu. Rasa sepipun merayap menyentuh diriku, terasa sekali aku ingin punya ayah yang bisa menggendong dan membelai aku serta mengajak bercanda, inilah yang tidak aku temukan pada ayah tiriku, yang mungkin membuat aku dan kakakku merasakan ada jarak diantara kami. Andai…….

Dalam kondisi seperti itu, ummi jadi dewa penolong. Dia akan mencari dan mendapatkan aku bila dia melihat Fitrizal pulang digendong papanya. Ummipun akan menggendong aku, dan membujuk dengan kata-kata yang menenteramkan hati. Sehingga akupun merasakan punya seseorang tempat aku berlabuh, yang mengerti aku, sehingga pelan-pelan akupun mendapatkan hidupku kembali.

Diluar kondisi yang tanpa ayah kandung, sebenarnya aku cukup bahagia dengan keluargaku, tentu bahagia yang kumaksud disini adalah kebahagian dan perasaan yang terungkap dari seorang anak berusia diantara tiga sampai empat tahun atau istilah sekarang disebut balita –dibawah lima tahun-.

Bila Musim Kesawah Tiba.....

Sebuah Otobiografi

Butir 3

BILA MUSIM KESAWAH TIBA
1958-1959

Keluarga kami juga memiliki beberapa petak sawah, yang hasilnya cukup untuk makan sekeluarga. Salah satu lokasinya diantaranya di Alahan, dipinggir jalan raya yang menuju Solok. Jorong atau desa yang terletak persis di kaki bukit Barisan. Dipuncak atau tepatnya didinding paling atas Bukit Barisan tersebut terdapat sebuah batu granit berwarna putih, penduduk kampung menamainya Batu Bajak yang kelihatan dari kota Bulittinggi, yang jaraknya sekitar 12 kilometer dari kampung kami.

Bila musim hujan tiba, berarti musim kesawah dan menanam padipun menyusul diambang mata. Kebun didepan rumah sebagian mulai dibersihkan untuk menyemaikan benih padi yang akan ditanam disawah. Sementara sawah mulai dicangkul atau di olah dengan bajak yang ditarik sapi yang kami sebut manjaja. Dirumah, ummi beserta kakak-kakakku sibuk memasak didapur. Bila tengah hari menjelang, akupun ikut ummi maupun kakakku mengantarkan makan siang untuk orang yang mengerjakan sawah kami. Begitu sampai disawah aku berjalan dan bermain di pematang yang membatasi sawah kami dengan sawah di sebelahnya, mencoba menangkap capung yang berterbangan dan hinggap di atas rumput yang tumbuh di pematang sawah. Terkadang aku menginjak atau tersenggol daun putri malu yang berduri yang membuat aku berteriak kesakitan. Namun aku tak pernah jera, dalam keasyikan mengejar dan menangkap capung yang hinggap maupun beterbangan, walaupun selalu gagal, karena reaksi capung itu selalu lebih cepat dari tangan mungilku.

Setelah shalat zhuhur orang yang mengerjakan sawahpun makan siang dengan makanan yang kami antarkan. Duduk diatas pematang yang agak lebar beralaskan rumput. Akupun diajak ikut menikmati makan siang dibawah panas terik tersebut. Angin berembus sepoi-sepoi, kadang agak kencang, lumayan untuk menyegarkan tubuh yang telah basah oleh keringat. Makan siang dipematang sawah ini adalah saat yang paling nikmat kurasakan.
Usai makan kamipun beranjak pulang meninggalkan sawah, sementara yang bekerjapun yang masih ada hubungan keluarga dengan kami melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai hingga usai waktu ashar nanti sorenya.

Setelah beberapa minggu, benih yang disemai di kebun didepan rumah mencapai tinggi sejengkal tangan orang dewasa. Berarti musim tanam telah tiba, sawahpun telah selesai diolah dan dihaluskan, musim hujan telah membuat sawah digenangi air yang cukup untuk bercocok tanam.

Saat menanam padi disawahpun tiba. Keluarga semua sibuk. Ummi, kakak-kakakku sebagian mencabuti benih di persemaian, sebagian lagi memasak untuk mereka yang ikut membantu menanam padi disawah, mereka umumnya masih famili dekat.

Benih yang dicabut diikat segenggaman orang dewasa, pucuknya dipotong beberapa sentimeter. Lalu dikumpulkan didalam upiah, kotak kayu persegi panjang yang berbentuk trapesium, mengecil kebawah, yang didalamnya juga telah dimasukkan abu bekas pembakaran didapur sebagai pupuk benih yang akan ditanam dan dicampur dengan pupuk kandang. Ditempat persemaian mereka sibuk mencabuti benih lalu mengikatnya.
Tuan Salim sibuk memotong pucuk benih dengan sabit yang tajam. Dengan memegang pucuk benih dengan tangan kirinya dan batang benih dengan tangan kanannya, dia memotong pucuk benih dengan sabit yang ditelentangkan ditanah dan diinjak dengan kakinya agar sabit itu tidak bergeser atau rebah disaat memotong benih padi, benih ditempelkan kemata sabit, didorong dari arah bawah keatas dengan gerakan cepat pucuk benihpun terpotong.

