Bila Musim Kesawah Tiba.....

Sebuah Otobiografi

Butir 3

BILA MUSIM KESAWAH TIBA
1958-1959

Keluarga kami juga memiliki beberapa petak sawah, yang hasilnya cukup untuk makan sekeluarga. Salah satu lokasinya diantaranya di Alahan, dipinggir jalan raya yang menuju Solok. Jorong atau desa yang terletak persis di kaki bukit Barisan. Dipuncak atau tepatnya didinding paling atas Bukit Barisan tersebut terdapat sebuah batu granit berwarna putih, penduduk kampung menamainya Batu Bajak yang kelihatan dari kota Bulittinggi, yang jaraknya sekitar 12 kilometer dari kampung kami.

Bila musim hujan tiba, berarti musim kesawah dan menanam padipun menyusul diambang mata. Kebun didepan rumah sebagian mulai dibersihkan untuk menyemaikan benih padi yang akan ditanam disawah. Sementara sawah mulai dicangkul atau di olah dengan bajak yang ditarik sapi yang kami sebut manjaja. Dirumah, ummi beserta kakak-kakakku sibuk memasak didapur. Bila tengah hari menjelang, akupun ikut ummi maupun kakakku mengantarkan makan siang untuk orang yang mengerjakan sawah kami. Begitu sampai disawah aku berjalan dan bermain di pematang yang membatasi sawah kami dengan sawah di sebelahnya, mencoba menangkap capung yang berterbangan dan hinggap di atas rumput yang tumbuh di pematang sawah. Terkadang aku menginjak atau tersenggol daun putri malu yang berduri yang membuat aku berteriak kesakitan. Namun aku tak pernah jera, dalam keasyikan mengejar dan menangkap capung yang hinggap maupun beterbangan, walaupun selalu gagal, karena reaksi capung itu selalu lebih cepat dari tangan mungilku.

Setelah shalat zhuhur orang yang mengerjakan sawahpun makan siang dengan makanan yang kami antarkan. Duduk diatas pematang yang agak lebar beralaskan rumput. Akupun diajak ikut menikmati makan siang dibawah panas terik tersebut. Angin berembus sepoi-sepoi, kadang agak kencang, lumayan untuk menyegarkan tubuh yang telah basah oleh keringat. Makan siang dipematang sawah ini adalah saat yang paling nikmat kurasakan.
Usai makan kamipun beranjak pulang meninggalkan sawah, sementara yang bekerjapun yang masih ada hubungan keluarga dengan kami melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai hingga usai waktu ashar nanti sorenya.

Setelah beberapa minggu, benih yang disemai di kebun didepan rumah mencapai tinggi sejengkal tangan orang dewasa. Berarti musim tanam telah tiba, sawahpun telah selesai diolah dan dihaluskan, musim hujan telah membuat sawah digenangi air yang cukup untuk bercocok tanam.

Saat menanam padi disawahpun tiba. Keluarga semua sibuk. Ummi, kakak-kakakku sebagian mencabuti benih di persemaian, sebagian lagi memasak untuk mereka yang ikut membantu menanam padi disawah, mereka umumnya masih famili dekat.

Benih yang dicabut diikat segenggaman orang dewasa, pucuknya dipotong beberapa sentimeter. Lalu dikumpulkan didalam upiah, kotak kayu persegi panjang yang berbentuk trapesium, mengecil kebawah, yang didalamnya juga telah dimasukkan abu bekas pembakaran didapur sebagai pupuk benih yang akan ditanam dan dicampur dengan pupuk kandang. Ditempat persemaian mereka sibuk mencabuti benih lalu mengikatnya.
Tuan Salim sibuk memotong pucuk benih dengan sabit yang tajam. Dengan memegang pucuk benih dengan tangan kirinya dan batang benih dengan tangan kanannya, dia memotong pucuk benih dengan sabit yang ditelentangkan ditanah dan diinjak dengan kakinya agar sabit itu tidak bergeser atau rebah disaat memotong benih padi, benih ditempelkan kemata sabit, didorong dari arah bawah keatas dengan gerakan cepat pucuk benihpun terpotong.

Suara persemaianpun ramai dengan canda dan tawa, membuat pekerjaan tak terasa berat. Aku sibungsu yang masih balita, dan udaku yang baru melewati masa balitanyapun tak mau ketinggalan, membantu mengangkati benih yang telah diikat, dan meletakkannya dekat tuan Salim –demikian aku dan uda Des memanggil kakakku yang nomor empat itu, semuanya bekerja. Tangan-tangan kecilkupun tak merasakan perihnya sayatan daun benih padi. Senang atas keikut sertaan membuat rasa perih itu tak terasa, yang ada hanyalah kegembiraan dan rasa bangga karena diperkenankan membantu, walau pada kenyataannya lebih banyak mengacak, daripada membenahi.

Sebagian benih yang telah dipotong dibawa kesawah, dan langsung ditanam. Aku mengikuti tuan Salim yang membawa benih kesawah dengan gerobak, langkah tuan Salim yang lebih panjang dari langkahku membuat aku tersengal-sengal mengiringinya, sehingga keringat becucuran di seluruh badanku. Melihat nafasku tersengal kecapekan, tuan Salim lalu menaikan aku keatas gerobak. Hatiku semakin senang, karena tak perlu lagi berlari mengikuti langkah tuan Salim. Aku makin senang karena akan melihat bagaimana caranya orang menanam padi.

Sampai disawah, benih lalu diturunkan dan diletakkan dipematang. Benih itu dipungut lalu dilemparkan oleh salah seorang diantara mereka ketengah sawah satu persatu pada jarak tertentu. Sementara yang lain lalu memungut benih yang akan ditanam itu dan melepaskan ikatannya. Dengan tangan kiri mereka memegang benih yang telah lepas ikatannya itu, lalu dengan tangan kanan mengambil beberapa batang benih tersebut lalu mencelupkannya kedalam upiah nya masing-masing yang berisi abu dapur dan telah dicampur dengan pupuk kandang, lalu menanamkannya kesawah dengan jarak antara benih yang satu dengan yang lain sekitar satu hasta, begitu seterusnya. Sambil membungkuk dan berjalan mundur rombongan penanam padi itupun bekerja. Seorang diantaranya tetap berada di pematang untuk mengontrol dan memberi tahukan kepada mereka yang tanaman benihnya kurang lurus agar dibetulkan, sehingga kelihatan dari luar barisan tanaman padi tersebut terlihat lurus dan enak dipandang mata.

Pulangnya aku diboncengi lagi naik gerobak oleh tuan Salim, senangnya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar