Seorang Balita di Tengah Pergolakan PRRI (10)

Menghitung hari
Sejak kejadian aku kehilangan umi, aku dan uda Des tidak diperbolehkan lagi ikut menemani umi di bok. Kami enam orang kakak beradik, kembali berkumpul lengkap di rumah setap hari. Kehidupan kami sejak umi ditahan sudah tidak karuan. Umi yang selama ini adalah tulang punggung keluarga, tidak lagi berada ditengah-tengah kami. Tidak ada lagi yang jadi panutan ditengah keluarga kami, kakak-kakakku yang masih berusia belasan tahun, belum satupun yang bisa menjadi pengganti umi, menjadi pengendali ditengah keluarga, maupun yang melanjutkan usaha umi sebagai pedagang kopi bubuk.
Kehadiran umi yang hanya beberapa jam sehari disiang hari, tidak cukup untuk mempertahankan keadaan, apa lagi untuk memperbaikinya. Kami bagaikan kapal kehilangan nakoda, tidak tahu harus berbuat apa, mengarungi samudra kehidupan dengan gelombang yang siap menggulung dan badai yang dapat menenggelamkan kami semua. Tidak ada yang memimpin dan tak satupun yang berbakat sebagai pemimpin, karena semuanya masih muda belia.
Kami enam orang bersaudara, dengan dua ayah yang berbeda.
Kakakku 4 orang, pertama sampai yang ke empat, tiga perempuan dan yang terakhir satu laki-laki, punya ayah berasal dari desa Balai Panjang. Ketika ayah mereka menceraikan umi dan menikah lagi, umi menikah dengan ayahku yang berasal dari desa Guguk Rang Pisang, dan umi melahirkan dua anak laki-laki, uda Des dan aku. Ketika umi hamil tujuh bulan, ayahku meninggal karena sakit, dan lahirlah aku sebagai anak yatim. Karena tidak ada lagi kepala keluarga ditengah keluarga kami, ayah kakak-kakakku kembali rujuk dengan umi, uda Des dan akupun lalu memanggilnya ayah.
Umi dengan naluri keibuannya, berhasil mendidik kami menjadi keluarga yang utuh antara aku dan uda Des dengan kakak-kakakku yang lain.
Ditangkapnya umi karena fitnah anggota OPR binaan PKI yang saat itu begitu erat bersanding dengan Soekarno, membuat segalanya berubah.
Umi yang menjadi tulang punggung keluarga, karena ayah juga mempunyai anak dengan istri yang lain dan jarang dirumah, menghidupi kami anak-anaknya dengan berjualan kopi bubuk yang di jajakan berkelililng kampung di nagari Kamang. Kami memang mempunyai beberapa petak sawah serta kebun untuk menghidupi keluarga. Tapi itu tidak cukup untuk satu keluarga dengan enam anak yang masih kecil-kecil. Dari balita seperti aku dan uda Des, serta kakak-kakakku yang baru menginjak remaja berusia belasan tahun dan masih bersekolah.
Dengan ditahannya umi, apa yang dapat dilakukan oleh kakak-kakakku yang masih remaja itu beserta kami berdua yang masih balita? Sementara ayah juga ikut mengungsi, karena tak ingin juga jadi sasaran fitnah OPR dan ditangkap oleh tentara APRI, yang saat itu menahan umi.
Memang ada etek, adik umiku yang tinggal serumah engan kami di rumah gadang. Tapi dia bukan pula adik kandung umi, hanya adik sepupu. Dia juga punya anak yang usianya hanya berbeda enam bulan lebih muda dariku. Suaminya yang pegawai negeri, saat itupun ikut mengungsi. Satu lagi saudara sepupu umi yang lain, tinggal agak jauh dari kami, bersuamikan seorang guru dengan dua anak wanita sebaya dengan kakakku.
Kami saat itu, bagaikan hanya tinggal menghitung hari. Untuk menuju dan memasuki arena perjuangan hidup yang sesungguhnya!