Suara persemaianpun ramai dengan canda dan tawa, membuat pekerjaan tak terasa berat. Aku sibungsu yang masih balita, dan udaku yang baru melewati masa balitanyapun tak mau ketinggalan, membantu mengangkati benih yang telah diikat, dan meletakkannya dekat tuan Salim –demikian aku dan uda Des memanggil kakakku yang nomor empat itu, semuanya bekerja. Tangan-tangan kecilkupun tak merasakan perihnya sayatan daun benih padi. Senang atas keikut sertaan membuat rasa perih itu tak terasa, yang ada hanyalah kegembiraan dan rasa bangga karena diperkenankan membantu, walau pada kenyataannya lebih banyak mengacak, daripada membenahi.

Sebagian benih yang telah dipotong dibawa kesawah, dan langsung ditanam. Aku mengikuti tuan Salim yang membawa benih kesawah dengan gerobak, langkah tuan Salim yang lebih panjang dari langkahku membuat aku tersengal-sengal mengiringinya, sehingga keringat becucuran di seluruh badanku. Melihat nafasku tersengal kecapekan, tuan Salim lalu menaikan aku keatas gerobak. Hatiku semakin senang, karena tak perlu lagi berlari mengikuti langkah tuan Salim. Aku makin senang karena akan melihat bagaimana caranya orang menanam padi.

Sampai disawah, benih lalu diturunkan dan diletakkan dipematang. Benih itu dipungut lalu dilemparkan oleh salah seorang diantara mereka ketengah sawah satu persatu pada jarak tertentu. Sementara yang lain lalu memungut benih yang akan ditanam itu dan melepaskan ikatannya. Dengan tangan kiri mereka memegang benih yang telah lepas ikatannya itu, lalu dengan tangan kanan mengambil beberapa batang benih tersebut lalu mencelupkannya kedalam upiah nya masing-masing yang berisi abu dapur dan telah dicampur dengan pupuk kandang, lalu menanamkannya kesawah dengan jarak antara benih yang satu dengan yang lain sekitar satu hasta, begitu seterusnya. Sambil membungkuk dan berjalan mundur rombongan penanam padi itupun bekerja. Seorang diantaranya tetap berada di pematang untuk mengontrol dan memberi tahukan kepada mereka yang tanaman benihnya kurang lurus agar dibetulkan, sehingga kelihatan dari luar barisan tanaman padi tersebut terlihat lurus dan enak dipandang mata.

Pulangnya aku diboncengi lagi naik gerobak oleh tuan Salim, senangnya…
Perjalanan Singkat Yang Takkan Terlupakan.

Sabtu, 26 September 2009

Pulang kampung lebaran kemarin aku diajak keponakan ke Duri, Riau. Dimana mereka tinggal dan bekerja. Aku sebenarnya sudah beberapa kali melewati kota ini, sewaktu aku pergi merantau ke Dumai. Tapi baru kali inilah aku benar-benar menginjakkan kakiku di kota Duri ini. Dalam pengertian bermalam, menghirup udaranya yang panas khas daerah perminyakan.

Kami berangkat dari Kamang Ilia, kampung halaman kami yang terletak sekitar 12 kilometer di utara kota Bukittinggi. Nagari, yang diluar Sumatera Barat setingkat dengan Kelurahan. Kamang yang terkenal dengan peristiwa bersejarahnya, perang melawan tentara Belanda yang mencapai puncaknya tanggal 15 Juni 1908. Perang yang menewaskan lebih seratus orang anak negeri, dan dengan jumlah yang lebih banyak lagi dipihak musuh. Para pahlawan tersebut sebagian besar diantaranya dimakamkan di makam pahlawan Taluak, Kamang. Kini Kamang telah dimekarkan menjadi Kamang Ilia dan Kamang Mudiak, kecamatan Tilatang Kamang yang membawahinya, kini juga telah di mekarkan menjadi kecamatan Tilatang Kamang dan Kecamatan Kamang Magek.

Kami berlima, Rahmaniza keponakanku bersama suaminya Indra, yang menjadi pengemudi Toyota Avanza berwarna hitam milik mereka. Hasil jerih payah dan tetesan keringatnya berpanas-panasan di ladang minyak Duri, menjadi sub kontraktor Chevron. Seterusnya Daniel Indra, putra kedua mereka. Mahasiswa Stikes di Padang yang rencananya diwisuda tanggal 17 Oktober 2009, tepat dimana saat itu juga sang kakak Dolla Indra menikah dengan seorang dokter yang berasal dari Pariaman, Elses Mita.

Anggota rombongan selanjutnya adalah si bungsu Aisyah Putri Indra, pelajar kelas dua SD yang dalam perjalanan ini lebih banyak tidur dibuai alunan lagu kasidah. Terakhir aku, seorang kakek yang telah karatan merantau dinegeri orang, dan baru ketemu sang cucu ketika dia sudah akan menikah, itupun tak sempat aku saksikan. Aku hanya sempat menghadiri saat lamaran dan bertukar cincin. Saat pernikahan berlangsung, aku telah kembali ke Jakarta, tempat aku mencari nafkah bersama keluargaku.

