Seorang Balita di Tengah Pergolakan PRRI (9)

Umi Hilang
Kembali giliranku menemani umi ke bok, setelah semalam kakakku Des yang usianya beda dua tahun dariku.
Perjalanan dari rumah ke bok kami lalui aman-aman saja seperti hari-hari sebelumnya. Karena kami tidak mampir di pos tentara di Pintu Koto, kami tiba lebih cepat dari sebelumnya. Kami sampai di bok hari masih terang, tapi tentara yang berada disana aku lihat telah berpakaian lengkap. Aku tidak tahu kemana mereka akan beroperasi malam ini.
Karena matahari semakin condong ke barat dan tertutup awan, suasana didalam bok terasa semakin gelap, sementara lampu petromax belum dinyalakan. Tidak betah dengan kegelapan dalam bok, aku bermain dihalaman samping, dekat palanta bambu. Matahari semakin turun merendah, awan-awan yang tadinya berwarna putih berangsur berubah kemerahan yang makin lama semakin pekat seiring datangnya malam. Awan-awan yang berarak diangkasa menghadirkan lukisan yang begitu indah, saat itu terbersit wajah ayahku, yang tak pernah ku tahu seperti apa gerangan rupanya. Karena dia telah dipanggil menemui Tuhan  sewaktu aku masih dalam kandungan umi. Kakakku pernah bercerita, bahwa arwah ayahku bersembunyi di balik awan senja bila dia ingin melihat aku. Jadi bila aku ingin menemui ayahku, lihatlah dia di senja hari, ketika matahari akan tenggelam, lihatlah dia di balik awan yang berarak di rembang petang, yang berwarna kemerahan, bergulung bergelombang, bergerak lembut ditiup angin senja, lukisan maha indah dari sang Pencipta.
Belaian lembut di kepalaku membangunkan aku dari lamunan. Tanpa kusadari rupanya umi telah berdiri dibelakangku. Entah sudah berapa lama aku tidak tahu, aku lalu di angkatnya kepangkuannya. Barulah aku sadar bahwa matahari telah tenggelam, dan awan yang menyembunyikan ayahku tak kelihatan lagi.
Aku dibawa umi kedalam bok, didudukan di balai-balai yang biasa kami tempati. Umi bersiap-siap untuk shalat magrib.
Selesai shalat magrib umi mengambil Al-Qur’an, umi mengaji dengan suara lirih, aku hanya menyimak dalam diam, karena itulah ajaran umi kepada kami. Bila kami mendengarkan orang sedang mengaji, kami harus diam. Bila kakakku mengaji, yang tidak mengaji harus diam menyimak, dan kalau sedang bekerja, bekerjalah dalam diam.
Selesai mengaji umi mengambil nasi bungkus yang dibawa dari rumah, kami makan berdua. Dua orang tahanan wanita yang berada disamping kami telah duluan makan, sementara tentara ada yang makan duluan ada juga yang belakangan.
Selesai makan umi berbenah, membentangkan kain panjang diatas balai-balai untuk alas tidur kami. Aku menggelengkan kepala ketika umi menanyakan apakan aku sudah mengantuk. Aku duduk sendiri ketika umi mengambil air wudhuk untuk melakukan shalat isya.
Aku memperhatikan seperti ada kesibukan diantara para tentara yang berada di bok saat itu. Suara-suara dalam bahasa Jawa terdengar begitu ramai, aku merasa tidak nyaman, karena aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Untunglah umi segera datang, sehingga aku sedikit tenang. Baru saja umi mau shalat isya, dua tahanan wanita yang berada disebelah kami di panggil. Mereka berjalan berdua berpegangan dengan wajah yang penuh ketakutan, darahku berdebar, aku melihat kearah umi. Rupanya umi tengah khusuk dalam shalatnya, aku menggeser dudukku lebih dekat ke umi. Perasaanku tidak tenang, mataku liar memandang kearah tentara yang masih bersileweran di dalam bok dengan persiapan mereka masing-masing. Apakah umi juga mau dibawa seperti kedua orang itu? Seperti tahanan laki-laki yang dibawa kemarin, dan saat ini tak ada lagi di bok?
Aku rasakan umi shalat begitu lama, aku sudah tak sabar agar umi segera selesai shalat, biar aku bisa lebih dekat ke umi. Saat ini rasanya aku ingin berada dalam pelukan umi, karena aku tak ingin umi juga di bawa seperti dua tahanan wanita itu. Kalau umi di bawa dengan siapa aku tinggal di box ini?
Akhirnya umi selesai juga shalat isya, aku tak sabar menunggu umi berdo’a, aku langsung menghambur ke pangkuan umi, memeluk umi dan tak ingin melepaskannya lagi!
Umi berusaha menenangkan aku, dengan belaian dan kata-katanya yang lembut, dan juga menyemangati aku agar tidak menjadi orang penakut, kita boleh takut hanya kepada Tuhan, sebab Tuhanlah yang mengatur segalanya, apapun yang akan terjadi pada dirir kita.
Aku tidak tahu berapa lama aku berada dipangkuan umi, hingga akhirnya aku tertidur disana.
Pagi itu aku bangun kesiangan dari biasanya. Kulihat umi tidak ada disampingku, dibalai-balai sebelah kami yang biasanya ditempati dua tahanan wanita yang dibawa pergi tadi malam juga kosong, di dapur kosong, aku lihat sekeliling bok. Beberapa orang tentara masih tertidur dengan pakaian seragam mereka. Aku panik, benarkah umi juga ikut dibawa disaat aku tidur semalam?
Aku memanggil umi, tak ada yang menyahut. Aku lalu berjalan keluar bok, sambil memanggil umi. Aku berjalan terus menuju sumur, umi tak ada! Aku kembali ke bok, sambil terus memanggil umi, namun umi bagai hilang ditelan bumi!. Para tentara yang berada di bok pun tak ada yang menyahuti panggilanku, untuk memberi tahu dimana umi berada.
Aku terus berjalan melewati bok kearah belakang, menyeberangi pematang tabek, dan masuk kampung. Air mataku tak bisa lagi aku tahan, aku menangis sambil tetap memanggil-manggil umi.
Jarak antara bok dengan rumah di kampung cukup jauh. Aku melewati jalan setapak diantara kebun yang penuh pepohonan. Akhirnya aku masuk kampung dan melihat rumah penduduk. Aku terus memanggil umi, begitu aku semakin dekat dengan rumah pertama yang aku temui, pintu dan jendelanya tiba-tiba tertutup. Begitu juga rumah berikutnya dan berikutnya lagi. Tapi sekilas aku juga melihat, ada orang yang mengintip dari balik pintu yang kelihatan renggang dan bergerak-gerak.
Karena merasa sudah berjalan begitu jauh masuk kampung, tanpa mendapatkan hasil dan tak satupun tempat untuk bertanya, akhirnya aku balik lagi menuju bok. Tangan dan bajuku sudah basah dipakai untuk mengelap airmataku. Suaraku sudah parau berteriak memanggil umi, namun tak satupun yang memberikan jawaban. Aku terus berjalan, kembali menuju bok.
Sampai di bok aku tidak masuk, aku terus berjalan kearah yang berlawanan. Dekat persimpangan ke kampung dan yang ke sumur aku bingung mau kemana. Tapi aku pergi kearah sumur sambil tetap memanggil-manggil umi.
Rupanya Tuhan mendengarkan tangisanku, dan masih mempertemukan aku dengan umi. Dari sumur terdengar suara umi menyahuti penggilanku. Aku berlari menuruni jalan kesumur tanpa memikirkan aku bisa jatuh bergulingan, atau tercebur masuk tabek. Dan menelan aku di kedalaman airnya. Melihat aku lari di penurunan jalan kesumur, umi segera mengejar menyonsong aku, begitu dekat aku langsung menghambur kepangkuan umi dengan tangisan yang tak bisa lagi aku tahan.
Melihat aku menangis begitu sedih sambil memanggil umi, mata umi sempat juga berkaca-kaca.  Tapi umi nampaknya lebih bisa menahan tangisnya dibanding aku. Aku di pangku kesumur, pakaianku di buka dan aku dimandikan. Isak tangisku masih belum bisa aku tahan, sementara umi sudah tenang dan kemudian juga berusaha untuk menenangkan aku.
Selesai mandi kami kembali ke bok, aku tak mau berjalan, karena aku tak mau berpisah dengan umi, akhirnya aku di pangku menuju bok. Sesekali isak tangisku keluar tanpa bisa ditahan
Namun akibat kejadian itu, mulai saat itu umi tidak diperbolehkan lagi membawa aku ataupun kakakku Des, ke bok.
Siangnya, setelah aku dan umi sampai dirumah dan aku menceritakan kejadian pagi harinya, barulah umi bercerita, kemana umi saat aku mencarinya.
Waktu aku datang kesumur sebenarnya umi sudah tahu dan mendengar panggilanku, Cuma karena saat itu sedang berada di jamban tabek, umi tidak menyahuti panggilanku, karena disangka umi aku akan menunggu di sumur. Setelah umi selesai dan melihat aku tidak ada, umi menyangka aku kembali ke bok dan menunggu di bok. Karena umi membantu membersihkan peralatan bok di sumur hanya sendiri, karena dua tahanan wanita sebelumnya sudah tidak ada makanya umi di sumur cukup lama. Hingga aku datang kedua kalinya kesumur sambil menangis.