Senjata Itu Meledak di Samping kepalaku

Seorang Balita di Tengah Pergolakan PRRI (8)
Kehadiranku di dalam tahanan markas tentara di nagari Magek itu sedikit mewarnai keadaan disana. Aku lebih banyak diam, karena suasana disana memang tak terasa nyaman bagiku, juga bahasa para tentara itu yang tak satupun aku mengerti, bila mereka berbicara sesamanya, umi bilang itu bahasa Jawa. Tapi aku juga tak merasa ketakutan, melihat tentara bersileweran dengan memanggul berbagai macam senjata.
Tapi mungkin diamnya aku dan tanpa rasa takut, berbeda dengan bila mereka bertemu dengan anak-anak yang kadang lebih tua dariku, yang suka menjerit ketakutan atau lari terbirit-birit begitu melihat tentara lewat dikampung mereka, membuat banyak tentara disana itu yang merasa penasaran dan berusaha untuk mengajak aku bermain atau berteman seakan aku anak ataupun adiknya.
Begitupun pagi itu.
Aku sedang duduk di dalam bok, umi sedang berbenah, karena menjelang siang nanti kami akan pulang. Selagi asyik melihat umi bekerja, aku mendengar seseorang memanggilku di luar.
“Mi….., ayo main diluar sini…!”
Aku melihat umi, tanpa menunggu aku bertanya, umi bilang: “pergilah…!”
Aku berjalan keluar bok. Diluar matahari pagi bersinar begitu cerah membuat mataku sejenak silau, karena didalam bok pencahayaan tak begitu memadai, sebab hanya mengandalkan cahaya yang menerobos melalui atap atau pintu keluar satu-satunya.
Setelah berhenti sejenak untuk menyesuaikan penglihatanku dengan suasana diluar bok, keluar dari pintu aku lalu belok kekiri, kemudian kekiri lagi memasuki halaman samping. Dari halaman samping bok, pemandangan kedepan begitu indah. Didepanku terbentang sawah dengan padi yang sedang menguning, bagaikan hamparan mas membentang luas, terayun ayun di belai angin yang bertiup lembut. Burung pipit beterbangan dan hinggap di tangkai padi yang merunduk keberatan beban. Alam terasa begitu damai, ditengah perang atau pergolakan yang tidak tahu kapan akan berhentinya.
Sambil berjalan aku melihat beberapa orang tentara berada dihalaman samping itu, ada yang baru selesai mandi dan menjemur pakaian, ada juga yang ngobrol sambil berolahraga serta ada juga yang sedang membersihkan senjatanya.
Sejenak aku bingung dan lupa sama suara yang memanggiku tadi, tapi itu tak lama suara itu kembali terdengar: “yuk, sini…”
Aku lalu menoleh ke bangku bambu yang berada di bawah pohon, yang aku tidak tahu nama kayunya. Bangku itu di buat persis menghadap ke sawah yang membentang didepan kami. Aku lalu berdiri dekat bangku yang tingginya se bahu aku itu, aku tida bisa menaikinya untuk dudu disana. Tentara yang memanggil aku tadi sedang duduk dibangku itu sendiri, dia sedang membersihkan senjatanya, sejenak dia melihat ke arahku.
Tentara itu meletakkan senjatanya diujung bangku sebelah kanan, sambil tetap duduk dibangku, dia lalu merunduk dan mengangkat aku dan mendudukkan aku diatas pahanya, dengan menghadap kearah sawah.
Setelah aku duduk dipahanya dia kembali mengambil senjatanya, lalu mengangkat senjata dan mulai membidik kea rah sawah. Aku lalu disuruh sama dia membidik seekor burung yang sedang hinggap diatas padi, tapi mana aku tahu bagaimana cara membidik, walaupun telah ditunjukkan oleh dia bagaimana menghubungkan dua titik bidikan yang ada dipangkal senjata bagian atas pelatuk dan yang ada di ujung laras dengan burung yang hinggap disawah.
Dalam kebingunganku mendengar aba-abanya, tiba-tiba senjata itu meledak! Duaaar…. Aku terkejut, suara ledakan itu memekakkan telingaku, seraca reflek tanganku menutup kedua telingaku. Pergerakkanku yang tiba-tiba itu membuat posisi dudukku diatas pahanya tidak seimbang, hingga aku terhuyung jatuh kearah depan, untunglah tangan kirinya dengan cepat memeluk aku dari belakang, hingga aku hanya terhuyung, tidak sampai jatuh ketanah.
Aku dipindahkan duduk diatas palanta disampingnya, sementara dia menyuruh si pengantar nasi untuk pergi kesawah untuk melihat hasil tembakannya.
Mendengar suara ledakan senjata api di halaman samping, umi juga terkejut dan keluar menuju tempat aku berada. Tapi begitu umi melihat aku tidak apa-apa dan hanya berdiri terdiam sambil melihat kesawah, umi mulai memperlihatkan sikap agak tenang, aku di pangku dan dibawa kembali kedalam bok.
Dari pangkuan umi aku menyaksikan burung-beterbangan dari tangkai padi ketika si pengantar nasi masuk kesawah, setelah berputar-putar melihat sekitarnya, akhirnya dia kembali dengan tangan hampa.
Kalau tadi aku lihat wajah umi dalam kecemasan, kini wajah itu berubah menjadi kemarahan. Aku tahu karena aku pernah melihat umi marah kepada kakakku. Tapi nampaknya umi tidak dapat mengungkapkan kemarahannya disana, umi hanya diam dan memendam kemarahan itu, karena umi sadar, di sana umi adalah tahanan perang, tanpa kesalahan yang jelas, hanya karena fitnahan anggota OPR binaan PKI yang mencari muka ke tentara pusat, untuk kesenangan diri sendiri dan mengorbankan warga sekampung.
Ketika kami sampai di dalam bok, aku melihat satu-satunya tahanan laki-laki, yang berada disana dibawa keluar oleh beberapa orang tentara berseragam lengkap. Umi serta dua tahanan wanita lainnya tidak tahu kemana dia dibawa.
Setelah selesai berbenah, kami lalu keluar dari bok. Umi melapor ke tentara yang sedang bertugas jaga. Setelah diizinkan kami lalu meninggalkan bok, pulang ke rumah di Ladang Darek dan harus kembali lagi ke bok nanti sore, selepas shalat asyar. Itu juga berarti aku harus tinggal dirumah, bergantaian dengan uda Des menemani umi kembali ke bok tempat umi ditahan.