Sebelum benar-benar meninggalkan Kamang. Di Pintu Koto, keponakanku Rahmaniza yang sehari-hari di panggil Iza membeli durian. Saat itu, di Kamang kebetulan musim durian, walau tidak banyak. Penduduk menamakan musim saat itu sebagai buah salek. Yaitu musim buah yang kejepit diantara dua musim panen raya.

Simpang empat Pintu Koto adalah urat nadinya Kamang Ilia. Disana terdapat pasar yang ramainya dua hari dalam seminggu, yaitu hari Selasa dan Jum’at. Penduduk menyebut pasar tersebut dengan Pakan Salasa, Pasar ini terletak diperbatasan nagari Kamang dan Magek.

Sebelum merajalelanya mobil-mobil keluaran pabrikan Jepang, yang saat ini menjadi sarana tranportasi umum angkutan kota maupun desa. Pintu Koto adalah terminal terakhirnya oplet-oplet keluaran pabrikan Amerika seperti Chevrolet, Dodge maupun GMC, yang menghubungkan Kamang dengan kota Bukittinggi. Pintu Koto seperti namanya, adalah pintu gerbang penduduk Kamang menuju koto atau kota Bukittinggi. Turun dari oplet yang didindingnya diberi nama Batu Bajak, yang diambil dari nama sebuah batu granit putih, yang terletak di jorong atau desa Solok. Dipuncak dinding Bukit Barisan yang memagari nagari Kamang, yang terlihat jelas dari Bukittinggi. Atau oplet lainnya lagi yang bernama Ketika, yang merupakan singkatan dari Kecamatan Tilatang Kamang.

Turun dari oplet, penduduk akan berjalan kaki menuju rumahnya masing-masing. Yang terjauh diantaranya sekitar empat kilometer dari Pintu Koto. Oplet-oplet tua keluaran tahun limapuluhan itu, baru akan masuk kedalam kampung, melewati jalan tanah yang becek dan berlumpur dimusim hujan, dan berdebu dimusim panas, pada Selasa sore maupun Jum’at sore. Untuk menjemput perabot rumah tangga hasil karya penduduk berupa kursi, lemari maupun meja, yang akan dibawa dan dipasarkan di Bukittinggi. Kamang, selain terkenal dengan duriannya. Juga adalah pusat industri perabot rumah tangga, yang pemasarannya mencapai Pakanbaru, Riau. Maupun tapanuli selatan, Sumatera Utara

Kini, mobil-mobil Jepang yang ukurannya lebih kecil dan lebih ringan, merambah masuk jauh kedalam pelosok kampung yang telah beraspal. Ladang Darek, kini menjadi terminal terakhir dari angkot-angkot itu. Sekitar tiga kilometer dari Pintu Koto, dan itu pula berarti, hanya dua ratus meter dari rumah kami! Bahkan, kalau mereka berjalan memutar melewati jalan didepan rumah, turun dari mobil angkot kami langsung masuk rumah!. Alhamdulillah.

Selesai membeli durian, dan memasukkannya ke mobil. Kami mulai meninggalkan Pintu Koto, yang ditengah-tengah persimpangannya berdiri sebuah tugu peringatan Perang Kamang, berupa patung rakyat yang sedang mengacungkan senjata tradisional. Aroma buah durian mulai menyergap hidung kami.

Kami meluncur kearah timur, bukan kearah selatan yang merupakan jalan yang langsung menuju Bukittinggi, melalui nagari Magek, Tilatang, Kapau dan Tanjung Alam.
Lepas dari perbatasan nagari Kamang Ilia, kami melewati nagari Salo. Nagari yang juga banyak menyimpan kenangan masa kecilku waktu masih di sekolah dasar. Mengasong goreng pisang panas selepas shalat subuh, mengelilingi nagari Salo. Penduduk Nagari Salo ini juga terkenal sebagi ahli pembuat peralatan dapur dari tanah liat. Seperti, periuk untuk memasak nasi atau sayur, kumbuak atau kendi tempat air minum, balango untuk memasak pepes inkan dan sebagainya.

Setelah melewati nagari Salo, kami memasuki nagari Koto Baru. Bila Kamang terkenal dengan tukang perabot, Salo dengan gerabahnya, maka nagari Koto Baru ini terkenal dengan pandai besinya.

Dulu, disepanjang jalan Koto Baru ini, kita akan menemukan bengkel-bengkel yang mengolah besi baja untuk menjadi peralatan rumah tangga, pisau, ladiang atau golok, serta kapak. Ataupun peralatan pertanian, cangkul dan bajak, maupun pernak pernik yang dipakai untuk alat trasportasi tradisional seperti ladam untuk kaki kuda bendi, maupun lingkar luar roda pedati . Bau khas batubara yang dipakai sebagai bahan bakarnya, menyengat hidung sepanjang jalan itu.

