Perjalanan Singkat Yang Takkan Terlupakan.

Sabtu, 26 September 2009

Pulang kampung lebaran kemarin aku diajak keponakan ke Duri, Riau. Dimana mereka tinggal dan bekerja. Aku sebenarnya sudah beberapa kali melewati kota ini, sewaktu aku pergi merantau ke Dumai. Tapi baru kali inilah aku benar-benar menginjakkan kakiku di kota Duri ini. Dalam pengertian bermalam, menghirup udaranya yang panas khas daerah perminyakan.

Kami berangkat dari Kamang Ilia, kampung halaman kami yang terletak sekitar 12 kilometer di utara kota Bukittinggi. Nagari, yang diluar Sumatera Barat setingkat dengan Kelurahan. Kamang yang terkenal dengan peristiwa bersejarahnya, perang melawan tentara Belanda yang mencapai puncaknya tanggal 15 Juni 1908. Perang yang menewaskan lebih seratus orang anak negeri, dan dengan jumlah yang lebih banyak lagi dipihak musuh. Para pahlawan tersebut sebagian besar diantaranya dimakamkan di makam pahlawan Taluak, Kamang. Kini Kamang telah dimekarkan menjadi Kamang Ilia dan Kamang Mudiak, kecamatan Tilatang Kamang yang membawahinya, kini juga telah di mekarkan menjadi kecamatan Tilatang Kamang dan Kecamatan Kamang Magek.

Kami berlima, Rahmaniza keponakanku bersama suaminya Indra, yang menjadi pengemudi Toyota Avanza berwarna hitam milik mereka. Hasil jerih payah dan tetesan keringatnya berpanas-panasan di ladang minyak Duri, menjadi sub kontraktor Chevron. Seterusnya Daniel Indra, putra kedua mereka. Mahasiswa Stikes di Padang yang rencananya diwisuda tanggal 17 Oktober 2009, tepat dimana saat itu juga sang kakak Dolla Indra menikah dengan seorang dokter yang berasal dari Pariaman, Elses Mita.

Anggota rombongan selanjutnya adalah si bungsu Aisyah Putri Indra, pelajar kelas dua SD yang dalam perjalanan ini lebih banyak tidur dibuai alunan lagu kasidah. Terakhir aku, seorang kakek yang telah karatan merantau dinegeri orang, dan baru ketemu sang cucu ketika dia sudah akan menikah, itupun tak sempat aku saksikan. Aku hanya sempat menghadiri saat lamaran dan bertukar cincin. Saat pernikahan berlangsung, aku telah kembali ke Jakarta, tempat aku mencari nafkah bersama keluargaku.

Sebelum benar-benar meninggalkan Kamang. Di Pintu Koto, keponakanku Rahmaniza yang sehari-hari di panggil Iza membeli durian. Saat itu, di Kamang kebetulan musim durian, walau tidak banyak. Penduduk menamakan musim saat itu sebagai buah salek. Yaitu musim buah yang kejepit diantara dua musim panen raya.

Simpang empat Pintu Koto adalah urat nadinya Kamang Ilia. Disana terdapat pasar yang ramainya dua hari dalam seminggu, yaitu hari Selasa dan Jum’at. Penduduk menyebut pasar tersebut dengan Pakan Salasa, Pasar ini terletak diperbatasan nagari Kamang dan Magek.

Sebelum merajalelanya mobil-mobil keluaran pabrikan Jepang, yang saat ini menjadi sarana tranportasi umum angkutan kota maupun desa. Pintu Koto adalah terminal terakhirnya oplet-oplet keluaran pabrikan Amerika seperti Chevrolet, Dodge maupun GMC, yang menghubungkan Kamang dengan kota Bukittinggi. Pintu Koto seperti namanya, adalah pintu gerbang penduduk Kamang menuju koto atau kota Bukittinggi. Turun dari oplet yang didindingnya diberi nama Batu Bajak, yang diambil dari nama sebuah batu granit putih, yang terletak di jorong atau desa Solok. Dipuncak dinding Bukit Barisan yang memagari nagari Kamang, yang terlihat jelas dari Bukittinggi. Atau oplet lainnya lagi yang bernama Ketika, yang merupakan singkatan dari Kecamatan Tilatang Kamang.

