Keluargaku

Sebuah Seri Otobiografi

Butir 1

KELUARGAKU

Di penghujung malam, tangis seorang bayi yang lahir dari rahim seorang wanita, memecah kesunyian. Mengiringi fajar yang sedang menyingsing. Bayi keenam, dan terakhir. Seorang bayi laki-laki. Semua keluarga menyambut dengan penuh suka cita. Namun suka cita yang sumbang, bagaikan panas mengandung hujan. Ada yang tidak utuh disaat itu. Seseorang yang seharusnya ikut menyambut si pendatang baru dalam keluarga. Tapi dia tak ada, kemana dan kenapa?

Ayah...
Dua bulan sebelum sang bayi memperlihatkan dirinya dimuka bumi. Daun kehidupan sang ayah, telah gugur ditiup Nafiri Izrail dari pohon kehidupannya di Lauhulmahfuz. Karena memang hanya sekianlah jatah waktu yang ditetapkan untuk dia oleh sang Pemberi Kehidupan. Kepergian yang tak boleh ditunda, walau hanya sekedipan mata.

Itulah aku. Lahir dari ibu yang mempunyai 6 orang anak, dari dua suami.
Aku bungsu dari suami ibuku yang kedua, setelah berpisah dengan suaminya yang pertama, yang memberinya empat orang anak. Tiga orang perempuan dan yang keempat laki-laki.

Dari ayahku, ibuku yang sehari-hari kami panggil ummi melahirkan dua orang anak yang keduanya laki laki, aku dan kakakku yang aku panggil uda, panggilan untuk kakak laki-laki di Minangkabau.

Ayahku meninggal, karena menderita sakit yang akhirnya merenggut nyawanya. Sepeninggal ayahku suami pertama ibuku kembali bersama kami, dan akupun ikut memanggilnya ayah, sebagaimana yang lain.

Diwaktu aku berusia sekitar tiga atau empat tahun aku mendapat penyakit borok memanjang dari kiri ke kanan disekitar perutku. Dan sakitku ini bertahan cukup lama ditubuhku, sehingga mengganggu sekali bila aku pakai celana. Karena suka menempel pada borokku, yang membuat aku meringis kesakitan bila aku membuka celana untuk mandi atau keperluan lain. Setelah sembuh borok ini meninggalkan bekas di sekitar perutku.

Walau tanpa ayah kandung, namun aku dapat merasakan kebahagiaan ditengah-tengah keluargaku, karena kami semua saling menyayangi. Tidak ada perbedaan antara adik kandung dan adik tiri, semua kurasakan memperhatikan dan menyayangi aku dan kakakku yang telah menjadi yatim. Ummi berhasil menanamkan rasa kasih sayang diantara kami, anak-anaknya yang berlainan ayah.

Keluargaku tinggal pada sebuah rumah gadang, rumah adat keluarga besar orang Minangkabau. Rumah gadang kami bergonjong empat. Menghadap ke selatan dan membelakangi bukit barisan yang membujur dari barat ke timur. Dibagian depannya terdapat lima jendela, tanpa ada pintu untuk keluar masuk. Dibagian belakang, barulah terdapat pintu. Tanpa ada jendela lain. Pintu ini adalah satu-satunya pintu keluar atau masuk rumah gadang.

Dibagian dalam, rumah gadang itu dibagi dua. Sebagian rumah sebelah selatan yang dekat ke jendela, adalah ruangan utama tanpa sekat memanjang dari ujung yang satu ke ujung yang lain. Ruangan multi fungsi, sebagai ruang tamu, ruang makan maupun ruangan keluarga. Bagian utara adalah deretan kamar, jumlah kamarnya ada empat ditambah satu lagi rumah saruang- ditengah yang berfungsi bukan sebagai kamar, tetapi sebagai ruang penghubung antara pintu dan ruangan utama. Rumah saruang ini adakalanya juga berfungsi sebagai gudang penyimpanan sementara padi yang baru dipanen dan dimasukkan kedalam karung, sebelum dimasukkan kedalam kapuak, ruangan khusus yang berfungsi sebagai lumbung penyimpanan padi yang terletak dikolong rumah gadang. Yang pintu keluar masuknya terdapat di lantai ruangan utama. Padi yang habis dipanen dimasukkan kedalam kapuak ini. Kalau di perlukan lalu diambil secukupnya bila beras yang untuk dimasak telah habis.