Perkembangan teknologi pabrik yang membuat peralatan-peralatan itu semakin murah dan mudah ditemui. Serta sulitnya mencari bahan baku besi baja, membuat bengkel-bengkel besi ini mengalami kebangkrutan, dan ditinggal para pelanggannya, yang dengan mudah dan murah menemukan barang kebutuhannya dipasar, atau toko.-toko yang menjual peralatan tersebut. Kini tak terdengar lagi dentingan besi-besi baja panas merah membara yang dipalu, cerobong bengkelpun tak mengeluarkan asap lagi.

Kami meninggalkan nagari Koto Baru, memasuki nagari Panampung. Tak lama kemudian kami sampai di Biaro, dan masuk jalan Soekarno –Hatta, jalan utama yang menghubungkan Bukittinggi dengan Pakanbaru, Riau. Berujung di bibir pantai Selat Malaka, kota Dumai. Dan tentu saja melewati Duri, kota tujuan kami.

Di Biaro ini dulunya terdapat stasiun kereta api, jurusan Padang – Payakumbuh. Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan transportasi darat, yang lebih cepat, dan jadwal pemberangkatan yang lebih singkat. Membuat angkutan penumpang kereta api ini akhirnya mati, tak sanggup bersaing.

Kini rel-rel yang membentang bersisian sepanjang jalan raya Soekarno-Hatta, yang mempunyai sejarah dan riwayat yang panjang, semenjak jaman Belanda, pertengahan tahun tujuh puluhan, akhirnya pensiun. Sebagian rel itu tak lagi kelihatan. Terkubur bersama riwayat tetesan darah dan air mata maupun nyawa para pekerja paksa yang membangunnya. Sebagian lagi tertutup oleh warung-warung yang bertumbuhan di sepanjang bangunan rel. Maupun yang hilang, dibawa tangan-tangan tak bertanggung jawab, yang memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi.

Menjelang Baso, kota kecamatan yang juga benama Baso. Kami melewati Kepala Hilalang, dimana terdapat sebuah jembatan yang membentang diatas sungai Lasi. Pertengahan tahun enam puluhan, jembatan ini pernah ambruk. Penumpang yang terjebak dimasing-masing seberang jembatan, terpaksa melintas melewati bantalan rel kereta di jembatan kereta api, yang berdampingan dengan jembatan yang runtuh.

Transportasi darat antara Bukittinggi – Payakumbuh terus ke Pakanbaru ibukota Propinsi Riau, terputus. Dalam waktu seminggu, baru jembatan itu bisa dilalui kendaraan bermotor setelah pemerintah membangun jembatan darurat Bailey berkerangka besi baja diatas jembatan yang runtuh.

Kami sampai di Baso. Disebelah kanan jalan masih terlihat sisa-sisa bekas stasiun kereta api dengan rel ganda. Tempat berpapasannya kereta yang datang dari Payakumbuh menuju Bukittinggi dan sebaliknya. Disebelah kiri terdapat pasar Baso. Pasar Baso ini adalah tempat penumpukannya hasil bumi, beras, buah-buahan, maupun sayur-sayuran yang dikumpulkan oleh pedagang pengumpul, yang kemudian dikirim ke kota Pakanbaru. Bila musim buah tiba, pasar ini berubah seakan menjadi pasar induk. Truk-truk berjejer mengisi muatan, dan setelah penuh mereka berangkat menuju Pakanbaru, Bangkinang, Duri dan terakhir Dumai di pantai timur Sumatera.

Lepas dari pasar Baso, jalan mulai menurun yang berliku-liku sepanjang lebih 2 kilometer. Pandakian Dama, demikian penduduk menamai jalan ini. Ujung turunan ini berakhir di Nagari Ujung Guguk. Begitu kami sampai di akhir turunan dan ujung perkampungan penduduk. Didepan kami terbentang jalan lurus bersisian dengan rel kereta api sepanjang hampir tiga kilometer. Dikiri kanan jalan terhampar sawah yang sangat luas, sesayup mata memandang. Yang akhirnya tertumpu dipagar bukit barisan.
Aku punya kenangan yang sangat khusus di jalan ini. Disaat aku berjalan seorang diri malam hari, sehabis menonton pertandingan sepakbola di Baso. Kemudian dengan berjalan kaki menuju rumah kakakku yang menikah dengan orang Padang Tarok, orang tua Iza, yang saat ini mengajak aku napak tilas menempuh jalan maupun kota-kota yang penuh kenangan dimasa kecilku.

Kami sampai di Balai Salasa. Sebuah kampung yang sudah masuk dalam nagari Padang Tarok ujung dari jalan lurus yang baru saja kami tempuh, disini terdapat sebuah pasar bagi pendudk Padang Tarok dan sekitarnya.

Lewat Balai Salasa, jalan menurun menikung kekanan. Dari tikungan inilah kami dengan bebas dapat melihat rumah baru keluarga suami kakakku yang berada persis dipinggir persawahan, dan rumah yang lama jauh dipinggir bukit. Jalan lalu menikung kekiri mengikuti alur aliran sungai Batang Agam. Sumber air bagi pembangkit listrik tenaga air PLTA Batang Agam. Sumber energi listrik bagi penduduk Sumatera Barat pertengahan tahun tujuh puluhan, sebelum dibangunnya PLTA Maninjau dan PLTA Ombilin yang mengambil sumber air dari danau Singkarak.

Kami tidak mampir saat itu, karena dirumah saat itu hanya tinggal Alfian, adik laki-laki Iza nomor dua. Sementara ayah beserta ibunya sedang berada di Kamang, kampungku. Dan saudara-saudara ayah Iza semuanya berada di perantauan.

Kendaraan kami terus melaju, melewati komplek PLTA Batang Agam, yang berada disebelah kanan kami. Simpang dan Piladang kami lewati, begitu juga taman wisata Ngalau yang saat itu ramai dikunjungi para wisatawan. Suasana lebaran masih terasa saat itu.

Kami memasuki kotamadya Payakumbuh. Di Koto Nan Ampek kami mampir mengisi bensin, shalat Zuhur, dan diteruskan dengan makan siang.

Aku pernah tinggal di Payakumbuh ini pada tahun 1964-1965. Pertama di Komplek Muhammadiyah Bunian, yang didalamnya terdapat Panti Asuhan. Panti Asuhan ini kemudian pindah ke Labuh Basilang. Menempati Panti Asuhan yang sebelumnya dikelola oleh dinas Sosial Kabupaten Limapuluh Kota. Kemudian pengelolaannya diserahkan ke Muhammadiyah Cabang Payakumbuh, yang pengelolaannya kemudian dilakukan oleh Aisyiyah cabang Payakumbuh, organisasi wanita dilingkungan Muhammadiyah.

Tahun 1969,saat kelas enam sekolah dasar, aku kembali ke Payakumbuh, ke Panti Asuhan yang sama.

Di Koto Nan Ampek inilah aku mengakhiri pendidikan formalku. 39 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1970, Disini terdapat sebuah PGA Negeri 4tahun. Yang menumpang di sebuah madrasah bernama Mahad Islami. Pelajar PGAN dan Mahad Islami, bergantian masuk belajar. Sebulan masuk pagi sebulan masuk siang. Kepala sekolahku saat itu Bapak Basyar Muchtasyar, adalah juga beliau yang pernah menjadi orang tua angkatku sewaktu aku masih duduk dikelas 2 sekolah dasar, sekelas dengan anak tertuanya perempuan bernama Yet.

Aku bersekolah disini hanya lima bulan, setelah itu keluar oleh suatu sebab yang tak mungkin kuceritakan disini, karena ceritanya cukup panjang.

Selesai makan siang, kami melanjutkan perjalanan. Melewati kantor walikota Payakumbuh, aku menelpon Sofyan, teman sekamarku waktu di Panti Asuhan, yang kini menjabat sebagai asisten Walikota Kodya Payakumbuh.

“Assalaamu’alaikum…!
“Alaikumsalam, pak Sofyan…”
“Hai apa kabar?
“Saya minta maaf ya pak, numpang lewat di depan kantor bapak…”
“Memangnya lagi dimana?
“Ya, didepan kantor bapak, dalam perjalanan ke Duri. Cuma saya tidak bisa mampir, karena saya ikut rombongan…!”
“Ya, nggak mampir dulu, sudah dekat ini…”
“Insya Allah lain kali deh, pak. Assalaamu’alaikum…!
“Alaikumsalam…”

Aku menutup telpon genggam yang kupegang. Sambil teringat terakhir kami bertemu di Jakarta, beberapa bulan yang lalu. Saat aku tak tuntas menjadi tour guide-nya di Mangga Dua, gara-gara kepalaku pusing dan berasa ingin muntah, karena masuk angin terlambat makan siang.

***

Payakumbuh, mempunyai peran besar dalam pertumbuhan dan perkembangan diriku dalam mengharungi hidup dalam kesendirian dan kemandirian. Pulang sekolah, selesai shalat zuhur dan makan siang, aku langsung main ke pasar. Ini karena asrama kami memang terletak di pusat kota, persis di belakang kantor Bupati Kabupaten 50 Kota di Bunian. Begitupun ketika asrama kami pindah ke Labuh Basilang , atau tepatnya di Padang Tiakar pada tahun 1965. Jarak antara asrama dengan pasar yang lebih dari 1 kilometer, tak sanggup menjadi penghalang bagiku untuk setiap hari kepasar. Bahkan jalanan inilah aku mendapat pelajaran yang sesungguhnya. Yaitu, pelajaran membaca!

Mulai dari hari pertama kami pindah dari Bunian ke Labuh Basilang, memori otakku merekam semua situasi dan kondisi lingkungan yang aku lewati. Bila selama di Bunian aku tak pernah belajar dengan benar, karena keasyikan bermain dipasar. Kini perjalananku dari asrama Labuah Basilang menuju pasar melewati jalan Ahmad Yani yang membentang lurus mulai dari depan Kantor Bupati 50 Kota sampai simpang empat Labuah Basilang dan melewati jembatan Ratapan Ibu yang membentang diatas Batang Agam, adalah tempat belajarku terbaik. Walau dengan mengeja, di awalnya. Hingga akhirnya aku hafal semua nama-nama toko maupun posisi serta urutannya, mulai dari Labuah Basilang hingga ke pasar kota Payakumbuh. Berapa buah tiang listrik di sepanjang jalan itu, berapa jumlah langkah yang harus kuayunkan menempuh jalan sejauh itu. Terekam dengan baik di otakku.