Turun dari oplet, penduduk akan berjalan kaki menuju rumahnya masing-masing. Yang terjauh diantaranya sekitar empat kilometer dari Pintu Koto. Oplet-oplet tua keluaran tahun limapuluhan itu, baru akan masuk kedalam kampung, melewati jalan tanah yang becek dan berlumpur dimusim hujan, dan berdebu dimusim panas, pada Selasa sore maupun Jum’at sore. Untuk menjemput perabot rumah tangga hasil karya penduduk berupa kursi, lemari maupun meja, yang akan dibawa dan dipasarkan di Bukittinggi. Kamang, selain terkenal dengan duriannya. Juga adalah pusat industri perabot rumah tangga, yang pemasarannya mencapai Pakanbaru, Riau. Maupun tapanuli selatan, Sumatera Utara

Kini, mobil-mobil Jepang yang ukurannya lebih kecil dan lebih ringan, merambah masuk jauh kedalam pelosok kampung yang telah beraspal. Ladang Darek, kini menjadi terminal terakhir dari angkot-angkot itu. Sekitar tiga kilometer dari Pintu Koto, dan itu pula berarti, hanya dua ratus meter dari rumah kami! Bahkan, kalau mereka berjalan memutar melewati jalan didepan rumah, turun dari mobil angkot kami langsung masuk rumah!. Alhamdulillah.

Selesai membeli durian, dan memasukkannya ke mobil. Kami mulai meninggalkan Pintu Koto, yang ditengah-tengah persimpangannya berdiri sebuah tugu peringatan Perang Kamang, berupa patung rakyat yang sedang mengacungkan senjata tradisional. Aroma buah durian mulai menyergap hidung kami.

Kami meluncur kearah timur, bukan kearah selatan yang merupakan jalan yang langsung menuju Bukittinggi, melalui nagari Magek, Tilatang, Kapau dan Tanjung Alam.
Lepas dari perbatasan nagari Kamang Ilia, kami melewati nagari Salo. Nagari yang juga banyak menyimpan kenangan masa kecilku waktu masih di sekolah dasar. Mengasong goreng pisang panas selepas shalat subuh, mengelilingi nagari Salo. Penduduk Nagari Salo ini juga terkenal sebagi ahli pembuat peralatan dapur dari tanah liat. Seperti, periuk untuk memasak nasi atau sayur, kumbuak atau kendi tempat air minum, balango untuk memasak pepes inkan dan sebagainya.

Setelah melewati nagari Salo, kami memasuki nagari Koto Baru. Bila Kamang terkenal dengan tukang perabot, Salo dengan gerabahnya, maka nagari Koto Baru ini terkenal dengan pandai besinya.

Dulu, disepanjang jalan Koto Baru ini, kita akan menemukan bengkel-bengkel yang mengolah besi baja untuk menjadi peralatan rumah tangga, pisau, ladiang atau golok, serta kapak. Ataupun peralatan pertanian, cangkul dan bajak, maupun pernak pernik yang dipakai untuk alat trasportasi tradisional seperti ladam untuk kaki kuda bendi, maupun lingkar luar roda pedati . Bau khas batubara yang dipakai sebagai bahan bakarnya, menyengat hidung sepanjang jalan itu.

Perkembangan teknologi pabrik yang membuat peralatan-peralatan itu semakin murah dan mudah ditemui. Serta sulitnya mencari bahan baku besi baja, membuat bengkel-bengkel besi ini mengalami kebangkrutan, dan ditinggal para pelanggannya, yang dengan mudah dan murah menemukan barang kebutuhannya dipasar, atau toko.-toko yang menjual peralatan tersebut. Kini tak terdengar lagi dentingan besi-besi baja panas merah membara yang dipalu, cerobong bengkelpun tak mengeluarkan asap lagi.

Kami meninggalkan nagari Koto Baru, memasuki nagari Panampung. Tak lama kemudian kami sampai di Biaro, dan masuk jalan Soekarno –Hatta, jalan utama yang menghubungkan Bukittinggi dengan Pakanbaru, Riau. Berujung di bibir pantai Selat Malaka, kota Dumai. Dan tentu saja melewati Duri, kota tujuan kami.

