Seorang Balita di Tengah Pergolakan PRRI (7)

Menikmati masakan Jawa



Aku terbangun hari sudah siang. Umi tidak ada disampingku, aku lalu duduk sambil melihat kesekeliling. Aku melihat umi sedang berada di sudut bok yang berfungsi sebagai dapur, melihat aku bangun umi lalu mendekatiku. Umi mengemasi balai-balai tempat tidur kami, melipat kain panjang yang menjadi alas tidurku dan juga selimut. Sambil bekerja umi menanyaiku apakah aku mau mandi, aku mengangguk. Selesai membereskan tempat tidur kami, umi memangku aku keluar dari bok.

Dari pangkuan umi aku melihat banyak tentara bergelimpangan tidur dengan masih memakai pakaian seragam mereka, aku tidak tahu kapan mereka kembali dari operasinya. Sesampai diluar bok aku juga melihat beberapa orang tentara yang baru bangun, maupun yang sudah selesai mandi serta yang masih berjaga-jaga.

Sampai diluar bok aku diturunkan umi dari pangkuannya. Kami berjalan menuju sumur yang terletak dipinggir tabek ikan, dibawah bukit dimana bok berada. Setelah agak jauh dari bok kami menemukan jalan dua jalur, kekiri jalan datar kearah kampung yang kami lewati kemarin, waktu datang dari rumah dan mampir di pos Pintu Koto, sementara yang kekanan jalan menurun. Kami mengambil jalan yang ke kanan. Jalan ini menurun, disebelah kiri kami tebing yang semakin jauh kami turun, tebing itu makin tinggi kurasakan. Dikanan kami jurang curam yang berujung di tabek ikan.

Di ujung penurunan terdapat sebuah sumur. Disekeliling sumur ditutup dengan daun kelapa yang di jalin bersilangan setinggi orang dewasa, kecuali sisi dekat tebing.

Aku dimandikan umi, dinginnya udara pagi membuat aku menggigil kedinginan, tapi itu hanya sebentar setelah aku disabuni rasa dingin itu mulai berkurang. Setelah selesai mandi dan ganti baju kami kembali ke bok. Umi tidak ikut mandi, karena umi sudah duluan mandi sewaktu umi bangun subuh.

Sampai di bok aku melihat ada orang baru yang belum pernah kulihat sebelumnya, rupanya dia orang yang mengantarkan makanan untuk tentara yang bermarkas di bok. Dihadapannya beberapa buah rantang berisi makanan terletak di atas balai-balai yang ukurannya paling luas. Beberapa orang tentara diantaranya sudah menikmati sarapan paginya.

Melihat tentara itu makan, umi lalu mengeluarkan bungkusan nasi yang dibawa dari rumah kemarin, yang masih tersisa satu bungkus. Umi mengambil air buat cuci tangan, mencuci tangannya dan kemudian juga tanganku. Umi membuka bungkus nasi, setelah bungkusnya terbuka, kelihatanlah nasi putih dengan lauk ditengah-tengahnya. Walaupun sudah terletak semalaman, namun nasi yang kami makan itu biarpun dingin tapi tidak basi.

Melihat kami makan nasi dingin, seorang tentara yang kelihatannya lebih tua dari yang lainnya, mengajak aku ikut makan bersama mereka, umi menolak ajakan itu secara halus. Tapi dia rupanya serius mengajak aku makan bersamanya, dengan menyuruh si pengantar nasi menjemput aku dengan menggendongnya ketempat mereka makan. Umi dengan perasaan serba salah terpaksa membiarkannya.

Aku didudukkan disamping tentara yang lagi makan itu, diambilkan piring dan diisi nasi. Ketika akan diisi lauk pauk aku bingung, karena aku belum pernah melihat masakan yang ada dihadapanku itu sebelumnya. Tanpa bertanya, si pengirim nasi menambahkan lauk itu ke piring yang diambilkan untukku. Aku hanya diam saja, karena suasana yang asing di dalam bok itu masing menyelimutiku.

Setelah isinya lengkap, piring makanan itu lalu di letakkan dihadapanku. Beserta secangkir air teh untuk minumnya. Aku melihat kearah umi, umi hanya mengangguk.

Aku melihat piring nasi yang telah berisi lengkap itu. Pelan - pelan aku mengambil kentang, aku berpikir kok gulai kentangnya berwarna coklat? Biasanya kalau umi memasak gulai kentang, warnanya putih, kuning atau merah. Tapi yang ada dihadapanku saat itu gulai kentang berwarna coklat seperti kolak . dengan perasaan penuh tanda tanya aku membawa kentang itu kemulutku. Baru saja kentang itu tergigit dan kuah yang menempel disana tersentuh oleh lidahku, aku tersedak, kentang itu terasa terasa manis! Aku kelabakan.