Aku juga harus berterima kasih kepada Bapak Darusan, pemilik pangkas rambut Sinamar, di jalan Karya. Yang membiarkan aku membaca surat kabar Haluan langganannya. Setiap aku kepasar, tempat pangkas rambut inilah tempat perhentian pertamaku. Surat kabar Haluan terbitan Padang yang saat itu masih terbit 4 halaman, aku baca hingga tuntas. Sampai ke iklan-iklan yang terpampang di dalamnya. Ada kalanya aku tidak tahu arti atau kandungan sebuah berita, maupun opini yang disampaikan oleh penulisnya. Tapi aku tetap membacanya. Dan bila hari Minggu tiba, aku belajar mengisi TTS yang hadir setiap edisi Minggu. Pada awalnya aku hanyalah tukang tulis, pak Darusan yang memberikan jawaban setelah akau membacakan pertanyaannya. Sampai akhirnya aku mencoba sendiri mengisi jawabannya sesuai dengan jalan pikiranku, yang lebih sering salah dari benarnya. Tapi pertanyaan maupun jawaban TTS ini, semakin memperluas wawasan dan ilmu pengetahuanku.

***

Payakumbuh kami lewati dengan segala macam kenangan yang berkelebat di kapalaku. Kami sampai di Lubuak Bangku.

Lubuak Bangku mempunyai sejarah yang panjang ,sebagai terminal terakhir bagi kendaraan apa saja atau siapa saja yang akan menempuh perjalanan Sumatera Barat- Riau. Lubuk Bangku mengikuti bagaimana pasang surut perkembangan perekonomian Sumbar –Riau sejak adanya jalan raya yang menghubungkan Sumatera Barat yang kaya dengan hasil pertanian dan Riau yang kaya dengan minyak buminya. Disini berderet rumah makan maupun kios makanan ringan untuk buah tangan.

Menjelang akhir enam puluhan Lubuak Bangku, mengalami puncak kejayaannya. Bus-bus penumpang, maupun truk-truk pengangkut hasil pertanian maupun bahan bangunan, berderet parkir didepan restoran dan rumah makan yang ada disana. Semuanya mempersiapkan diri untuk perjalanan panjang memasuki hutan Bukit Barisan yang sepi, dengan jalanan kebanyakan rusak berlobang, becek dan licin. Bus-bus penumpang maupun truk-truk barang itu semua mempersenjatai diri dengan rantai yang dianyam sedemikian rupa, kemudian dipasang sebagai jaket di masing –masing roda belakangnya. Karena, kalau kendaraannya tidak dipasangai rantai, akan slip atau melintir oleh licinnya jalan yang berlumpur. Perjalanan Bukittinggi – Pakanbaru sejauh 221 kilometer terpaksa ditempuh selama dua hari dua malam, bahkan bisa lebih dimusim hujan. Itu juga karena belum adanya jembatan yang melintasi Sungai Kampar dan Batang Sinamar di sepanjang jalan itu. Kendaraan yang mau menyeberangi sungai, harus menaiki rakit raksasa yang dikaitkan dengan kawat baja dimasing-masing tepi sungai, yang dapat memuat tiga atau empat bus atau truk sekaligus.

Proses penyeberangan ini bisa mencapai setengah jam, untuk menyeberangi sungai yang lebarnya berkisar seratus hingga duaratus meter lebih. Koto Panjang, Rantau Berangin dan Danau Bingkuang adalah tempat dimana rakit penyeberangan ini berada.

Kini semua rakit-rakit itu telah menjadi penggalan sejarah transportasi Sumbar-Riau. Puncaknya adalah ketika diresmikannya jembatan Rantau Berangin sepanjang 200 meter, yang melintas Sungai Kampar Riau pertengahan tujuhpuluhan oleh Presiden Soeharto, yang merupakan jembatan terpanjang di Indonesia saat itu.

Sejak itu, perjalanan Bukittinggi – Pakanbaru yang tadinya empat puluh delapan jam lebih, kini hanya berkisar antara 4 hingga 6 jam. Lubuak Bangku kini telah sepi, walau tidak mati sama sekali. Namun masa jayanya telah berlalu. Seperti yang kami alami saat ini, kami tidak berhenti di Lubuak Bangku, karena belum sampai satu jam yang lalu kami telah selesai makan siang di Koto Nan Ampek, Payakumbuh.

Lepas dari Lubuak Bangku, kendaraan kami terus melaju mendekati bukit barisan yang membentang ditengah-tengah pulau Sumatera dari Aceh di utara hingga Lampung di selatan. Dan gerbang utama hutan bukit barisan itu adalah Kelok Sembilan.
Kelok Sembilan, demikian nama jalan yang akan kami tempuh. Untuk mendaki bukit barisan yang tinggi dan berdinding curam, tidak mungkin membangun jalan yang lurus. Dan pilihannya adalah membuat jalan yang berkelok-kelok, agar pendakian atau penurunan yang ditempuh tidak terlalu curam. Karena jumlah kelokan jalan yang dibuat mulai dari Lubuk Bangku hingga kepuncak bukit barisan itu ada Sembilan. Maka jalan tersebut di namai Kelok Sembilan.