Di Biaro ini dulunya terdapat stasiun kereta api, jurusan Padang – Payakumbuh. Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan transportasi darat, yang lebih cepat, dan jadwal pemberangkatan yang lebih singkat. Membuat angkutan penumpang kereta api ini akhirnya mati, tak sanggup bersaing.

Kini rel-rel yang membentang bersisian sepanjang jalan raya Soekarno-Hatta, yang mempunyai sejarah dan riwayat yang panjang, semenjak jaman Belanda, pertengahan tahun tujuh puluhan, akhirnya pensiun. Sebagian rel itu tak lagi kelihatan. Terkubur bersama riwayat tetesan darah dan air mata maupun nyawa para pekerja paksa yang membangunnya. Sebagian lagi tertutup oleh warung-warung yang bertumbuhan di sepanjang bangunan rel. Maupun yang hilang, dibawa tangan-tangan tak bertanggung jawab, yang memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi.

Menjelang Baso, kota kecamatan yang juga benama Baso. Kami melewati Kepala Hilalang, dimana terdapat sebuah jembatan yang membentang diatas sungai Lasi. Pertengahan tahun enam puluhan, jembatan ini pernah ambruk. Penumpang yang terjebak dimasing-masing seberang jembatan, terpaksa melintas melewati bantalan rel kereta di jembatan kereta api, yang berdampingan dengan jembatan yang runtuh.

Transportasi darat antara Bukittinggi – Payakumbuh terus ke Pakanbaru ibukota Propinsi Riau, terputus. Dalam waktu seminggu, baru jembatan itu bisa dilalui kendaraan bermotor setelah pemerintah membangun jembatan darurat Bailey berkerangka besi baja diatas jembatan yang runtuh.

Kami sampai di Baso. Disebelah kanan jalan masih terlihat sisa-sisa bekas stasiun kereta api dengan rel ganda. Tempat berpapasannya kereta yang datang dari Payakumbuh menuju Bukittinggi dan sebaliknya. Disebelah kiri terdapat pasar Baso. Pasar Baso ini adalah tempat penumpukannya hasil bumi, beras, buah-buahan, maupun sayur-sayuran yang dikumpulkan oleh pedagang pengumpul, yang kemudian dikirim ke kota Pakanbaru. Bila musim buah tiba, pasar ini berubah seakan menjadi pasar induk. Truk-truk berjejer mengisi muatan, dan setelah penuh mereka berangkat menuju Pakanbaru, Bangkinang, Duri dan terakhir Dumai di pantai timur Sumatera.

Lepas dari pasar Baso, jalan mulai menurun yang berliku-liku sepanjang lebih 2 kilometer. Pandakian Dama, demikian penduduk menamai jalan ini. Ujung turunan ini berakhir di Nagari Ujung Guguk. Begitu kami sampai di akhir turunan dan ujung perkampungan penduduk. Didepan kami terbentang jalan lurus bersisian dengan rel kereta api sepanjang hampir tiga kilometer. Dikiri kanan jalan terhampar sawah yang sangat luas, sesayup mata memandang. Yang akhirnya tertumpu dipagar bukit barisan.
Aku punya kenangan yang sangat khusus di jalan ini. Disaat aku berjalan seorang diri malam hari, sehabis menonton pertandingan sepakbola di Baso. Kemudian dengan berjalan kaki menuju rumah kakakku yang menikah dengan orang Padang Tarok, orang tua Iza, yang saat ini mengajak aku napak tilas menempuh jalan maupun kota-kota yang penuh kenangan dimasa kecilku.

Kami sampai di Balai Salasa. Sebuah kampung yang sudah masuk dalam nagari Padang Tarok ujung dari jalan lurus yang baru saja kami tempuh, disini terdapat sebuah pasar bagi pendudk Padang Tarok dan sekitarnya.

Lewat Balai Salasa, jalan menurun menikung kekanan. Dari tikungan inilah kami dengan bebas dapat melihat rumah baru keluarga suami kakakku yang berada persis dipinggir persawahan, dan rumah yang lama jauh dipinggir bukit. Jalan lalu menikung kekiri mengikuti alur aliran sungai Batang Agam. Sumber air bagi pembangkit listrik tenaga air PLTA Batang Agam. Sumber energi listrik bagi penduduk Sumatera Barat pertengahan tahun tujuh puluhan, sebelum dibangunnya PLTA Maninjau dan PLTA Ombilin yang mengambil sumber air dari danau Singkarak.

Kami tidak mampir saat itu, karena dirumah saat itu hanya tinggal Alfian, adik laki-laki Iza nomor dua. Sementara ayah beserta ibunya sedang berada di Kamang, kampungku. Dan saudara-saudara ayah Iza semuanya berada di perantauan.

Kendaraan kami terus melaju, melewati komplek PLTA Batang Agam, yang berada disebelah kanan kami. Simpang dan Piladang kami lewati, begitu juga taman wisata Ngalau yang saat itu ramai dikunjungi para wisatawan. Suasana lebaran masih terasa saat itu.

Kami memasuki kotamadya Payakumbuh. Di Koto Nan Ampek kami mampir mengisi bensin, shalat Zuhur, dan diteruskan dengan makan siang.

Aku pernah tinggal di Payakumbuh ini pada tahun 1964-1965. Pertama di Komplek Muhammadiyah Bunian, yang didalamnya terdapat Panti Asuhan. Panti Asuhan ini kemudian pindah ke Labuh Basilang. Menempati Panti Asuhan yang sebelumnya dikelola oleh dinas Sosial Kabupaten Limapuluh Kota. Kemudian pengelolaannya diserahkan ke Muhammadiyah Cabang Payakumbuh, yang pengelolaannya kemudian dilakukan oleh Aisyiyah cabang Payakumbuh, organisasi wanita dilingkungan Muhammadiyah.

Tahun 1969,saat kelas enam sekolah dasar, aku kembali ke Payakumbuh, ke Panti Asuhan yang sama.

Di Koto Nan Ampek inilah aku mengakhiri pendidikan formalku. 39 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1970, Disini terdapat sebuah PGA Negeri 4tahun. Yang menumpang di sebuah madrasah bernama Mahad Islami. Pelajar PGAN dan Mahad Islami, bergantian masuk belajar. Sebulan masuk pagi sebulan masuk siang. Kepala sekolahku saat itu Bapak Basyar Muchtasyar, adalah juga beliau yang pernah menjadi orang tua angkatku sewaktu aku masih duduk dikelas 2 sekolah dasar, sekelas dengan anak tertuanya perempuan bernama Yet.

Aku bersekolah disini hanya lima bulan, setelah itu keluar oleh suatu sebab yang tak mungkin kuceritakan disini, karena ceritanya cukup panjang.

Selesai makan siang, kami melanjutkan perjalanan. Melewati kantor walikota Payakumbuh, aku menelpon Sofyan, teman sekamarku waktu di Panti Asuhan, yang kini menjabat sebagai asisten Walikota Kodya Payakumbuh.

“Assalaamu’alaikum…!
“Alaikumsalam, pak Sofyan…”
“Hai apa kabar?
“Saya minta maaf ya pak, numpang lewat di depan kantor bapak…”
“Memangnya lagi dimana?
“Ya, didepan kantor bapak, dalam perjalanan ke Duri. Cuma saya tidak bisa mampir, karena saya ikut rombongan…!”
“Ya, nggak mampir dulu, sudah dekat ini…”
“Insya Allah lain kali deh, pak. Assalaamu’alaikum…!
“Alaikumsalam…”

Aku menutup telpon genggam yang kupegang. Sambil teringat terakhir kami bertemu di Jakarta, beberapa bulan yang lalu. Saat aku tak tuntas menjadi tour guide-nya di Mangga Dua, gara-gara kepalaku pusing dan berasa ingin muntah, karena masuk angin terlambat makan siang.