Seorang Balita di Tengah Pergolakan PRRI (9)

Umi Hilang
Kembali giliranku menemani umi ke bok, setelah semalam kakakku Des yang usianya beda dua tahun dariku.
Perjalanan dari rumah ke bok kami lalui aman-aman saja seperti hari-hari sebelumnya. Karena kami tidak mampir di pos tentara di Pintu Koto, kami tiba lebih cepat dari sebelumnya. Kami sampai di bok hari masih terang, tapi tentara yang berada disana aku lihat telah berpakaian lengkap. Aku tidak tahu kemana mereka akan beroperasi malam ini.
Karena matahari semakin condong ke barat dan tertutup awan, suasana didalam bok terasa semakin gelap, sementara lampu petromax belum dinyalakan. Tidak betah dengan kegelapan dalam bok, aku bermain dihalaman samping, dekat palanta bambu. Matahari semakin turun merendah, awan-awan yang tadinya berwarna putih berangsur berubah kemerahan yang makin lama semakin pekat seiring datangnya malam. Awan-awan yang berarak diangkasa menghadirkan lukisan yang begitu indah, saat itu terbersit wajah ayahku, yang tak pernah ku tahu seperti apa gerangan rupanya. Karena dia telah dipanggil menemui Tuhan  sewaktu aku masih dalam kandungan umi. Kakakku pernah bercerita, bahwa arwah ayahku bersembunyi di balik awan senja bila dia ingin melihat aku. Jadi bila aku ingin menemui ayahku, lihatlah dia di senja hari, ketika matahari akan tenggelam, lihatlah dia di balik awan yang berarak di rembang petang, yang berwarna kemerahan, bergulung bergelombang, bergerak lembut ditiup angin senja, lukisan maha indah dari sang Pencipta.
Belaian lembut di kepalaku membangunkan aku dari lamunan. Tanpa kusadari rupanya umi telah berdiri dibelakangku. Entah sudah berapa lama aku tidak tahu, aku lalu di angkatnya kepangkuannya. Barulah aku sadar bahwa matahari telah tenggelam, dan awan yang menyembunyikan ayahku tak kelihatan lagi.
Aku dibawa umi kedalam bok, didudukan di balai-balai yang biasa kami tempati. Umi bersiap-siap untuk shalat magrib.
Selesai shalat magrib umi mengambil Al-Qur’an, umi mengaji dengan suara lirih, aku hanya menyimak dalam diam, karena itulah ajaran umi kepada kami. Bila kami mendengarkan orang sedang mengaji, kami harus diam. Bila kakakku mengaji, yang tidak mengaji harus diam menyimak, dan kalau sedang bekerja, bekerjalah dalam diam.
Selesai mengaji umi mengambil nasi bungkus yang dibawa dari rumah, kami makan berdua. Dua orang tahanan wanita yang berada disamping kami telah duluan makan, sementara tentara ada yang makan duluan ada juga yang belakangan.
Selesai makan umi berbenah, membentangkan kain panjang diatas balai-balai untuk alas tidur kami. Aku menggelengkan kepala ketika umi menanyakan apakan aku sudah mengantuk. Aku duduk sendiri ketika umi mengambil air wudhuk untuk melakukan shalat isya.
Aku memperhatikan seperti ada kesibukan diantara para tentara yang berada di bok saat itu. Suara-suara dalam bahasa Jawa terdengar begitu ramai, aku merasa tidak nyaman, karena aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Untunglah umi segera datang, sehingga aku sedikit tenang. Baru saja umi mau shalat isya, dua tahanan wanita yang berada disebelah kami di panggil. Mereka berjalan berdua berpegangan dengan wajah yang penuh ketakutan, darahku berdebar, aku melihat kearah umi. Rupanya umi tengah khusuk dalam shalatnya, aku menggeser dudukku lebih dekat ke umi. Perasaanku tidak tenang, mataku liar memandang kearah tentara yang masih bersileweran di dalam bok dengan persiapan mereka masing-masing. Apakah umi juga mau dibawa seperti kedua orang itu? Seperti tahanan laki-laki yang dibawa kemarin, dan saat ini tak ada lagi di bok?