Menempuh jalan Kelok Sembilan saat ini, memang menyenangkan. Karena jalannya telah beraspal mulus dan telah mengalami pelebaran. Namun bagaimana dengan keadaannya diatas empat puluh tahun yang lalu?. Menempuh kelok Sembilan ini adalahperjalanan yang mendebarkan, menegangkan serta memacu adrenalin kita lebih kencang. Tikungan tajam, jalan yang sempit hingga bila ada dua kendaraan besar seperti bus maupun truk yang berpapasan. Salah satu diantaranya yaitu yang berada pada posisi dinding bukit harus berhenti di sisi jalan, dan mempersilakan kendaraan yang berada disisi jurang melewatinya. Bila hujan turun, jalanan becek, rantai roda harus diikatkan. Apabila roda mobil sampai terbenam dalam kubangan lumpur dan tak dapat bergerak, dengan terpaksa penumpang harus turun untuk mengurangi beban kendaraan. Dan bila itu terjadi pada truk pembawa barang. Maka sopir atau keneknya adakalanya harus mengeluarkan kawat baja, dan mengikatkan salah satu ujungnya ke pohon kayu yang tumbuh dipinggir jalan, dan melilitkan ujung yang lain ke roda belakang mobil yang nanti akan memutar kawat baja ini, hingga kendaraan keluar dari kubangan lumpur. Makanya tidak heran bila perjalanan Bukittinggi – Pakanbaru harus ditempuh hingga tiga sampai empat hari…!

Setelah melewati Kelok Sembilan dan hutan Bukit Barisan, kami memasuki daerah Pangkalan Koto Baru, kecamatan Kapur Sembilan. Tak lama kami sampai di Koto Panjang, dimana terdapat Pembangkit Listrik Tenaga Air berkapasitas 114 MW. PLTA Koto Panjang ini berada persis terletak diperbatasan propinsi Sumatera Barat dan Riau, dimana bagian terbesarnya berada di wilayah Riau.

Kami beristirahat disini sekitar setengah jam, untuk melaksanakan Shalat Ashar, meregang tubuh yang pegal karena duduk sekian jam dikendaraan, sekalian menikmati pemandangan alam sekitar yang begitu indah, serta danau buatan yang menenggelamkan 10 desa disekitar sana. Guna untuk memutar turbin pembangkit listrik.

Setelah tubuh segar kembali, kami melanjutkan perjalanan. Lepas dari Koto Panjang, kami sampai di Bangkinang.

Di Bangkinang kami belok kiri, melalui Petapahan. Kami tidak melalui jalanan dalam kota Pakanbaru, melainkan lewat jalan alternatif melalui jalan raya yang melintasi perkebunan kelapa sawit.

Dibandingkan masuk kota Pakanbaru yang ramai, jalan Petapahan ini lebih sepi. Namun kami sering berpapasan dengan truk-truk tangki berisi minyak sawit, maupun truk-truk bak terbuka yang membawa buah kelapa sawit dari perkebunan, menuju pabrik. Seringnya truk-truk bermuatan berat melalui jalan ini, dibeberapa tempat kami menemui jalan rusak berlubang maupun bergelombang. Menurut Indra, sebelum jalan ini rusak, jalan Petapahan ini adalah jalan favorit bagi kendaraan besar maupun kecil yang akan menuju Duri, maupun Dumai. Karena jalan ini tidak terlalu berliku-liku, sehingga mempersingkat waktu tempuh hingga lebih dari satu jam, dibanding kalau melewati kot Pakanbaru, yang harus melalui Rumbai dan Minas.

Kami melewati jalan petapahan ini ketika senja telah menjelang. Sehingga aku tak bisa melihat dengan jelas luasnya perkebunan kelapa sawit yang berada dikiri kanan jalan yang kami lewati.

Karena waktu magrib telah tiba, kami shalat di sebuah masjid yang cukup besar, dan dibangun ditanah yang cukup luas, sekitar satu lapangan bola. Masjid tersebut masih dalam proses pembangunan, tapi bagian dalamnya telah rapi. Kaligrafi ayat-ayat suci A-Qur’an tergores indah dibagian atas dinding sekelilingnya. Ruangan dalam yang menurut dugaanku berukuran sekitar 30 x 30m dan dengan langit-langit yang tinggi, lantainya beralaskan marmar alam, ditambah koridor disetiap sisi yang lebarnya sekitar 3m, membuat udara didalam masjid terasa begitu sejuk. Posisi masjid inipun sangat strategis. Disudut persimpangan jalan Patepahan, menjelang Kandis.

Di Kandis kami berhenti. Seperti halnya Duri, Kandis ini hanyalah kota kecamatan. Tapi perkebunan kelapa sawit telah membuat kota Kandis ini berkembang pesat dan hidup siang malam. Pedagang yang biasanya hanya melintas di kota ini, kini telah menjadikan Kandis sebagai tempat tujuan bisnisnya. Kelapa sawit telah merubah segalanya. Serta otonomi daerah telah memperlihatkan hasilnya di propinsi Riau. Riau yang merupakan penghasil devisa yang besar dengan minyak buminya. Namun puluhan tahun, rakyatnya hidup bagaikan ayam yang mati kelaparan di lumbung padi. Kini Riau berkembang begitu pesat, seakan sedang berpacu mengejar ketertinggalannya selama ini.
Kami mampir di rumah makan langganan keluarga Indra. Aisyah, putrid kecil mereka beserta Iza mamanya pun segera mencari makanan kesukaannya,tahu goreng! Walaupun dimana-mana kita bisa mendapatkannya. Tapi katanya, tahu yang di Kandis ini rasanya beda. Empuk dan gurih! Indra, Daniel dan aku langsung menuju rumah makan. Indra yang telah malang melintang puluhan tahun didaerah ini, menyarankan kami memesan soto Padang. Kami mengamininya, dan Indra tidak berbohong, karena soto yang kami nikmati, begitu mengundang selera makan kami. Tak lama Iza datang bersama Aisyah dan bergabung makan bersama kami.

Setelah rasa lapar hilang, kami meneruskan perjalanan. Kandis adalah persinggahan kami terakhir, karena: Satu jam lagi…! Indra bilang padaku, sebelum aku sempat bertanya berapa lama lagi jarak antara Kandis dan Duri.

Perjalanan malam kami saat itu, mengembalikan kenanganku kepada saat aku pernah bekerja sebagai fotografer disebuah perusahaan pengeboran minyak bumi pertengahan 80an dulu. Cerobong yang di puncaknya api berkobar membakar gas yang ikut membaur dalam proses produksi minyak bumi. Namun terpaksa dibuang dan dibakar karena tidak mempunyai nilai ekonomis untuk diproduksi. Bertebaran dibeberapa tempat didaerah yang kami lalui. Itu semacam pertanda bahwa dibawah menara tersebut terdapat stasiun pengumpul minyak bumi yang disalurkan dari pompa angguk Lufkin, yang menyedot minyak mentah dari perut bumi. Pompa ini disebut pompa angguk karena pada waktu proses menyedot atau katakanlah menimba minyak dari perut bumi, pompa tersebut mengangguk-angguk keatas kebawah. Lufkin adalah nama pabrik pembuat pompa ini di Amerika. Tapi kini perusahaan nasionalpun telah sanggup membuat pompa ini. Ini terlihat di beberapa sumur produksi Chevron kami melihat pompa angguk dengan merek Bukaka telah ikut mengangguk-angguk disana, membuat perasaan cukup bangga karenanya.

Dari stasiun pengumpul , minyak mentah ini lalu dsalurkan lagi melalui pipa induk yang diameternya melebihi sepelukan orang dewasa. Minyak mentah ini akan mengalir ke kilang minyak. Untuk dilakukan proses refinery. Pemisahan jenis minyak dan mengolahnya jadi premium, solar, minyak tanah, avtur dan lain-lain.

Sebelum tahun dua ribuan, Indonesia adalah eksportir minyak bumi. Kini dengan semakin menurunnya produksi minyak bumi Indonesia, sementara konsumsinya semakin meningkat. Kita juga telah menjadi importir.

Tak terasa, satu jam berlalu begitu cepat. Karena asyiknya aku menikmati pemandangan malam diperjalan ini. Sambil mengenang perjalanan malamku di daerah Lirik, Rengat, Air Molek, Japura, Pendopo, Tabuan, Palembang. Semuanya di ladang explorasi dan eksploitasi minyak bumi yang saat itu dilakukan oleh perusahaan asing.

Kami sampai di gerbang kota Duri. Avanza kami meliu-liuk. Didepan kami terbentang jalan dengan lobang yang menganga dan bergelombang. Dipertengahan median jalan, terbentang tali plastik rafia yang diikatkan ke bilah bambu yang memagari bagian jalan yang lebih parah. Rupanya tengah ada perbaikan jalan disana. Namun karena masih dalam suasana libur lebaran, pekerjaan itu tampak seperti terbengkalai.
Dipersimpangan Pokok Jengkol, kami mengambil jalur kekanan, masuk jalan Sudirman. Kemudian kami berbelok kekanan masuk jalan Jawa, setelah itu masuk Gang Jaya II, belok lagi kekiri menyusur tebing, jalan tanah yang pas untuk satu mobil, lalu belok lagi kekanan. Lima belas meter kemudian kami berhenti disamping pohon seri , yang tumbuh di sudut halaman rumah.

Ya, kami telah sampai ditujuan. Rumah keluarga Indra, keponakan menantuku. Suami keponakanku Rahmaniza, dengan empat orang anak mereka, Dolla, Daniel, Dinny dan si kecil Aisyah.

Tuntaslah sudah perjalanan seharian, dari Kamang Ilia menuju Duri. Jarum jam menunjukkan angka mendekati 23.00, dan kantukpun mulai menyerang.