Kamar utama yang biasa disebut biliak gadang ada dua, terletak di bagian ujung barat dan timur. Kamar sebelah barat adalah kamar keluarga kami, dan yang sebelah timur kamar keluarga etekku. Dua kamar lainnya dengan ukuran yang lebih kecil yang disebut biliak kaciak, terletak disebelah kamar utama. Biliak kaciak yang disamping kamar kami ditunggui oleh nenekku, sementara yang disebelah kamar etekku dihuni oleh tuo bibi etekku.

Rumah saruang terletak persis ditengah, diantara dua biliak kaciak nenekku dan tuo. Di rumah saruang inilah terletak sartu-satunya pintu yang menghubungkan bagian dalam rumah gadang ini dengan dunia luar, tempat keluar masuknya penghuni rumah gadang ini setiap hari.

Sebelum bisa turun tangga sendiri, aku sering duduk di puncak tangga dekat pintu rumah saruang ini. Memperhatikan semua aktifitas yang terjadi, menunggu aku dijemput oleh ummi dan di gendong menuju rumah dapur. Bila aku duduk dipintu rumah saruang, dihadapanku terbentang halaman belakang rumah kami, sebelah kanan berdiri rumah dapur etekku, dan sebelah kiri rumah dapur kami. Rumah dapur etekku lebih besar dari rumah dapur kami. Dibawah pintu telah menyambut tangga kayu dengan tujuh anak tangga, aku belum bisa menuruni anak tangga ini, karena jarak anak tangga yang satu dengan yang lainnya belum terjangkau oleh kakiku. Persis diujung tangga, sebelah bawah terdapat beberapa batu kali yang permukaannya datar sebagai alas untuk mencuci kaki. Disebelahnya ada cibuak yang terdiri dari beberapa potongan pohon bambu, yang buku sebelah dalamnya telah dilubangi, kecuali bagian paling bawah. Disusun dalam posisi berdiri mungkin ada 10 buah, diikat dan ditanam ditanah.

Tinggi cibuak tersebut sekitar empat ruas bambu, satu ruas ditanam ditanah, dan tiga ruas diatasnya berdidri kokoh diatas permukaan tanah. Setiap batang bambu tersebut diisi dengan air yang dibawa dari luak yang ada di ujung ladang, atau kalau musim hujan diisi dengan air yang mengucur dari atap rumah yang di tampung dan di alirkan dengan bambu. Untuk mengambil air yang berada didalam cibuak tersebut dibuatlah tanjua. Bambu yang lebih kecil ukurannya dari bambu untuk cibuak, yang panjangnya sekitar sejengkal, di beri tangkai yang panjangnya sama dengan dalamnya cibuak, dan dilubangi dekat buku bambu bagian samping bawah untuk saluran keluar airnya.

Kegunaan cibuak ini adalah untuk mencuci kaki, bagi yang ingin masuk kerumah gadang, dan juga untuk mengambil wudhu untuk shalat, terutama malam hari. Karena satu-satunya sumber air kami adalah luak atau sumur yang ada di ujung ladang. Luak atau sumur ini dibuat dengan menggali tanah yang mempunyai mata air dekat tebing di pinggir sawah, yang jaraknya dari rumah sekitar 300 meter.


Disamping keluarga kami, yang jumlahnya sembilan orang termasuk nenekku, juga tinggal di rumah gadang tersebut bibiku yang sehari-harinya aku panggil etek. Bibiku ini saudara sepupu ibuku, bukan adik kandung, Suaminya seorang pegawai negeri dan mereka punya satu anak. Sebenarnya dia punya dua anak yang lahir kembar, namun yang satu meninggal beberapa waktu setelah lahir. Usiaku dan anak bibiku tak terpaut jauh, aku hanya lebih tua enam bulan.

Terakhir yang tinggal dirumah gadang tersebut adalah bibi dari bibiku, yang kami semua memanggilnya tuo, karena dia lebih tua dari kami semua selain nenekku. Dia hidup sendiri tanpa suami ataupun anak. Seharusnya aku dan kakak-kakakku maupun anak bibiku memanggilnya nenek. Tapi karena yang dipanggilkan nenek adalah nenekku maka untuk membedakannya kamipun ikut-ikutan orang tua kami memanggilnya tuo.