Aku rasakan umi shalat begitu lama, aku sudah tak sabar agar umi segera selesai shalat, biar aku bisa lebih dekat ke umi. Saat ini rasanya aku ingin berada dalam pelukan umi, karena aku tak ingin umi juga di bawa seperti dua tahanan wanita itu. Kalau umi di bawa dengan siapa aku tinggal di box ini?
Akhirnya umi selesai juga shalat isya, aku tak sabar menunggu umi berdo’a, aku langsung menghambur ke pangkuan umi, memeluk umi dan tak ingin melepaskannya lagi!
Umi berusaha menenangkan aku, dengan belaian dan kata-katanya yang lembut, dan juga menyemangati aku agar tidak menjadi orang penakut, kita boleh takut hanya kepada Tuhan, sebab Tuhanlah yang mengatur segalanya, apapun yang akan terjadi pada dirir kita.
Aku tidak tahu berapa lama aku berada dipangkuan umi, hingga akhirnya aku tertidur disana.
Pagi itu aku bangun kesiangan dari biasanya. Kulihat umi tidak ada disampingku, dibalai-balai sebelah kami yang biasanya ditempati dua tahanan wanita yang dibawa pergi tadi malam juga kosong, di dapur kosong, aku lihat sekeliling bok. Beberapa orang tentara masih tertidur dengan pakaian seragam mereka. Aku panik, benarkah umi juga ikut dibawa disaat aku tidur semalam?
Aku memanggil umi, tak ada yang menyahut. Aku lalu berjalan keluar bok, sambil memanggil umi. Aku berjalan terus menuju sumur, umi tak ada! Aku kembali ke bok, sambil terus memanggil umi, namun umi bagai hilang ditelan bumi!. Para tentara yang berada di bok pun tak ada yang menyahuti panggilanku, untuk memberi tahu dimana umi berada.
Aku terus berjalan melewati bok kearah belakang, menyeberangi pematang tabek, dan masuk kampung. Air mataku tak bisa lagi aku tahan, aku menangis sambil tetap memanggil-manggil umi.
Jarak antara bok dengan rumah di kampung cukup jauh. Aku melewati jalan setapak diantara kebun yang penuh pepohonan. Akhirnya aku masuk kampung dan melihat rumah penduduk. Aku terus memanggil umi, begitu aku semakin dekat dengan rumah pertama yang aku temui, pintu dan jendelanya tiba-tiba tertutup. Begitu juga rumah berikutnya dan berikutnya lagi. Tapi sekilas aku juga melihat, ada orang yang mengintip dari balik pintu yang kelihatan renggang dan bergerak-gerak.
Karena merasa sudah berjalan begitu jauh masuk kampung, tanpa mendapatkan hasil dan tak satupun tempat untuk bertanya, akhirnya aku balik lagi menuju bok. Tangan dan bajuku sudah basah dipakai untuk mengelap airmataku. Suaraku sudah parau berteriak memanggil umi, namun tak satupun yang memberikan jawaban. Aku terus berjalan, kembali menuju bok.
Sampai di bok aku tidak masuk, aku terus berjalan kearah yang berlawanan. Dekat persimpangan ke kampung dan yang ke sumur aku bingung mau kemana. Tapi aku pergi kearah sumur sambil tetap memanggil-manggil umi.
Rupanya Tuhan mendengarkan tangisanku, dan masih mempertemukan aku dengan umi. Dari sumur terdengar suara umi menyahuti penggilanku. Aku berlari menuruni jalan kesumur tanpa memikirkan aku bisa jatuh bergulingan, atau tercebur masuk tabek. Dan menelan aku di kedalaman airnya. Melihat aku lari di penurunan jalan kesumur, umi segera mengejar menyonsong aku, begitu dekat aku langsung menghambur kepangkuan umi dengan tangisan yang tak bisa lagi aku tahan.
Melihat aku menangis begitu sedih sambil memanggil umi, mata umi sempat juga berkaca-kaca.  Tapi umi nampaknya lebih bisa menahan tangisnya dibanding aku. Aku di pangku kesumur, pakaianku di buka dan aku dimandikan. Isak tangisku masih belum bisa aku tahan, sementara umi sudah tenang dan kemudian juga berusaha untuk menenangkan aku.
Selesai mandi kami kembali ke bok, aku tak mau berjalan, karena aku tak mau berpisah dengan umi, akhirnya aku di pangku menuju bok. Sesekali isak tangisku keluar tanpa bisa ditahan
Namun akibat kejadian itu, mulai saat itu umi tidak diperbolehkan lagi membawa aku ataupun kakakku Des, ke bok.
Siangnya, setelah aku dan umi sampai dirumah dan aku menceritakan kejadian pagi harinya, barulah umi bercerita, kemana umi saat aku mencarinya.
Waktu aku datang kesumur sebenarnya umi sudah tahu dan mendengar panggilanku, Cuma karena saat itu sedang berada di jamban tabek, umi tidak menyahuti panggilanku, karena disangka umi aku akan menunggu di sumur. Setelah umi selesai dan melihat aku tidak ada, umi menyangka aku kembali ke bok dan menunggu di bok. Karena umi membantu membersihkan peralatan bok di sumur hanya sendiri, karena dua tahanan wanita sebelumnya sudah tidak ada makanya umi di sumur cukup lama. Hingga aku datang kedua kalinya kesumur sambil menangis.

Senjata Itu Meledak di Samping kepalaku

Seorang Balita di Tengah Pergolakan PRRI (8)
Kehadiranku di dalam tahanan markas tentara di nagari Magek itu sedikit mewarnai keadaan disana. Aku lebih banyak diam, karena suasana disana memang tak terasa nyaman bagiku, juga bahasa para tentara itu yang tak satupun aku mengerti, bila mereka berbicara sesamanya, umi bilang itu bahasa Jawa. Tapi aku juga tak merasa ketakutan, melihat tentara bersileweran dengan memanggul berbagai macam senjata.
Tapi mungkin diamnya aku dan tanpa rasa takut, berbeda dengan bila mereka bertemu dengan anak-anak yang kadang lebih tua dariku, yang suka menjerit ketakutan atau lari terbirit-birit begitu melihat tentara lewat dikampung mereka, membuat banyak tentara disana itu yang merasa penasaran dan berusaha untuk mengajak aku bermain atau berteman seakan aku anak ataupun adiknya.
Begitupun pagi itu.
Aku sedang duduk di dalam bok, umi sedang berbenah, karena menjelang siang nanti kami akan pulang. Selagi asyik melihat umi bekerja, aku mendengar seseorang memanggilku di luar.
“Mi….., ayo main diluar sini…!”
Aku melihat umi, tanpa menunggu aku bertanya, umi bilang: “pergilah…!”
Aku berjalan keluar bok. Diluar matahari pagi bersinar begitu cerah membuat mataku sejenak silau, karena didalam bok pencahayaan tak begitu memadai, sebab hanya mengandalkan cahaya yang menerobos melalui atap atau pintu keluar satu-satunya.
Setelah berhenti sejenak untuk menyesuaikan penglihatanku dengan suasana diluar bok, keluar dari pintu aku lalu belok kekiri, kemudian kekiri lagi memasuki halaman samping. Dari halaman samping bok, pemandangan kedepan begitu indah. Didepanku terbentang sawah dengan padi yang sedang menguning, bagaikan hamparan mas membentang luas, terayun ayun di belai angin yang bertiup lembut. Burung pipit beterbangan dan hinggap di tangkai padi yang merunduk keberatan beban. Alam terasa begitu damai, ditengah perang atau pergolakan yang tidak tahu kapan akan berhentinya.
Sambil berjalan aku melihat beberapa orang tentara berada dihalaman samping itu, ada yang baru selesai mandi dan menjemur pakaian, ada juga yang ngobrol sambil berolahraga serta ada juga yang sedang membersihkan senjatanya.