***

Payakumbuh, mempunyai peran besar dalam pertumbuhan dan perkembangan diriku dalam mengharungi hidup dalam kesendirian dan kemandirian. Pulang sekolah, selesai shalat zuhur dan makan siang, aku langsung main ke pasar. Ini karena asrama kami memang terletak di pusat kota, persis di belakang kantor Bupati Kabupaten 50 Kota di Bunian. Begitupun ketika asrama kami pindah ke Labuh Basilang , atau tepatnya di Padang Tiakar pada tahun 1965. Jarak antara asrama dengan pasar yang lebih dari 1 kilometer, tak sanggup menjadi penghalang bagiku untuk setiap hari kepasar. Bahkan jalanan inilah aku mendapat pelajaran yang sesungguhnya. Yaitu, pelajaran membaca!

Mulai dari hari pertama kami pindah dari Bunian ke Labuh Basilang, memori otakku merekam semua situasi dan kondisi lingkungan yang aku lewati. Bila selama di Bunian aku tak pernah belajar dengan benar, karena keasyikan bermain dipasar. Kini perjalananku dari asrama Labuah Basilang menuju pasar melewati jalan Ahmad Yani yang membentang lurus mulai dari depan Kantor Bupati 50 Kota sampai simpang empat Labuah Basilang dan melewati jembatan Ratapan Ibu yang membentang diatas Batang Agam, adalah tempat belajarku terbaik. Walau dengan mengeja, di awalnya. Hingga akhirnya aku hafal semua nama-nama toko maupun posisi serta urutannya, mulai dari Labuah Basilang hingga ke pasar kota Payakumbuh. Berapa buah tiang listrik di sepanjang jalan itu, berapa jumlah langkah yang harus kuayunkan menempuh jalan sejauh itu. Terekam dengan baik di otakku.

Aku juga harus berterima kasih kepada Bapak Darusan, pemilik pangkas rambut Sinamar, di jalan Karya. Yang membiarkan aku membaca surat kabar Haluan langganannya. Setiap aku kepasar, tempat pangkas rambut inilah tempat perhentian pertamaku. Surat kabar Haluan terbitan Padang yang saat itu masih terbit 4 halaman, aku baca hingga tuntas. Sampai ke iklan-iklan yang terpampang di dalamnya. Ada kalanya aku tidak tahu arti atau kandungan sebuah berita, maupun opini yang disampaikan oleh penulisnya. Tapi aku tetap membacanya. Dan bila hari Minggu tiba, aku belajar mengisi TTS yang hadir setiap edisi Minggu. Pada awalnya aku hanyalah tukang tulis, pak Darusan yang memberikan jawaban setelah akau membacakan pertanyaannya. Sampai akhirnya aku mencoba sendiri mengisi jawabannya sesuai dengan jalan pikiranku, yang lebih sering salah dari benarnya. Tapi pertanyaan maupun jawaban TTS ini, semakin memperluas wawasan dan ilmu pengetahuanku.

***

Payakumbuh kami lewati dengan segala macam kenangan yang berkelebat di kapalaku. Kami sampai di Lubuak Bangku.

Lubuak Bangku mempunyai sejarah yang panjang ,sebagai terminal terakhir bagi kendaraan apa saja atau siapa saja yang akan menempuh perjalanan Sumatera Barat- Riau. Lubuk Bangku mengikuti bagaimana pasang surut perkembangan perekonomian Sumbar –Riau sejak adanya jalan raya yang menghubungkan Sumatera Barat yang kaya dengan hasil pertanian dan Riau yang kaya dengan minyak buminya. Disini berderet rumah makan maupun kios makanan ringan untuk buah tangan.

Menjelang akhir enam puluhan Lubuak Bangku, mengalami puncak kejayaannya. Bus-bus penumpang, maupun truk-truk pengangkut hasil pertanian maupun bahan bangunan, berderet parkir didepan restoran dan rumah makan yang ada disana. Semuanya mempersiapkan diri untuk perjalanan panjang memasuki hutan Bukit Barisan yang sepi, dengan jalanan kebanyakan rusak berlobang, becek dan licin. Bus-bus penumpang maupun truk-truk barang itu semua mempersenjatai diri dengan rantai yang dianyam sedemikian rupa, kemudian dipasang sebagai jaket di masing –masing roda belakangnya. Karena, kalau kendaraannya tidak dipasangai rantai, akan slip atau melintir oleh licinnya jalan yang berlumpur. Perjalanan Bukittinggi – Pakanbaru sejauh 221 kilometer terpaksa ditempuh selama dua hari dua malam, bahkan bisa lebih dimusim hujan. Itu juga karena belum adanya jembatan yang melintasi Sungai Kampar dan Batang Sinamar di sepanjang jalan itu. Kendaraan yang mau menyeberangi sungai, harus menaiki rakit raksasa yang dikaitkan dengan kawat baja dimasing-masing tepi sungai, yang dapat memuat tiga atau empat bus atau truk sekaligus.

Proses penyeberangan ini bisa mencapai setengah jam, untuk menyeberangi sungai yang lebarnya berkisar seratus hingga duaratus meter lebih. Koto Panjang, Rantau Berangin dan Danau Bingkuang adalah tempat dimana rakit penyeberangan ini berada.

Kini semua rakit-rakit itu telah menjadi penggalan sejarah transportasi Sumbar-Riau. Puncaknya adalah ketika diresmikannya jembatan Rantau Berangin sepanjang 200 meter, yang melintas Sungai Kampar Riau pertengahan tujuhpuluhan oleh Presiden Soeharto, yang merupakan jembatan terpanjang di Indonesia saat itu.

Sejak itu, perjalanan Bukittinggi – Pakanbaru yang tadinya empat puluh delapan jam lebih, kini hanya berkisar antara 4 hingga 6 jam. Lubuak Bangku kini telah sepi, walau tidak mati sama sekali. Namun masa jayanya telah berlalu. Seperti yang kami alami saat ini, kami tidak berhenti di Lubuak Bangku, karena belum sampai satu jam yang lalu kami telah selesai makan siang di Koto Nan Ampek, Payakumbuh.

Lepas dari Lubuak Bangku, kendaraan kami terus melaju mendekati bukit barisan yang membentang ditengah-tengah pulau Sumatera dari Aceh di utara hingga Lampung di selatan. Dan gerbang utama hutan bukit barisan itu adalah Kelok Sembilan.
Kelok Sembilan, demikian nama jalan yang akan kami tempuh. Untuk mendaki bukit barisan yang tinggi dan berdinding curam, tidak mungkin membangun jalan yang lurus. Dan pilihannya adalah membuat jalan yang berkelok-kelok, agar pendakian atau penurunan yang ditempuh tidak terlalu curam. Karena jumlah kelokan jalan yang dibuat mulai dari Lubuk Bangku hingga kepuncak bukit barisan itu ada Sembilan. Maka jalan tersebut di namai Kelok Sembilan.

Menempuh jalan Kelok Sembilan saat ini, memang menyenangkan. Karena jalannya telah beraspal mulus dan telah mengalami pelebaran. Namun bagaimana dengan keadaannya diatas empat puluh tahun yang lalu?. Menempuh kelok Sembilan ini adalahperjalanan yang mendebarkan, menegangkan serta memacu adrenalin kita lebih kencang. Tikungan tajam, jalan yang sempit hingga bila ada dua kendaraan besar seperti bus maupun truk yang berpapasan. Salah satu diantaranya yaitu yang berada pada posisi dinding bukit harus berhenti di sisi jalan, dan mempersilakan kendaraan yang berada disisi jurang melewatinya. Bila hujan turun, jalanan becek, rantai roda harus diikatkan. Apabila roda mobil sampai terbenam dalam kubangan lumpur dan tak dapat bergerak, dengan terpaksa penumpang harus turun untuk mengurangi beban kendaraan. Dan bila itu terjadi pada truk pembawa barang. Maka sopir atau keneknya adakalanya harus mengeluarkan kawat baja, dan mengikatkan salah satu ujungnya ke pohon kayu yang tumbuh dipinggir jalan, dan melilitkan ujung yang lain ke roda belakang mobil yang nanti akan memutar kawat baja ini, hingga kendaraan keluar dari kubangan lumpur. Makanya tidak heran bila perjalanan Bukittinggi – Pakanbaru harus ditempuh hingga tiga sampai empat hari…!

Setelah melewati Kelok Sembilan dan hutan Bukit Barisan, kami memasuki daerah Pangkalan Koto Baru, kecamatan Kapur Sembilan. Tak lama kami sampai di Koto Panjang, dimana terdapat Pembangkit Listrik Tenaga Air berkapasitas 114 MW. PLTA Koto Panjang ini berada persis terletak diperbatasan propinsi Sumatera Barat dan Riau, dimana bagian terbesarnya berada di wilayah Riau.

Kami beristirahat disini sekitar setengah jam, untuk melaksanakan Shalat Ashar, meregang tubuh yang pegal karena duduk sekian jam dikendaraan, sekalian menikmati pemandangan alam sekitar yang begitu indah, serta danau buatan yang menenggelamkan 10 desa disekitar sana. Guna untuk memutar turbin pembangkit listrik.

Setelah tubuh segar kembali, kami melanjutkan perjalanan. Lepas dari Koto Panjang, kami sampai di Bangkinang.

Di Bangkinang kami belok kiri, melalui Petapahan. Kami tidak melalui jalanan dalam kota Pakanbaru, melainkan lewat jalan alternatif melalui jalan raya yang melintasi perkebunan kelapa sawit.

Dibandingkan masuk kota Pakanbaru yang ramai, jalan Petapahan ini lebih sepi. Namun kami sering berpapasan dengan truk-truk tangki berisi minyak sawit, maupun truk-truk bak terbuka yang membawa buah kelapa sawit dari perkebunan, menuju pabrik. Seringnya truk-truk bermuatan berat melalui jalan ini, dibeberapa tempat kami menemui jalan rusak berlubang maupun bergelombang. Menurut Indra, sebelum jalan ini rusak, jalan Petapahan ini adalah jalan favorit bagi kendaraan besar maupun kecil yang akan menuju Duri, maupun Dumai. Karena jalan ini tidak terlalu berliku-liku, sehingga mempersingkat waktu tempuh hingga lebih dari satu jam, dibanding kalau melewati kot Pakanbaru, yang harus melalui Rumbai dan Minas.

Kami melewati jalan petapahan ini ketika senja telah menjelang. Sehingga aku tak bisa melihat dengan jelas luasnya perkebunan kelapa sawit yang berada dikiri kanan jalan yang kami lewati.

Karena waktu magrib telah tiba, kami shalat di sebuah masjid yang cukup besar, dan dibangun ditanah yang cukup luas, sekitar satu lapangan bola. Masjid tersebut masih dalam proses pembangunan, tapi bagian dalamnya telah rapi. Kaligrafi ayat-ayat suci A-Qur’an tergores indah dibagian atas dinding sekelilingnya. Ruangan dalam yang menurut dugaanku berukuran sekitar 30 x 30m dan dengan langit-langit yang tinggi, lantainya beralaskan marmar alam, ditambah koridor disetiap sisi yang lebarnya sekitar 3m, membuat udara didalam masjid terasa begitu sejuk. Posisi masjid inipun sangat strategis. Disudut persimpangan jalan Patepahan, menjelang Kandis.

Di Kandis kami berhenti. Seperti halnya Duri, Kandis ini hanyalah kota kecamatan. Tapi perkebunan kelapa sawit telah membuat kota Kandis ini berkembang pesat dan hidup siang malam. Pedagang yang biasanya hanya melintas di kota ini, kini telah menjadikan Kandis sebagai tempat tujuan bisnisnya. Kelapa sawit telah merubah segalanya. Serta otonomi daerah telah memperlihatkan hasilnya di propinsi Riau. Riau yang merupakan penghasil devisa yang besar dengan minyak buminya. Namun puluhan tahun, rakyatnya hidup bagaikan ayam yang mati kelaparan di lumbung padi. Kini Riau berkembang begitu pesat, seakan sedang berpacu mengejar ketertinggalannya selama ini.
Kami mampir di rumah makan langganan keluarga Indra. Aisyah, putrid kecil mereka beserta Iza mamanya pun segera mencari makanan kesukaannya,tahu goreng! Walaupun dimana-mana kita bisa mendapatkannya. Tapi katanya, tahu yang di Kandis ini rasanya beda. Empuk dan gurih! Indra, Daniel dan aku langsung menuju rumah makan. Indra yang telah malang melintang puluhan tahun didaerah ini, menyarankan kami memesan soto Padang. Kami mengamininya, dan Indra tidak berbohong, karena soto yang kami nikmati, begitu mengundang selera makan kami. Tak lama Iza datang bersama Aisyah dan bergabung makan bersama kami.