Sewaktu aku lahir, kondisi tuo ini sudah dalam keadaan tunanetra, sehingga hari-harinya selalu dihabiskan disekitar rumah, tak pernah kemana-mana.

Adalagi satu keluarga bibiku yang lain, tapi dia tidak tinggal bersama kami di rumah gadang. Dia bersama suaminya yang bekerja sebagai guru, telah membuat rumah sendiri, yang masih berdekatan dengan rumah gadang, hanya dipisahkan jalan yang membelah kampung. Keluarga bibiku tersebut punya dua anak, yang semuanya wanita, yang setelah menamatkan sekolahnya juga kemudian berprofesi sebagai guru, sebagaimana ayahnya. Terhadap bibiku ini kami memanggilnya amai

Walaupun kami keluarga besar, anggota keluarga kami tak pernah bertengkar. Kami hidup dalam keadaan rukun dan damai. Ajaran agama dan ikatan adat telah menyatukan kami dalam suatu keluarga besar yang harmonis. Walaupun aku dan udaku berlainan ayah dengan kakak-kakakku yang lain namun mereka menyayangi kami sebagai adik kandung. Setidaknya itulah yang kami rasakan saat itu.

Kehidupan kampung yang damai dan terikat kuat dengan adat, dan kehidupan beragama keluarga kami yang cukup taat, mengikat kami dalam satu keluarga yang utuh.
Mungkin karena aku dan udaku yang telah yatim, menjadi penyebab mereka menyayangi kami sebagaimana adik kandung sendiri. Atau mungkin juga didikan ummi yang berhasil menyatukan kami sebagai saudara kandung, apalagi karena sistim keluarga Minangkabau yang menganut sistim garis keturunan dari ibu, maka kami utuh dalam satu keluarga. Tak ada yang merasa anak-kandung atau anak tiri maupun adik kandung maupun adik tiri.

Memang, aku tak begitu merasakan kedekatan, kehangatan, atau peran ayah tiriku terhadap aku dan udaku, namun aku tetap menghormati dia sebagai ayahku, karena dia juga tidak membeda-bedakan antara aku dan kakak-kakakku yang lain, walau terkadang aku merasakan ada sedikit perbedaan yang mungkin membuat sedikit jarak antara aku dengan dia.

Ini aku rasakan bila aku berada dikeluarga etekku disaat aku bermain dengan anaknya, aku sering merasakan perasaan lain bila aku melihat suami etekku yang kami panggil pak aciak itu membelai dan mengajak anaknya bercanda dan bermain. Ada rasa sepi, ada rasa iri, ada rasa kehilangan, ada rasa yang tak dapat kuungkapkan dengan kata-kata...!

Hal ini sering mengusik aku, bila aku sedang asyik bermain dengan Fitrizal-demikian nama sepupuku itu. Lalu ayahnya yang dia panggil papa, pulang kerja dan kelihatan oleh anaknya maka dia akan lari meninggalkan aku dan mendapatkan papanya yang kemudian menggendongnya.

Tinggallah aku sendirian, memperhatikan kemesraan dan kehangatan antara anak dan bapaknya. Keasyikan bermainku jadi hilang, aku hanya jadi diam termangu. Rasa sepipun merayap menyentuh diriku, terasa sekali aku ingin punya ayah yang bisa menggendong dan membelai aku serta mengajak bercanda, inilah yang tidak aku temukan pada ayah tiriku, yang mungkin membuat aku dan kakakku merasakan ada jarak diantara kami. Andai…….

Dalam kondisi seperti itu, ummi jadi dewa penolong. Dia akan mencari dan mendapatkan aku bila dia melihat Fitrizal pulang digendong papanya. Ummipun akan menggendong aku, dan membujuk dengan kata-kata yang menenteramkan hati. Sehingga akupun merasakan punya seseorang tempat aku berlabuh, yang mengerti aku, sehingga pelan-pelan akupun mendapatkan hidupku kembali.

Diluar kondisi yang tanpa ayah kandung, sebenarnya aku cukup bahagia dengan keluargaku, tentu bahagia yang kumaksud disini adalah kebahagian dan perasaan yang terungkap dari seorang anak berusia diantara tiga sampai empat tahun atau istilah sekarang disebut balita –dibawah lima tahun-.