Seorang Balita ditengah Pergolakan PRRI (4)

Pulang untuk Pergi…



Tiga hari sudah umi di tahan, aku begantian dengan uda Des di ajak oleh anduang Ipah menjenguk umi. Pada hari keempat, pagi, ketika matahari belum lagi sepenggalahan, disaat semua anggota keluarga sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan aku sedang bermain sendirian dirumah gadang, kami dikejutkan oleh hal yang tak kami duga sebelumnya, umi pulang!

Kami semua terkejut dan sekaligus senang menyambut kedatangan umi. Wajah-wajah yang selama tiga hari ini kuyu tak bergairah dan kehilangan semangat hidup, saat itu bercahaya agi. Kami semua berhamburan mendekati umi. Semuanya ingin sekaligus memeluk umi, dan tangis bahagiapun pecah. Umipun memeluk anak-anaknya satu persatu, membelainya dengan penuh kasih sayang. Akupun kembali dapat menikmati pelukan umi yang hangat dan menenteramkan hati. Begitu lama umi mendekap dan menciumi aku dengan airmata yang tak berhenti mengalir, saat itu seakan-akan umi hanyalah milikku sendiri…

Tapi kebahagiaan yang kami rasakan itu hanya sekejap, setelah umi bercerita.

Umi diizinkan pulang pagi itu, namun sorenya harus segera kembali ke bok tentara pusat di Magek, dimana umi ditahan. Mendengar cerita umi, suasana bahagia yang kami rasakan disaat itu, bagaikan debu ditiup angin kencang. Hilang tak berbekas! Tangis bahagia yang tadi sempat menyelimuti suasana keluarga kami, kini berbalik sontak menjadi tangis duka. Rasa penyesalan, cemas takut dan beragam perasaan yang mengungkapkan rasa ketidak percayaan akan apa yang dikatakan umi, menyergap semua jiwa yang berada disaana saat itu, tak terkecuali aku. Aku yang saat itu tak pernah lepas dari pangkuan umi, merasakan sekali bagaimana umi menahan kesedihan berpisah dengan kami, dan bagaimana tegarnya umi menghadapi semua itu.

Berbagai usulan bertubi-tubi datang dari seluruh anggota keluarga, untuk mencegah umi kembali ke bok. Diantaranya agar umi pergi meninggalkan kampung, masuk hutan dan tidak pulang hingga pergolakan ini selesai. Serta usulan agar semua anggota keluarga ikut pergi ke bok tempat umi ditahan. Tapi umi menggelengkan kepala mendengar semua usulan itu. Umi menjelaskan alasannya, kenapa umi tak mau pergi menghilang meninggalkan kampung. Karena umi memikirkan keselamatan kami semua anak-anaknya. Umi tak mau anak-anaknya maupun anggota keluarga yang lain, akan menjadi tumbal atas kepergiannya menghilangkan diri. Bagi umi, kami anak-anaknya, adalah harta yang sangat berharga. “Biarlah umi yang ditahan, perang ini tidak akan lama, nanti kita akan berkumpul lagi…” demikian pesan umi, untuk menenangkan hati kami. Tapi kakak-kakakku tak dapat menerima alasan umi itu, namun umi adalah sosok yang sangat dihormati dan dicintai oleh anak-anaknya, tak satupun diantara kami yang berani membantah apa yang telah menjadi keputusan umi, walau dalam hati semua menolak dan tak setuju dengan alasan umi, bayangan akan kehilangan umi lagi, telah terpampang jelas di hadapan kami. dan kami anak-anaknya tak bisa berbuat apa-apa….

Hari itu berjalan dalam suasana hati yang kacau balau. Kebencian akan suasana perang yang merenggut ketenangan hidup dan kebahagiaan keluarga kami. Kebencian kepada tentara yang menangkap umi, kebencian kepada orang-orang yang memfitnah umi. Dan semua kebencian itu, akhirnya diselipi oleh rasa takut dan cemas ditinggalkan umi, cemas umi tak kembali, cemas perang ini berlangsung lama.

Semua perasaan benci, takut, cemas, gamang, sedih dan berbagai macam perasaan tak enak lainnya itu, berkecamuk didada keluarga kami, termasuk aku. Balita kecil yang tak mengerti apa-apa…

Bersambung