Sejenak aku bingung dan lupa sama suara yang memanggiku tadi, tapi itu tak lama suara itu kembali terdengar: “yuk, sini…”
Aku lalu menoleh ke bangku bambu yang berada di bawah pohon, yang aku tidak tahu nama kayunya. Bangku itu di buat persis menghadap ke sawah yang membentang didepan kami. Aku lalu berdiri dekat bangku yang tingginya se bahu aku itu, aku tida bisa menaikinya untuk dudu disana. Tentara yang memanggil aku tadi sedang duduk dibangku itu sendiri, dia sedang membersihkan senjatanya, sejenak dia melihat ke arahku.
Tentara itu meletakkan senjatanya diujung bangku sebelah kanan, sambil tetap duduk dibangku, dia lalu merunduk dan mengangkat aku dan mendudukkan aku diatas pahanya, dengan menghadap kearah sawah.
Setelah aku duduk dipahanya dia kembali mengambil senjatanya, lalu mengangkat senjata dan mulai membidik kea rah sawah. Aku lalu disuruh sama dia membidik seekor burung yang sedang hinggap diatas padi, tapi mana aku tahu bagaimana cara membidik, walaupun telah ditunjukkan oleh dia bagaimana menghubungkan dua titik bidikan yang ada dipangkal senjata bagian atas pelatuk dan yang ada di ujung laras dengan burung yang hinggap disawah.
Dalam kebingunganku mendengar aba-abanya, tiba-tiba senjata itu meledak! Duaaar…. Aku terkejut, suara ledakan itu memekakkan telingaku, seraca reflek tanganku menutup kedua telingaku. Pergerakkanku yang tiba-tiba itu membuat posisi dudukku diatas pahanya tidak seimbang, hingga aku terhuyung jatuh kearah depan, untunglah tangan kirinya dengan cepat memeluk aku dari belakang, hingga aku hanya terhuyung, tidak sampai jatuh ketanah.
Aku dipindahkan duduk diatas palanta disampingnya, sementara dia menyuruh si pengantar nasi untuk pergi kesawah untuk melihat hasil tembakannya.
Mendengar suara ledakan senjata api di halaman samping, umi juga terkejut dan keluar menuju tempat aku berada. Tapi begitu umi melihat aku tidak apa-apa dan hanya berdiri terdiam sambil melihat kesawah, umi mulai memperlihatkan sikap agak tenang, aku di pangku dan dibawa kembali kedalam bok.
Dari pangkuan umi aku menyaksikan burung-beterbangan dari tangkai padi ketika si pengantar nasi masuk kesawah, setelah berputar-putar melihat sekitarnya, akhirnya dia kembali dengan tangan hampa.
Kalau tadi aku lihat wajah umi dalam kecemasan, kini wajah itu berubah menjadi kemarahan. Aku tahu karena aku pernah melihat umi marah kepada kakakku. Tapi nampaknya umi tidak dapat mengungkapkan kemarahannya disana, umi hanya diam dan memendam kemarahan itu, karena umi sadar, di sana umi adalah tahanan perang, tanpa kesalahan yang jelas, hanya karena fitnahan anggota OPR binaan PKI yang mencari muka ke tentara pusat, untuk kesenangan diri sendiri dan mengorbankan warga sekampung.
Ketika kami sampai di dalam bok, aku melihat satu-satunya tahanan laki-laki, yang berada disana dibawa keluar oleh beberapa orang tentara berseragam lengkap. Umi serta dua tahanan wanita lainnya tidak tahu kemana dia dibawa.
Setelah selesai berbenah, kami lalu keluar dari bok. Umi melapor ke tentara yang sedang bertugas jaga. Setelah diizinkan kami lalu meninggalkan bok, pulang ke rumah di Ladang Darek dan harus kembali lagi ke bok nanti sore, selepas shalat asyar. Itu juga berarti aku harus tinggal dirumah, bergantaian dengan uda Des menemani umi kembali ke bok tempat umi ditahan.