Setelah rasa lapar hilang, kami meneruskan perjalanan. Kandis adalah persinggahan kami terakhir, karena: Satu jam lagi…! Indra bilang padaku, sebelum aku sempat bertanya berapa lama lagi jarak antara Kandis dan Duri.

Perjalanan malam kami saat itu, mengembalikan kenanganku kepada saat aku pernah bekerja sebagai fotografer disebuah perusahaan pengeboran minyak bumi pertengahan 80an dulu. Cerobong yang di puncaknya api berkobar membakar gas yang ikut membaur dalam proses produksi minyak bumi. Namun terpaksa dibuang dan dibakar karena tidak mempunyai nilai ekonomis untuk diproduksi. Bertebaran dibeberapa tempat didaerah yang kami lalui. Itu semacam pertanda bahwa dibawah menara tersebut terdapat stasiun pengumpul minyak bumi yang disalurkan dari pompa angguk Lufkin, yang menyedot minyak mentah dari perut bumi. Pompa ini disebut pompa angguk karena pada waktu proses menyedot atau katakanlah menimba minyak dari perut bumi, pompa tersebut mengangguk-angguk keatas kebawah. Lufkin adalah nama pabrik pembuat pompa ini di Amerika. Tapi kini perusahaan nasionalpun telah sanggup membuat pompa ini. Ini terlihat di beberapa sumur produksi Chevron kami melihat pompa angguk dengan merek Bukaka telah ikut mengangguk-angguk disana, membuat perasaan cukup bangga karenanya.

Dari stasiun pengumpul , minyak mentah ini lalu dsalurkan lagi melalui pipa induk yang diameternya melebihi sepelukan orang dewasa. Minyak mentah ini akan mengalir ke kilang minyak. Untuk dilakukan proses refinery. Pemisahan jenis minyak dan mengolahnya jadi premium, solar, minyak tanah, avtur dan lain-lain.

Sebelum tahun dua ribuan, Indonesia adalah eksportir minyak bumi. Kini dengan semakin menurunnya produksi minyak bumi Indonesia, sementara konsumsinya semakin meningkat. Kita juga telah menjadi importir.

Tak terasa, satu jam berlalu begitu cepat. Karena asyiknya aku menikmati pemandangan malam diperjalan ini. Sambil mengenang perjalanan malamku di daerah Lirik, Rengat, Air Molek, Japura, Pendopo, Tabuan, Palembang. Semuanya di ladang explorasi dan eksploitasi minyak bumi yang saat itu dilakukan oleh perusahaan asing.

Kami sampai di gerbang kota Duri. Avanza kami meliu-liuk. Didepan kami terbentang jalan dengan lobang yang menganga dan bergelombang. Dipertengahan median jalan, terbentang tali plastik rafia yang diikatkan ke bilah bambu yang memagari bagian jalan yang lebih parah. Rupanya tengah ada perbaikan jalan disana. Namun karena masih dalam suasana libur lebaran, pekerjaan itu tampak seperti terbengkalai.
Dipersimpangan Pokok Jengkol, kami mengambil jalur kekanan, masuk jalan Sudirman. Kemudian kami berbelok kekanan masuk jalan Jawa, setelah itu masuk Gang Jaya II, belok lagi kekiri menyusur tebing, jalan tanah yang pas untuk satu mobil, lalu belok lagi kekanan. Lima belas meter kemudian kami berhenti disamping pohon seri , yang tumbuh di sudut halaman rumah.

Ya, kami telah sampai ditujuan. Rumah keluarga Indra, keponakan menantuku. Suami keponakanku Rahmaniza, dengan empat orang anak mereka, Dolla, Daniel, Dinny dan si kecil Aisyah.

Tuntaslah sudah perjalanan seharian, dari Kamang Ilia menuju Duri. Jarum jam menunjukkan angka mendekati 23.00, dan kantukpun mulai menyerang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar