Hari-hari Yang Sunyi

HARI-HARI YANG SUNYI

Semenjak umi dibawa pergi dan tak pernah kembali, kehidupan kami dirumah gadang berubah. Tak kedengaran lagi bunyi alu beradu dengan lasuang. Menumbuk kopi untuk dijadikan sabuak.Karena tidak ada yang menggantikan umi untuk berdagang berkeliling kampung. Umi belum sempat melakukan regenerasi pada anak-anaknya yang masih gadis-gadis kecil yang baru berusia belasan tahun.
Tak kedengaran lagi canda tawa kakak-kakakku, tuan Salim, uda Des dan aku. Kesunyian, kesedihan dan rasa kehilangan menyelimuti rumah gadang. Hari-hari berlalu dalam kemuraman, isak tangis terkadang datang putus bersambung diantara kakak-kakakku, sambil sesekali bertanya dalam ratapan mereka, kapankah umi akan pulang? apakah umi akan pergi selamanya dan tak akan kembali lagi? Pertanyaan yang pelan-pelan menghilang, berlalu bersama berjalannya waktu, tak seorangpun dapat memberikan jawabannya…
Gairah kehidupan tak ditemukan lagi diantara kami anak-anak umi yang enam orang. Walaupunetek Timah maupun amai Uda selalu mencoba dan berusaha menasehati dan membujuk kami agar tetap tabah dan selalu bersabar dan tawakal, menyerahkan segalanya akan takdir Allah, namun semangat kehidupan kami telah terenggut. Nasehat itu mungkin hanya dapat dimengerti oleh kakak-kakakku Inan, Ipah, Pidan maupun tuan Salim. Namun bagi uda Des dan aku semua itu tak bermakna apa-apa, kami belum mengerti apa-apa.
Belum sempat aku mengerti arti menjadi yatim karena ditinggalkan ayah disaat aku masih dalam kandungan umi, dan kini aku dan uda Des yatim piatu, karena umipun telah pergi menyusul ayah.
Berita dikampung beredar simpang siur, ada yang mengatakan umi ditembak di Kabunalah.Perbatasan nagari Kamang dengan Salo yang sepi tak berpenghuni. Berbagai tempat dan kampung disebut sebagai tempat pembuangan mayat umi. Tapi tak satupun yang pasti.
Kami terombang ambing dalam ketidak pastian dan penantian. Mata kakak-kakakku telah pada sembab memerah, karena tangis yang kunjung berhenti. Aku, hanya akulah yang tak bisa menangis. Si bungsu yang baru berusia menjelang 4 tahun. Bila aku melihat kakak-kakakku menangis sambil memeluk aku, aku hanya terdiam dengan pikiran yang menerawang, dan tak tahu harus berbuat apa.
Mungkin inilah mukjizat yang diberikan oleh Tuhan padaku, tak setetespun airmataku mengalir, padahal semua kakak-kakakku dan keluarga yang lain bertangisan. Tuhan memberi aku kekuatan dalam menghadapi musibah ini.
Rumah gadang kini terasa sepi, lantainya yang tebuat dari kayu, tak kedengaran lagi berisik terinjak oleh kaki-kaki kecil yang berlarian kesana kemari, tak ada lagi tawaria, maupun celoteh dari mulut-mulut kecil, canda diantara kami bersaudara.
Sekeliling terasa suram dan muram, kehidupan rasanya berhenti. Uda Des tak lagi bersemangat mengajakku pergi ke ladang, menggembalakan sapi peninggalan ayah kami.
Tuan salim pun tak bersemangat lagi belajar jadi tukang perabot rumah tangga, yang menjadi industri utama penduduk Kamang.
Setiap pagi sejak umi masih ada, aku selalu bangun paling belakangan. Sebelum turun kehalaman, dan dibawa kesumur dekat ladang. Aku duduk di kapalo janjang, anak tangga teratas rumah gadang, memperhatikan kesibukan umi maupun kakak-kakakku yang sibuk bekerja, didapur maupun dihalaman dibawah pohon manggis.
Kini, sejak umi tak ada lagi, semua kegiatan maupun kesibukan itu tak ada lagi. Aku hanya termangu duduk dikapalo janjang sambil melepaskan pandanganku kehalaman maupun kedapur, melihat kakak-kakakku berkumpul di sana.
Lesung batu yang umurnya lebih tua dari kakak-kakakku, tergeletak begitu saja dibawah pohon manggis, tak beranjak sedikitpun dari tempatnya, dipenuhi daun-daunan dan air yang menghitam tempat bersarangnya nyamuk. Tak jauh, dua buah alu yang telapaknya diberi besi agar kuat menumbuk buah kopi, bersandar dipohon manggis. Besi yang biasa mengkilat dan licin memutih karena dipakai saban hari, mulai memperlihatkan karat. Kuali yang biasa dipakai untuk merendang kopi, tengkurap penuh debu diatas pagu dapur. Begitu juga kisukan, penyaring kopi yang telah halus jadi bubuk, tergantung diam dipaku tiang dapur. Kaleng kopi umi yang lingkarannya lebih besar dari pelukanku, yang biasa dipakai untuk berdagang keliling kampung dengan menjujungnya dikepala, kini telah berubah fungsi menjadi tempat peralatan dapur.
Aku lebih sering main sendiri, terkadang mengelamun sambil membayangkan dan berharap umi kembali. Fitrizal, anak etek Timah yang biasanya paling suka mengganggu aku, seakan juga mengerti dengan keadaanku. Bila aku duduk menyendiri, karena kakak-kakakku sibuk dengan urusannya masing-masing. Dia datang menghampiri, duduk diam disampingku.
Bila malam tiba, kesunyian itu makin terasa. Walau rutinitas kehidupan kami tetap berjalan seperti biasa. Namun hilangnya umi yang sehari-harinya memegang tongkat komando ditengah-tengah kami sangat terasa. Tak kedengaran lagi suara umi menyuruh kakak-kakakku membereskan piring setelah makan. Dan lalu dilanjutkan dengan perintah untuk mengaji membaca Al-Qur’an bersama-sama. Serta membetulkan bacaan siapa yang salah.
Kini bila makan malam tiba setelah selesai shalat magrib, semuanya membisu, hanya dentingan beradunya sendok dengan piring yang memecah kesunyian. Bila sedang mengaji membaca Al-Qur’an. Kalau semasa umi masih bersama kami, suara kakak-kakakku saling bersaing berirama melantunkan ayat-ayat suci itu. Kini, yang terdengar hanyalah bacaan lirih, yang sering diiringi isakan tangis.
Malam haripun berlalu terasa begitu lama. Suara binatang malam yang selama ini bagaikan musik merdu berirama indah, kini seperti nyanyian sunyi yang menyayat hati. Gemerisik daun kayu ditiup angin, seakan tarikan nafas umi yang sedang meregang nyawa diberondong senjata api. Malam-malam yang panjang, alangkah sulitnya mata terpejam.

TAMAT





* lasuang  = lesung batu,   sabuak = bubuk kopi,   etek = bibi adik ibu,   tuan & uda = kakak laki-laki, mas (Jawa),  amai = bibi kakak ibu,  kapalo janjang = anak tangga paling atas,  kisukan =ayakan tepung, 

Pergi Dibawah Todongan Senjata Api

Seorang Balita di Tengah Pergolakan PRRI  (11)Umi Basiah
Kebiasaanku setiap hari sejak tak seorangpun diantara kami yang boleh menemani umi di bok, adalah menunggu kepulangan umi menjelang zuhur, siang hari. Kemudian melepas beliau ketika umi telah selesai shalat ashar.
Tapi itu tak berlangsung lama.
Hari terakhir pulang, umi bilang, umi tidak akan kembali ke bok, ketika diantara kakakku bertanya kenapa, umi bilang ketika mau pulang tentara yang berjaga mengatakan bahwa umi tidak usah lagi kembali ke bok .
Kami begitu bahagia, kini kami tidak lagi akan kehilangan umi buat selamanya. Keceriaan mulai bersemi lagi di rumah gadang, wajah-wajah kembali berseri. Kakak-kakakku mulai membersihkan lagi peralatan dagang umi. Dapur yang berantakan dirapikan lagi, masakan hari itupun agak istimewa.
Ketika mangrib menjelang, kami semua telah berada di rumah gadang. Umi dan kakak-kakakku semua menunaikan shalat magrib, kecuali uda Des dan aku yang masih balita.
Ketika semua selesai shalat, kami makan bersama-sama dalam suasana yang bahagia, karena umi telah berada lagi ditengah-tengah kami. Dentingan sendok beradu dengan piring, begitu sering dan nyaring terdengar. Hal yang tak pernah terjadi semenjak umi di tahan.
Selesai makan, peralatan dibenahi. Ketiga kakakku begitu bersemangat bekerja, sehingga dalam waktu singkat rumah gadang telah rapi kembali.
Baru saja aku mengambil nafas karena makan kekenyangan, aku mendengar suara sepatu seperti berlarian di sekeliling rumah. Aku ingat bunyi suara sepatu seperti itu seperti sepatu tentara yang ada di bok. Tak lama kemudian terdengar suara: “Oi….buka pintu…!!!
Serentak kami semua terdiam….hening!
“Oi….buka pintu!” suara itu kembali terdengar, dan rasanya lebih lantang dari yang pertama, ini disebabkan kami semua sudah terdiam. Mendengar suara itu, wajah-wajah yang tadi gembira langsung berubah, kami saling pandang, dan pandangan terakhir jatuh pada umi.
Umi tak perlu menunggu lama untuk bangkit dari tempat duduknya. Apalagi setelah melihat anak-anaknya dalam keadaan tegang, pucat, takut dan gelisah. Umi bangkit dan berjalan menuju pintu, nenek yang selama ini hanya diam tak pernah ikut campur, karena kondisi fisiknya yang sudah lemah dan sakit-sakitan, seakan mendapat firasat buruk, dengan tertatih-tatih ikut bangkit menemani umi.
Benar saja, baru saja umi membuka pintu, seorang tentara dengan persenjataan lengkap, langsung mengatakan:
“Ibu harus ikut kami sekarang juga!
Sementara dibelakang dan sekeliling rumah,beberapa orang tentara dalam posisi siaga, untuk menjaga segala kemungkinan.
Umi yang sudah terbiasa menghadapi tentara selama di bok maupun di pos Pintu Koto, apalagi mereka yang datang ini sudah dikenal oleh umi, dihadapi umi dengan tenang.
“Baik pak, tapi izinkan saya untuk berkemas dan shalat isya sebentar…”
Si tentara yang menjadi juru bicara, melihat kebelakang. Rupanya di antara tentara yang sedang mengepung rumah kami tersebut, terdapat tentara yang lebih senior. Si Senior mengganggukkan kepala.
Umi lalu masuk, kembali kedalam rumah gadang. Sementara kakak-kakakku sudah tidak tahan dengan situasi yang ada. Mereka mulai bertangisan, umi berusaha menenangkan mereka, namun tak berhasil.
Umi lalu masuk kamar, membuka lemari dan mengganti pakaian. Baju kurung putih dengan kerudung juga putih. Disaat umi bersalin bedug isya pun terdengar. Selesai bersalin umi langsung memakai mukena, kain sarung dan shalat isya.
Disaat umi shalat, adalah saat yang menegangkan. Kakak-kakakku tak bisa menghentikan tangisnya, nenekku juga sudah mulai terpengaruh, begitu juga etekku yang sedang memangku anaknya. Tuan Salim kakakku yang nomor empat hanya tertunduk diam, namun sesekali aku melihat dia menghapus airmatanya. Uda Des dan aku pun diam. Tuo yang sudah buta dan tak bisa kemana-mana, serta pendengarannya yang sudah berkurang, hanya duduk tafakur, di sajadahnya.
Selesai shalat, umi merapikan perlengkapan shalatnya. Mukena, kain sarung sajadah dilipat ditumpuk jadi satu. Umi lalu mengambil Al-Quran yang masih baru, dua buah. Satu Al-Qur’an biasa, dan yang satu lagi Al-Qur’an ukuran kecil. Kedua kitab suci itu di letakkan diatas perlengkapan shalatnya. Lalu dibungkus oleh umi dengan sebuah kain panjang yang dilipat dua.
Setelah semua selesai, umi berjalan memangku bungkusannya diharibaannya, menuju pintu keluar di rumah saruang. Serentak semua yang ada di rumah gadang saat itu bangkit mengiringi umi dengan tangisan yang tak lagi dapat dibendung.
Umi menuruni tangga, diiringi yang lain. Nenek yang sudah renta tergelincir di tangga, untung ada yang cepat memegang hingga tidak sampai terjatuh ke halaman. Semuanya turun mengiringi umi, tapi begitu sampai dihalaman kami dihadang. Dalam ratapan yang tak lagi terbendung, negosiasi terjadi diiringi tangisan, tapi semua kandas. Permintaan terakhir, agar aku diperkenankan ikut bersama umi, pun tak di kabulkan.
Umi dibawa pergi, di bawah kawalan tentara bersenjata lengkap, diiringi ratapan yang menyayat hati. Runtuhlah bumi tempat berpijak, putuslah tali tempat bergantung, kepada siapa lagi tempat mengadu. Semua menangis, kecuali satu orang. Si kecil yang hanya diam membisu, yang tak tahu harus berbuat apa. Setetespun airmatanya tak mengalir, namun pandangannya nanar, jauh…..,mengiringi langkah sang bunda yang di bawa pergi entah kemana, pergi dan tak pernah kembali…..