Di keluarga kami, adalah larangan yang paling keras memuntahkan makanan dari mulut, makanya setiap akan menyuap nasi atau makanan apapun, kami disuruh memeriksa dulu apa yang kami makan, kalau ikan apakah ada tulangnya, kalau buah mungkin busuk, atau makanan yang dimasak mungkin basi. Tapi aku saat itu, tak bisa mentaati larangan itu. Kentang yang rasanya manis seperti gula merah, langsung aku muntahkan ke tanganku, dengan perasaan takut, aku melihat kearah umi. Rupanya umi juga melihat kearahku. Umi meninggalkan makannya dan menghampiriku, dan mengambil kentang yang tadi aku muntahkan ditanganku, sambil bertanya kenapa. Tapi bukannya jawaban atas petanyaan umi yang aku berikan, malah aku minta minum, karena dimulutku masih tertinggal sisa gigitan. Umi lalu mengambil cangkir air teh yang telah disediakan pengantar nasi tadi. Tanpa berpikir panjang aku lalu meminum air yang di cangkir itu. Baru saja aku minum beberapa teguk aku tersedak lagi, dan lebih parah, karena air yang baru aku minum keluar dari hidung!

Umi nampaknya mengerti permasalahanku, umi segera pergi ke balai-balai tempat dia makan, lalu mengambil cangkir bekas minumnya yang masih berisi air, dan sekalian membawa kain panjang. Aku kembali diberi air minum dari cangkir yang di bawa umi. Aku minum, sementara umi membersihkan lantai bekas tumpahan air sedakanku.

Cukup banyak aku minum, hingga cangkir yang dibawa umi kosong. Setelah aku agak tenang, barulah aku sadar, tentara yang sedang makan itu mentertawakan aku!

“Kamu tidak suka smur, ya?” kata si pengantar nasi kepadaku dalam bahasa Minang yang kedengaran aneh di telingaku.

Aku hanya diam, sementara hidungku perih dan kepalaku berdenyut-denyut karena kesedakan tadi. Mataku kembali melihat gulai kentang yang masih ada di piring makanku. Smur, itu nama gulai kentang ini? Tapi kok manis? Gulai kok manis? Alam pikiran kecilku dijejali pertanyaan yang aku tak tahu jawabannya. Sebab bila umi maupun kakak-kakakku membuat gulai, pasti pedas tak pernah manis, dan belum habis sensasi rasa gulai manis ini meneror selera makanku, sensasi kedua ikutan menyerbu, disaat aku ingin menghilangkan rasa gulai kentang manis itu dari mulutku dengan minum air tawar, yang diberikan pengantar nasi itu justru teh manis!

Bukannya aku tak suka teh manis, tapi kebiasaan kami makan selama yang aku tahu tak pernah minumnya pakai teh manis. Jadi sensasi rasa teh manis disaat aku mengharapkan air tawar itulah yang membuat aku tersedak lebih parah, sebab airnya sudah sampai di tenggorokanku karena aku minum buru-buru untuk menghilangkan rasa manis smur kentang.

Aku dipangku umi kembali ke balai-balai tempat umi makan, nasi dingin peninggalan kemarin itu masih tersisa banyak, karena umi baru memakannya beberapa suap sebelum kejadian yang menimpa aku tadi. Tanpa bertanya umi lalu menyuapi aku. Rasa masakan yang sudah begitu familiar di lidahku, membuat aku segra melupakan kejadian tadi dan makan bersama umi hingga nasi itu habis oleh kami berdua. Sementara tentara itu juga makan dengan nikmatnya dengan smur kentang yang rasanya manis itu, serta minum dengan air teh yang juga manis.



Bersambung

Seorang Balita ditengah Pergolakan PRRI (6)

Aku menginap di tahanan



Kami masuk kedalam bok, setelah umi berbicara sejenak dengan tentara yang berjaga diluar. Sampai di dalam umi, meletakkan aku di salah satu balai-balai bambu. Aku duduk, sementara umi meletakkan barang bawaannya, pakaian ganti, dan dua bungkus nasi yang dibungkus pakai daun pisang yang dibawa dari rumah. Sementara umi pergi berwudhuk kesumur diluar bok, aku memperhatikan keadaan disekelingku.

Ruangan dalam bok itu diterangi sebuah lampu petromak, yang di kampung kami lebih akrab dipanggil lampu starongkeng. Tidak seperti biasanya, bila orang kampung memasang lampu pertromak menggantungnya di langit-langit rumah, maka lampu di dalam bok ini diletakkan saja di atas lantai balai-balai dengan tudung lampunya yang tetap terpasang. Sehingga cahaya lampu itu hanya menerangi bok bagian bawah, sedang bagian atasnya remang-remang.

Di balai-balai sebelah yang aku duduki, ada dua orang wanita yang nampaknya lebih tua dari umi, disebelahnya lagi, seorang laki-laki yang umurnya mungkin sama dengan ayah tuo, ayah kakak-kakakku. Kedua wanita itu beberapa kali melihat kearahku, begitu juga laki-laki disebelahnya. Awalnya aku tidak tahu kenapa kedua wanita dan satu laki-laki ini berada didalam bok ini, belakangan barulah umi mengatakan bahwa mereka juga sedang di tahan, sama dengan umi.

Dibalai-balai yang lain aku melihat beberapa orang tentara. Semuanya berpakaian seragam sedang bersiap-siap seperti mau pergi, masing-masing mempersiapkan senjatanya.

Umi kembali dari sumur, lalu mengambil mukena dan sarung untuk shalat magrib dan memakainya. Setelah itu umi naik kebalai-balai tempat aku duduk, membentangkan sajadah dan shalat.

Selesai shalat dan membenahi perlengkapan shalatnya umi mengambil bungkus nasi, yang tadi dibawa dari rumah. Setelah menawari makan kedua wanita serta laki-laki sesama tahanan dan para tentara yang masih berada didalam bok, kami makan berdua. Umi hanya membuka satu bungkus nasi, karena isinya cukup banyak. Bila makan dirumah, umi selalu mengawasi anak-anaknya makan, bila ada yang makannya nasinya berantakan atau berserakan di luar piring, atau kalau ada diantara kakak-kakakku makan sambil bercanda, serta makan dengan mengunyah nasi dengan mulut berdecak umi akan langsung menegur. Tapi saat ini umi makan tanpa suara sama sekali, umi dengan sabar membenahi nasiku yang berantakan diatas daun maupun yang jatuh ke balai-balai. Aku memang belum bisa makan dengan baik tanpa nasi berserakan, tangan kecilku belum bisa menggenggam nasi dengan benar.

Selesai makan umi membenahi balai-balai tempat kami duduk, lalu membentangkan selembar kain panjang diatasnya, umi lalu menanyaiku apakah aku mengantuk, aku menganggukkan kepala.

Perjalanan panjang hari itu, memang membuat aku kecapean. Dan makan kenyang bersama umi menambah berat beban mataku, dan aku tak perlu menunggu lama untuk tertidur pulas diatas balai-balai bambu beralaskan kain panjang, dan tubuhku diselimuti umi dengan kain panjang lain yang rupanya telah dipersiapkan umi sebelum keberangkatan kami dari rumah.

Dinginnya udara malam membangunkan aku dari tidurku, ini juga disebabkan karena bok itu hanya berlantai dan berdindingkan tanah.

Kulihat disampingku umi berbaring miring menghadap kearahku, juga hanya berselimutkan kain panjang. Ketika aku mengalihkan penglihatanku kearah lain, aku juga melihat kedua tahanan wanita yang bersebelahan dengan tempat tidur kami, juga tidur dengan berselimutkan kain panjang tapi tanpa alas dibawahnya.

Pergerakan badanku rupanya membangunkan umi dari tidurnya, atau jangan-jangan malah umi belum tidur sama sekali. Umi lalu memperbaiki selimut yang tidak lagi menutupi badanku, aku lalu melihat ke wajah umi, umi menangis! Aku tidak mengerti mengapa umi menangis ditengah malam itu. Aku lalu memeluk umi, umipun lalu memeluk aku. Dinginnya udara malam yang tadi kurasakan mulai berkurang, namun tetap lebih dingin dibanding bila aku tidur dirumah diatas kasur dan berselimutkan selimut tebal yang hangat.

Beberapa suara tembakan terdengar memecah kesunyian malam, namun jaraknya cukup jauh dari bok tempat kami berada. Tapi walau begitu, umi berusaha agar aku tidak mendengarkan suara tembakan itu dengat menutup telingaku dengan tangannya, tapi itu percuma. Sepinya malam membuat suara tembakan itu terdengar nyata, walaupun jauh dari tempat kami berada. Aku lebih sering malah mendengarkan suara tembakan itu dari jarak yang lebih dekat, sewaktu kami bersembunyi dilubang perlindungan dirumah dapur sebelum umi ditangkap.



Bersambung

Seorang Balita ditengah Pergolakan PRRI (5)

Aku dibawa Umi




Sore, setelah shalat ashar, umi bersiap untuk kembali ke bok. Kakakku satu persatu mulai memperlhatkan ketidak relaannya umi kembali masuk tahanan. Tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa, yang dapat mereka lakukan hanyalah menangis, ada yang sesungukan dan ada pula yang hanya terdiam membisu dengan pandangan mata menerawang, sementara airmatanya mengalir membasahi pipinya yang setiap saat dihapus dengan kain panjang yang dikenakannya . Aku hanya diam dan membisu, memperhatikan umi berbenah. Umi juga kulihat tak kuat menahan kesedihannya untuk berpisah lagi dengan anak-anaknya. Air matanya tergenang, namun di tahan agar tak pecah menjadi tangisan dan memperburuk suasana.

Setelah selesai berbenah, umi lalu berdiri dan memperhatikan kami, anaknya satu persatu. Umi lalu mendatangi satu persatu dari keenam anaknya, menyalami dan memeluk satu persatu. Bendungan airmata yang tadi ditahan umi akhirnya jebol juga, umipun menangis sambil memeluk anak-anaknya. Namun umi tak mau terlalu hanyut, walau kakak-kakakku ada yang menangis dengan jeritan yang memilukan, umi berusaha untuk tegar. Hingga akhirnya umi tiba dihadapanku, aku diangkat dan ditatapnya dalam-dalam. Aku hanya terdiam tak mengerti, sambil juga menatap wajah umi yang berlinangan air mata. Disana, dalam tatapan matanya, seakan umi menyampaikan suatu pesan untukku. Namun aku tidak tahu, pesan apakah itu gerangan.

Setelah kami saling bertatapan, aku dipeluk umi lalu direbahkan ke pundaknya. “si Mi akan umi bawa….!” Umi memecah kebisuan. Kakak-kakakku terkejut dan saling pandang, tapi akhirnya nampaknya menyetujui apa yang dikatakan umi. Mereka seakan terwakili oleh diriku disamping umi. Itu terlihat dengan berkurangnya isakan tangis mereka.

Kami, aku dan umi, berangkat meninggalkan rumah. Kakak-kakakku beserta etekku uminya Fitrizal, melepas kami di depan tangga rumah gadang. Walaupun masih dengan airmata yang berlinang, mereka melepas kami dengan perasaan yang mungkin agak sedikit lega, karena ada aku disamping umi. Walau nantinya terjadi sesuatu dalam perjalanan kami, akupun tak dapat berbuat apa-apa.

Dari rumah memasuki jalan kampung kami belok kekiri, menuju persimpangan yang di kampung kami menyebutnya Simpang Labuah. Simpang empat yang tepat berada di tengah kampung kami Ladang Darek. Sampai di Simpang Labuah kami belok kekiri kearah barat. Sebelum terjadinya pergolakan, pada jam-jam sehabis shalat asar, Simpang Labuah ini selalu ramai oleh penduduk kampung, khususnya laki-laki yang melewatkan waktu istirahat mereka menjelang datang waktu magrib, apalagi di bulan puasa. Pada salah satu sudut persimpangan terdapat palanta, bangku panjang setinggi paha orang dewasa yang terbuat dari bambu di belah dua. Disanalah mereka mengobrol.

Namun sejak terjadinya pergolakan PRRI, Simpang Labuah lengang. Begitu juga jalan yang kami tempuh saat ini. Kalau bukan untuk tujuan yang benar mendesak, penduduk tak berani meninggalkan rumah mereka, takut menjadi sasaran fitnah OPR.

Kami melewati dusun Tanjuang dan Batu Bakaluak. Di dusun Panji kami belok kekiri, keluar dari jala raya. Masuk jalan kecil yang melewati rumah penduduk. Kami mengambil jalan pintas, agar tak terlalu jauh bila harus melewati jalan raya dan melewati simpang Kubang Putih. Jalan kecil itu kemudian berujung di tanah lapang, tempat anak-anak muda bermain sepak bola, lapangan yang luas itu juga sepi tanpa ada kegiatan, hanya kami berdualah yang melintas disana. Lepas dari lapangan kami kembali ke jalan raya yang membujur lurus dari selatan ke utara, membelah dua nagari Kamang Ilia, yang berakhir di pinggir Bukit Barisan, yang membentengi Kamang Ilia di bagian utara.

Kami terus berjalan, dikiri kanan jalan jendela dan pintu-pintu rumah tertutup rapat. Kalaupun kami berpapasan dengan penduduk lain, tegur sapa sangatlah mahal. Tak satupun yang ingin terlibat, masing-masing menyelamatkan diri sendiri. Kami melewati Masjid Wustha, yang boleh dikatakan masjid termegah di nagari Kamang Ilia saat itu. Persis berhadapan diseberang jalan bangunan Panti Asuhan Muhammadiyah yang beratap genteng. Namun panti asuhan tersebut juga sepi, bubar gara-gara pergolakan PRRI ini. Anak asuh kembali ke keluarga masing-masing, atau ikut kehutan mengungsi menyelamatkan diri, begitupun pengurusnya.

Aku mengikuti langkah umi yang berjalan disampingku, bila aku capek umi menggendong aku dalam pangkuannya. Umi berjalan dalam diam, dan aku telah belajar dari kakak-kakakku. Bila umi diam kami tak boleh mengganggunya. Dan kini itulah yang aku lakukan.

Akhirnya kami sampai di Pintu Koto, pintu gerbangnya nagari Kamang Ilia menuju kota Bukittinggi. Rumah-rumah maupun warung yang berada disekitar sana semua tertutup. Beberapa orang tentara duduk-duduk di palanta bambu yang terdapat di beberapa tempat yang ada warungnya. Kami langsung menuju pondok kecil yang berdiri persis ditengah persimpangan. Umi membisikkan ditelingaku yang saat itu berada di pangkuannya, “Kita ke pos tentara…!” kata umi.

Mendekati pos aku diturunkan umi dari pangkuannya, lalu kami langsung masuk. Didalam pos aku lihat seorang tentara duduk dikursi di belakang meja, umi lalu menemuinya dan berdiri didepan meja tentara itu. Aku tidak tahu apa yang dibicarakan umi dengan tentara tersebut. Karena aku asyik melihat berbagai macam senjata yang tersandar, maupun yang tergantung di paku di kiri kanan maupun yang didinding dibelakang tentara yang menjaga pos itu. Aku tidak tahu nama-nama senjata itu, walaupun aku sering mendengar kakakku menyebut nama senjata kanon, basoka, pistol, granat atau meriam, namun tak satupun yang aku tahu, mana senjata yang disebutkan kakak-kakakku itu.

Setelah umi selesai berbicara dengan penjaga pos, kami langsung keluar. Umi menuntun tanganku. Kami terus berjalan kearah nagari Magek, melewati Pakan Salasa. Pasar yang terletak diperbatasan nagari Kamang Ilia dan Nagari Magek, yang ramainya dua kali seminggu, setiap hari Selasa dan Jum’at. Lewat Pakan Salasa kami sampai di persimpangan, kami belok kekiri.

Setelah berjalan agak lama, kami belok kekanan masuk jalan kecil diantara perumahan dan kebun. Setelah berbelok beberapa kali kekiri maupun ke kanan melewati persimpangan, kami sampai di bok tentara di nagari Magek, yang pernah aku datangi bersama anduang Ipah beberapa hari sebelumnya, namun melewati jalan yang berbeda. Tidak berapa lama setelah kami sampai di bok tentara tempat umi ditahan itu, bedug magribpun berbunyi.

Bersambung

Seorang Balita ditengah Pergolakan PRRI (4)

Pulang untuk Pergi…



Tiga hari sudah umi di tahan, aku begantian dengan uda Des di ajak oleh anduang Ipah menjenguk umi. Pada hari keempat, pagi, ketika matahari belum lagi sepenggalahan, disaat semua anggota keluarga sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan aku sedang bermain sendirian dirumah gadang, kami dikejutkan oleh hal yang tak kami duga sebelumnya, umi pulang!

Kami semua terkejut dan sekaligus senang menyambut kedatangan umi. Wajah-wajah yang selama tiga hari ini kuyu tak bergairah dan kehilangan semangat hidup, saat itu bercahaya agi. Kami semua berhamburan mendekati umi. Semuanya ingin sekaligus memeluk umi, dan tangis bahagiapun pecah. Umipun memeluk anak-anaknya satu persatu, membelainya dengan penuh kasih sayang. Akupun kembali dapat menikmati pelukan umi yang hangat dan menenteramkan hati. Begitu lama umi mendekap dan menciumi aku dengan airmata yang tak berhenti mengalir, saat itu seakan-akan umi hanyalah milikku sendiri…

Tapi kebahagiaan yang kami rasakan itu hanya sekejap, setelah umi bercerita.

Umi diizinkan pulang pagi itu, namun sorenya harus segera kembali ke bok tentara pusat di Magek, dimana umi ditahan. Mendengar cerita umi, suasana bahagia yang kami rasakan disaat itu, bagaikan debu ditiup angin kencang. Hilang tak berbekas! Tangis bahagia yang tadi sempat menyelimuti suasana keluarga kami, kini berbalik sontak menjadi tangis duka. Rasa penyesalan, cemas takut dan beragam perasaan yang mengungkapkan rasa ketidak percayaan akan apa yang dikatakan umi, menyergap semua jiwa yang berada disaana saat itu, tak terkecuali aku. Aku yang saat itu tak pernah lepas dari pangkuan umi, merasakan sekali bagaimana umi menahan kesedihan berpisah dengan kami, dan bagaimana tegarnya umi menghadapi semua itu.

Berbagai usulan bertubi-tubi datang dari seluruh anggota keluarga, untuk mencegah umi kembali ke bok. Diantaranya agar umi pergi meninggalkan kampung, masuk hutan dan tidak pulang hingga pergolakan ini selesai. Serta usulan agar semua anggota keluarga ikut pergi ke bok tempat umi ditahan. Tapi umi menggelengkan kepala mendengar semua usulan itu. Umi menjelaskan alasannya, kenapa umi tak mau pergi menghilang meninggalkan kampung. Karena umi memikirkan keselamatan kami semua anak-anaknya. Umi tak mau anak-anaknya maupun anggota keluarga yang lain, akan menjadi tumbal atas kepergiannya menghilangkan diri. Bagi umi, kami anak-anaknya, adalah harta yang sangat berharga. “Biarlah umi yang ditahan, perang ini tidak akan lama, nanti kita akan berkumpul lagi…” demikian pesan umi, untuk menenangkan hati kami. Tapi kakak-kakakku tak dapat menerima alasan umi itu, namun umi adalah sosok yang sangat dihormati dan dicintai oleh anak-anaknya, tak satupun diantara kami yang berani membantah apa yang telah menjadi keputusan umi, walau dalam hati semua menolak dan tak setuju dengan alasan umi, bayangan akan kehilangan umi lagi, telah terpampang jelas di hadapan kami. dan kami anak-anaknya tak bisa berbuat apa-apa….

Hari itu berjalan dalam suasana hati yang kacau balau. Kebencian akan suasana perang yang merenggut ketenangan hidup dan kebahagiaan keluarga kami. Kebencian kepada tentara yang menangkap umi, kebencian kepada orang-orang yang memfitnah umi. Dan semua kebencian itu, akhirnya diselipi oleh rasa takut dan cemas ditinggalkan umi, cemas umi tak kembali, cemas perang ini berlangsung lama.

Semua perasaan benci, takut, cemas, gamang, sedih dan berbagai macam perasaan tak enak lainnya itu, berkecamuk didada keluarga kami, termasuk aku. Balita kecil yang tak mengerti apa-apa…

Bersambung

Seorang Balita ditengah Pergolakan PRRI (3)

Menjenguk Umi




Selepas shalat zuhur, aku diajak oleh anduang Ipah, kakakku yang nomor dua. Katanya pergi menjenguk umi yang lagi di tahan di bok tentara pusat di Magek, nagari tetangga kami.

Kami berjalan berdua, dari Ladang Darek menyusuri jalan kampung menuju Kabunalah, kampung terakhir menjelang perbatasan nagari kami dengan nagari Salo. Kami, aku dan anduang Ipah, tidak melalui jalan yang melewati jalan tengah nagari Kamang yang langsung menuju nagari Magek, karena hal itu akan membuat kami berjalan memutar cukup jauh, karena posisi bok tentara pusat ini lebih dekat keperbatasan nagari Magek dan Salo.

Rupanya kabar penangkapan dan ditahannya umi telah menyebar keseluruh kampung. Disepanjang jalan yang kami lewati penduduk memperhatikan kami, tapi mereka tak berani mendekat. Karena mereka juga tak mau terlibat atau ikut difitnah oleh mata-mata OPR yang mungkin ada ditengah mereka. Mereka hanya terlihat berbisik-bisik diantara mereka sambil melepaskan pandangan kepada kami. Kalaupun ada yang berpapasan dengan kami, mereka berusaha segera menghindar. Bila bertegur sapa, yang kedengaran kadang hanyalah jawaban yang tidak jelas, yang diucapkan dengan langkah yang diayunkan semakin cepat, untuk menghindar dari kami. Tidak seperti biasanya, keakraban penduduk kampung yang serba terbuka dan penuh kehangatan, saat itu berubah total. Kami benar-benar merasa tersisih saat itu.

Di simpang tiga Kabunalah yang jaraknya dari kampungku sekitar dua kilometer, kami belok ke kiri. Kira-kira tigaratus meter kemudian melewati perbatasan nagari Kamang dengan nagari Salo, dan desa pertama yang kami masuki di nagari Salo itu adalah Kampung Panjang.

Setelah melewati beberapa desa lagi, kami belok ke kanan, menyusuri jalan yang menghubungkan nagari Salo dan Magek. Tidak jauh setelah melewati perbatasan kedua nagari itu kami masuk jalan kecil berupa jalan setapak. Kami melewati kebun yang ditumbuhi berbagai macam tumbuh-tumbuhan kayu yang menjulang tinggi. Juga melewati beberapa rumah dikiri maupun kanan jalan. Setelah melewati beberapa tikungan, dari jauh aku melihat bangunan yang kelihatan Cuma atapnya yang terbuat dari daun rumbia terletak di atas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya.

Setelah dekat dan kemudian sampai di bangunan itu, barulah aku tahu, itulah tempat yang kami tuju. Rupanya atap yang kami lihat dari jauh tadi memang terletak diatas tanah, menutup lubang perlindungan yang digali sedalam lebih tinggi dari orang dewasa.

Beberapa orang tentara berjaga-jaga disekitar bunker dengan senjata di tangan. Didepan kamp tentara itu terbentang sawah yang cukup luas, yang saat itu sedang menguning tinggal menunggu waktu untuk di panen.

Setelah kakakku ditanyai dengan berbagai macam pertanyaan yang aku tidak mengerti, serta memeriksa barang bawaan kami sambil sesekali melihat kearah aku, akhirnya kami dipersilakan masuk oleh tentara yang menjaga disana. Kami menuruni tangga tanah, dan sampai di ruangan yang cukup lebar yang banyak terdapat balai-balai tempat duduk baralaskan pelupuh bambu, bahkan beberapa orang tentara aku lihat sedang tidur disana.

Melihat kami datang, umi yang datang dari sudut ruangan yang kelihatannya seperti dapur, langsung bergegas menemui kami. Begitu sampai umi langsung memeluk aku, airmata umi berlinang, kemudian menetes mengenai tanganku, terasa hangat.

Tapi nampaknya umi cukup tabah dan menahan diri untuk tidak memperlihatkan kesedihannya. Umi berusaha sekuat mungkin tidak menangis dihadapan kami, walau wajah dan airmatanya tidak dapat menyembunyikannya.

Begitu juga kakakku anduang Ipah. Apakah ketakutannya kepada tentara yang bersileweran disekitar kami, membuatnya begitu tegar, walau airmatanya juga tidak bisa di tahannya untuk tidak terlepas dari kelopak matanya. Aku mendengar dia sesungukan di pelukan umi, tapi kata-kata maupun bujukan umi akhirnya bisa menenangkannya.

Bagaimana dengan aku?
Aku tidak tahu, kenapa aku tidak bisa menangis disaat-saat seperti itu. Kenapa aku tidak menjadi seorang anak yang cengeng dan menangis sekencang-kencangnya untuk melunakkan hati para tentara itu agar melepaskan ibuku? Kenapa aku hanya terdiam dan bisu disaat umi dan kakakku bertangisan? Ataukah memang Tuhan mengajari aku menjadi anak yang tabah menghadapi kesedihan, karena masih banyak penderitaan dan cobaan hidup yang lebih berat akan menerpa aku?

Kenyataannya saat itu adalah, aku hanya diam dan membisu. Namun mata hatiku mengamati semua yang ada disana, seperti yang aku lakukan bila aku duduk di tangga teratas rumah gadang, merekamnya di dalam memori otakku, seorang anak kecil berusia tiga tahun.

Umi menanyakan keadaan kami semua, dan sambil menangis kakakku menceritakan keadaan kami yang bagaikan anak ayam kehilangan induk. Semuanya bingung tak tahu harus berbuat apa, dan juga merasa ketakutan, kalau-kalau hal ini akan menimpa anggota keluarga yang lainnya.

Setelah menyerahkan rantang berisi makanan yang dibawa kakakku anduang Ipah, kami kembali pulang. Sampai di rumah anduang Ipah dikerubuti oleh seluruh keluarga, semuanya berebut menanyakan keadaan umi, dan suara tangisan kembali mengiringi cerita anduang Ipah, sedangkan aku kembali kedunia kecilku, besama Fitrizal sepupuku.

Bersambung

Seorang Balita ditengah Pergolakan PRRI (2)

UMI DITAHAN




Apa yang dicemaskan keluarga selama ini akhirnya terjadi juga.Ketenangan kehidupan keluarga kami mulai terganggu.

Saat itu aku sedang bermain dirumah. Aku tak ingat lagi berapa orang kami yang berada dirumah saat itu. Beberapa orang tentara bersenjata lengkap mendatangi rumah kami. Aku tidak tahu siapa diantara kakakku atau keluarga lain, yang membiarkan mereka naik kerumah gadang, dengan memakai sepatu mereka yang kotor belepotan tanah. Hal yang tak pernah sekalipun dilakukan oleh keluarga kami, yang selalu menjaga kebersihan lantai rumah gadang. Aku sangat benci sama mereka, yang mengotori rumah kami dengan jejak-jejak sepatu tentara itu. Keluarga kami atau siapapun yang naik kerumah gadang, harus mencuci kaki dengan air cibuak yang ada dekat tangga rumah gadang. Kedatangan tentara itu juga didampingi orang kampung anggota OPR binaan PKI. Merekalah yang jadi tukang tunjuk siapa orang-orang kampung yang menjadi tentara luar atau anggota PRRI. Penunjukan ini bukan berdasarkan fakta, tapi karena fitnah maupun dendam pribadi.

Karena usiaku masih balita dan perbendaharaan kata-kataku belum seberapa, aku tak mengerti dan tidak tahu apa yang mereka bicarakan dengan umi maupun keluarga kami yang berada di halaman dan sekitar dapur saat itu. Bahasa mereka aku tak mengerti. Saat itu mereka membawa umi dengan paksa, dan tak seorangpun diantara kami yang boleh menemani, walaupun hanya seorang anak balita seperti uda Des atau aku. Seluruh keluarga kecuali aku, menangis melepas kepergian umi, tapi tak dapat berbuat apa-apa. Karena rasa takut juga menyelubungi seluruh keluarga. Tentara pusat itu membawa umi ke kamp mereka, yang oleh orang kampung disebut bok di Magek, nagari tetangga kami.

Suasana keluarga kami langsung berubah sepeninggal tentara itu dan umi. Bisik-bisik mulai menyeruak diantara kakak-kakakku, wajah mereka diliputi kecemasan, semuanya jadi serba salah tingkah, ketakutan, dan saling bertanya, kapankah umi pulang. Begitu juga keluarga etekku yang sama-sama tinggal bersama kami di rumah gadang.

Sore, malam hingga pagi esoknya rumah kami penuh ketegangan dan kecemasan. Rasa takut memenuhi semua anggota keluarga, kecuali aku yang tak mengerti apa-apa. Malam harinya bacaan ayat-ayat Al-Qur'an kakak-kakakku lebih panjang dari biasanya. Makan malampun tak lagi terasa nikmat, tak satupun terdengar celoteh yang biasanya saling bersahutan. Dentingan sendok beradu dengan piring, begitu nyaring terdengar memecah keheningan, membuat sipelaku menjadi semakin serba salah. Semua kelopak mata terasa panas dan tergenang air. Namun tak satupun tangis yang pecah. Langkah-langkah kaki kakak-kakakku yang biasanya berseleweran membenahi peralatan makan, yang membuat lantai papan rumah gadang berderit-derit, saat itu bagaikan langkah malaikat yang tak menjejak bumi.

Ketika semua aktifitas telah selesai, rumah gadang lebih hening dari biasanya, semuanya larut dengan pikiran masing-masing, menunggu hari esok dengan penuh kecemasan. Walau semuanya telah merebahkan diri ditempat tidur, namun tak satupun mata yang terpejam. Ada yang kembali bangun, lalu duduk menyandarkan tubuhnya ke dinding, memeluk lutut sambil menunduk membenamkan kepalanya diantara lutut dan dada, namun tak lama kembali membaringkan diri diatas kasur. Yang lebih sering terdengar adalah desahan tarikan nafas panjang, luapan beban yang begitu berat menghimpit dada. Kadang terdengar bisikan diantara kakakku, namun hanya sejenak, kemudian kembali hanyut dengan pikiran masing-masing.



Dalam ketidak mengertianku akan situasi yang menerpa keluarga kami, batinku merekam apa terjadi, dan menyimpannya didalam memori yang ada di kepalaku.

Malam itu terasa begitu dingin, walau kakakku telah menyelimuti aku dengan selimut tebal, namun hawa dingin itu tetap merasuk ketubuhku, sehingga aku sulit memejamkan mata. Kehangatan yang biasa aku rasakan dalam pelukan umi, kini menghilang begitu saja. Namun kantuk yang menyerang mata akhirnya membuat aku tertidur lelap juga

Aku terbangun hari sudah siang, uda Des tidak ada lagi disampingku. Begitu juga kakak-kakakku yang lain, semuanya sudah bangun. Aku lalu turun dari tempat tidur, dan berjalan menuju pintu lalu duduk dia anak tangga teratas, sebagaimana biasa aku lakukan setiap pagi aku bangun tidur.

Kesibukan rutin setiap pagi sedang berlangsung di bawah, di halaman maupun di dapur. Namun suasananya jauh bebeda dari hari-hari biasa, tiada keceriaan. Langkah-langkah bergerak berat tak bertenaga dan diam tanpa suara, wajah-wajah yang sembab dengan mata yang memerah dan berkaca-kaca. Yang kedengaran hanya suara ciapan anak ayam yang sedang mencari induknya, atau ayam-ayam betina yang berlarian dikejar ayam jantan, di sela meongan kucing minta makan, atau celotehan suara adik sepupuku Fitrizal dengan uminya, etekku.

Waktu berjalan terasa begitu lambat. Umi, dimana umi kini.....?



Bersambung