Dikurung

Pakanbaru 1961

Setelah beberapa lama tinggal bersama kakakku anduang Ipah dan anduang Pidan di Pasar Bawah, aku dibawa oleh kakak yang laki-laki tuan Salim, ketempat tinggal yang juga sekalian tempat dia bekerja di Sukajadi.
Turun dari oplet, sebelum memasuki gang yang akan menuju rumah tuan Salim aku melihat kiri kanan. Disebelah kanan disamping tanah kosong aku melihat kantor polisi. Beberapa hari kemudian aku mengetahui namanya kantor resort polisi.

Dari mulut gang kami memasuki perkampungan, sebelah tanganku dipegang oleh tuan Salim, mungkin dia takut aku akan ketinggalan atau tersesat . Sebenarnya aku tak betah dibimbing seperti itu, karena aku terbiasa bebas kalau berjalan. Apalagi aku kadang setengah berlari mengikuti langkahnya yang panjang dibanding langkahku, pegangannya juga sering terasa keras ditanganku, sehingga aku merasa kesakitan. Tapi aku tak berani mengatakannya, karena aku merasa takut padanya.

Kami melewati jalan pintas, melewati kebun yang cukup luas. Dikebun itu aku melihat banyak pohon rambutan, juga pohon nangka. Di ujung kebun yang tak mempunyai pagar itu, kamipun sampai di tempat tinggal tuan Salim. Kami masuk, tempat tinggalnya itu berupa oloh, bengkel perabot rumah tangga yang sangat besar yang pernah kulihat. Dikampungku, oloh ini hanya berisi dua atau tiga bangku. Tapi disini, aku melihat begitu banyak bangku untuk para tukang yang bekerja disana.

Aku melihat para tukang yang berada disana, sebagian ada yang kukenal. Tapi lebih banyak lagi yang aku tidak tahu siapa mereka dan dimana kampungnya. Diantara yang aku kenal itu mereka lalu menyapaku, aku hanya tersenyum dan tertunduk, tak tahu harus menjawab apa. Paling-paling yang keluar dari mulutku hanyalah kata-kata ya, ya atau tidak. Kalau ada pertanyaan yang agak panjang atau mendetail aku hanya diam membisu

Aku lalu diajak menemui induk semang tuan Salim. Rumahnya terletak menyambung dibagian ujung oloh. Pintu masuk menuju ruang tamunya ada dua, pintu pertama langsung dari oloh, yang kedua pintu yang menghadap kehalaman depan.

Kami masuk dari pintu pertama, dari dalam oloh. Kami menunggu di ruang tamu, tak lama kemudian seseorang keluar dari ruang dalam, rupanya beliau adalah mak Linuh. Aku disuruh oleh tuan Salim untuk menyalaminya, sementara dia sendiri tidak. Mungkin karena dia tinggal disana dan setiap hari bertemu, tuan Salim tak merasa perlu ikut bersalaman dengan mak Linuh. Berselang tak lama kemudian etek Nurjana menyusul keluar diiringi putri kecilnya, bergabung mengobrol bersama kami.

Mak Linuh masih punya hubungan keluarga dengan kami, karena satu suku. Sebagai keponakan aku harus memanggil mamak atau mak pada dia, dan memanggil etek atau amai pada istrinya Nurjana. Tapi di kampung kami, isteri mamak ini juga sering dipanggil aciak, yang berasal dari kata kaciak atau kecil, yang menandakan bahwa sang mamak usianya lebih kecil dari usia umi kami.

Aku tidak tahu, sudah berapa lama mak Linuh merantau di kota Pakanbaru ini. Yang kudapati sekarang adalah, dia sudah mempunyai toko perabot di jalan Sumatera. Mempunyai oloh yang sangat besar dan mempekerjakan tukang-tukang, yang semuanya berasal dari Kamang Ilia, kampungku.

Mak Linuh ini mempunyai beberapa orang anak, tapi saat itu aku tak bertemu dengan mereka, kecuali satu orang, yaitu anaknya yang paling kecil, mungkin berbeda setahun atau dua tahun lebih kecil dari aku, dan tadi ikut ngobrol bersama kami. Sementara yang lainnya sudah bersekolah.

Selesai acara perkenalan dan mengobrol sebentar dan menanyakan keadaan kakakku Latifah dan Lifdar, tuan Salim mengajakku kembali kedalam oloh. Sementara mak Linuh pergi ke toko perabotnya di jalan Sumatera, yang aku sendiri belum tahu adanya dimana, karena belum pernah kesana.

Tuan Salim telah mengganti pakaiannya dengan pakaian kerja, sementara dia mempersiapkan alat-alat kerjanya, dia menyuruh aku main disekitar oloh. ” Jangan jauh-jauh nanti kamu hilang…!, katanya menakutiku.

Aku duduk ditangga dekat pintu yang menuju rumah mak Linuh. Sejak di kampung, duduk di anak tangga paling atas rumah gadang, yang dikampung dinamai kapalo janjang, adalah kesenanganku. Dari sana aku bebas mengamati orang-orang yang bekerja di halaman rumah maupun di dapur, atau kesibukan kakak-kakakku membantu umi menumbuk kopi dibawah pohon manggis. Tapi kesenanganku ini sering menjadi bencana bagiku.

Sepupuku Fitrizal, sering mendorongku dari belakang tempat dudukku, hingga aku jatuh terguling ke dasar tangga, disambut oleh batu tempat pijakan mencuci kaki dari air cibuak. Alhamdulillah, Tuhan masih melindungi aku. Aku tak pernah luka serius, setiap jatuh dari tangga yang tingginya melebihi tingginya orang dewasa itu! Entahlah kalau luka dalam, aku tidak tahu itu.

Begitu juga saat ini, dari tangga paling atas rumah mak Linuh, aku mengamati para tukang yang bekerja disana, maupun lingkungan kerja mereka.

Oloh tempat para tukang dan kakakku bekerja itu, sangat besar. Panjangnya mungkin sama dengan panjang rumah gadang kami di kampung, lebarnya malah mungkin lebih! Disekeliling oloh bagian dalam dipenuhi dengan perabotan yang sudah jadi maupun setengan jadi, serta yang baru berupa bentuk kerangka. Yang sudah jadi tinggal dibawa ketoko dan kemudian di cat dengan vernis disana, sebelum di jual kepada pembeli.

Aku memperhatikan tukang-tukang itu bekerja. Ada yang membuat lemari, kursi makan, meja makan dan kursi untuk diruang tamu, yang dalam bahasa dikampungku bernama sice. Kursi tamu berkerangka kayu, dengan alas duduk maupun maupun alas punggungnya dari rotan yang dianyam. Seperti yang saat itu dibuat oleh tuan Salim.

Bunyi pergesekan gergaji dengan kayu yang sedang di potong, bersahut-sahutan dengan ketam yang sedang menyerut kayu agar rata. Juga martil yang sedang memukul paku, membuat suasana di dalam oloh atau bengkel perabot itu gaduh dan berisik. Tapi aku yang sudah sering mendengarnya di kampung, tak merasa terganggu. Hanya saja bila ada tukang yang membutuhkan sesuatu, dia harus setengah berteriak meminta kepada orang yang ditujunya. Dan kadang benar-benar berteriak kalau mereka berjauhan.

Para tukang yang mangatam, atau menyerut kayu akan duduk diatas bangku kerja mereka. Bangku tempat mereka bekerja terbuat dari selembar papan tebal. Tinggi bangku ini tidak sama, bagian depan tingginya hanya setinggi lutut mereka, sedang bagian belakangnya setinggi pahanya. Tiang bangku ini juga sangat kuat, kakinya dibuat melebar kebawah. Dibagian depan kira-kira sehasta dari ujung bangku, dibuat ganjalan melebihi lebarnya bangku. Ditengah-tengahnya dipotong seperti jari telunjuk dan jari tengah yang ujungnya dibentangkan, seperti tangkai katapel penjepret tupai di pohon. Di setengah panjang bangku dibuat dua lubang sejajar. Kedalam lubang ini dimasukkan kayu, yang kegunaannya nanti untuk menjepit papan yang akan diketam di bagian sisi papan yang belum rata

Oloh ini juga mempunyai atap yang tinggi, melebihi tingginya atap rumah biasa. Atap yang tinggi ini dibuat sengaja, gunanya adalah untuk menyimpan kayu bahan baku yang sudah kering, agar tak basah bila hujang datang. Kayu ini didirikan di dalam oloh, agar tidak terlalu banyak mengambil tempat.

Dibagian tengah oloh, dibuat sebuah kamar yang menggantung dibawah atap. Kamar ini adalah tempat tinggalnya para tukang yang masih bujangan, maupun yang sudah berkeluarga, namun para istri maupun anak-anaknya tinggal di kampung. Untuk naik ke atas kamar ini dibuatlah sebuah tangga. Agar keberadaan tangga ini tidak menggangu para tukang yang sedang bekerja dibawahnya. Bila semua penghuninya telah turun, maka ujung tangga sebelah bawah kemudian di angkat dan di gantungkan pada sebuah kawat yang dikaitkan di kayu kasau bangunan oloh.

Bosan duduk di tangga, aku turun dan masuk kedalam oloh. Melihat kesibukan para tukang yang sedang bekerja itu lebih dekat. Aku berpindah-pindah dari bangku yang satu ke bangku yang lain. Setiap bangku diisi satu tukang, dan setiap tukang membuat perabot yang berbeda. Tidak setiap tukang bisa mengerjakan semua pesanan, tergantung pengalamam dan masa kerja masing-masing tukang. Tukang-tukang yang mempunyai masa kerja yang lama dan berpengalaman, dapat dipastikan kebagian pekerjaan membuat perabot yang proses pembuatannya lebih sulit dan lebih lama. Dan tentu juga dengan upah yang lebih tinggi. Tuan salim tiap sebentar melihat dimana aku berada, dan menegor aku agar tak terlalu dekat dengan tukang-tukang yang sedang bekerja itu, agar mereka tak terganggu.

Karena asyiknya aku memperhatikan mereka bekerja tanpa berkata-kata atau bertanya, aku sering dikerjai oleh para tukang-tukang itu. Adakalanya mereka menjatuh kaleng berisi paku di belakangku, sehingga aku terkejut mendengar bunyinya yang berdentang berisik. Tukang yang mengerjai aku lalu tertawa melihat rona wajahku, diiringi oleh tukang-tukang yang lain.

Setelah tinggal beberapa hari di sana, aku mulai bosan dengan lingkungan oloh atau bengkel perabot itu. Aku mulai bermain-main diluar oloh. Awalnya hanya dihalaman, sementara tuan Salim tetap memperingati aku, agar tak bermain jauh-jauh. Besoknya, dari hanya sekitar halaman, aku kemudian terus ke kebun disekitar oloh.

Kebun itu cukup luas, lebih luas dari kebun kami dikampung. Tapi tanaman yang tumbuh dikebun itu, tidak sebanyak tanaman yang tumbuh di kebun kami. Aku melihat beberapa pohon rambutan, yang saat itu tidak berbuah dan pohon nangka. Dibanding rambutan, pohon nangka ini lebih banyak dan lebih merata. Pohonnyapun tidak terlalu tinggi seperti pohon nangka yang ada di kebun disamping rumah gadang di kampungku.

Yang membuat aku senang bermain di kebun itu, adalah tanahnya yang lapang dan rumputnya yang jarang. Tidak seperti rumput yang tumbuh di kebun kami, yang begitu banyak sehingga kebun kami seperti semak belukar. Tanah yang tidak ditumbuhi rumput itu seperti tertutup pasir, aku tidak tahu apakah ini pasir asli yang ada disini atau ada yang menyebarkan pasir itu di kebun ini. Keasyikanku bermain di kebun ini, berbuah sentilan di kupingku oleh tuan Salim, karena aku terlambat pulang!.

Ketakutanku akan kemarahan tuan Salim, hanya bertahan dua hari. Kejenuhanku pada situasi oloh yang selalu berisik dan hiruk pikuk dengan suara peralatan kerja yang tak ada habisnya, membuat aku tak betah. Bolak balik dari oloh ke ruang tamu rumah mak Linuh serta halaman rumah membuat aku bosan.

Panggilan kebun dengan pohon nangka dan rambutan serta suasana yang tenang, sambil berayun atau memanjat pohon rambutan yang dahannya rendah, dan kemudian duduk diatasnya, membuat aku lupa dengan kupingku yang kena sentil beberapa hari sbelumnya. Aku kembali masuk kebun dan bermain dibawah pohon nangka, mencoba menjangkau putiknya yang lebih tinggi dariku. Kemudian berpindah kepohon rambutan, kali ini aku tak memanjatnya. Telingaku mendengar suara klakson kendaraan yang melintas di jalan raya.

Perhatianku kini beralih, aku mengikuti jalan pintas yang aku lewati bersama tuan Salim ketika pertama kali datang kesini. Tak berapa lama berjalan, akupun sampai di jalan raya. Aku memperhatikan kendaraan yang lewat. Panas matahari menjelang siang mulai membakar tubuhku, keringat mulai membasahi tubuhku, begitu juga mukaku. Karena capek berdiri, aku lalu mencari tempat berteduh. Dari mulut gang aku belok kekiri, berjalan kearah kantor polisi.

Sampai digerbang kantor polisi, aku berhenti. Sambil bersandar di tiang gapura, aku melihat kearah kantor polisi itu, melihat para polisi yang sedang bekerja. Sesekali aku dilewati oleh polisi yang baru datang,maupun yang mau keluar kantornya.

Sejak aku pernah diajak umi ke kamp tahanan tentara pusat dan bermalam disana, sewaktu terjadi pergolakan PRRI, aku tak pernah takut lagi bertemu dengan polisi atau tentara. Padahal, sewaktu para tentara itu pertama kali datang kerumah kami dengan seragam lengkapnya, lalu naik kerumah gadang sambil memanggul senjata dan tanpa melepas sepatu lars mereka, seisi rumah diam dan menggigil ketakutan, termasuk aku!.

Suara beduk sebagai pertanda masuknya waktu shalat zuhur, menyadarkan aku dari keasyikan menonton polisi-polisi yang memakai seragam itu. Aku lalu beranjak dari sana, berjalan pulang ke oloh. Perutku sudah merasa lapar, badanku penuh keringat disengat matahari siang. Rasa hauspun menyertai langkahku.

Semakin dekat ke oloh, perasaanku makin tak tenang, wajah tuan Salim membayangiku. Benar saja, mungkin ada yang melihatku, lalu menyampaikannya pada tuan Salim. Karena baru saja aku mendekat ke halaman oloh, tuan Salim telah menyongsong aku dengan wajah penuh kemarahan. Aku hanya menundukkan kepalaku, tak berani menatapnya. Begitu dia sampai didekatku, tangannya langsung menyambar telingaku dan memelintirnya. Aku meringis kesakitan, tanpa melepaskan tangannya, aku digiring masuk oloh. Para tukang yang sedang istirahat makan siang, semuanya melihat kepada kami.

Kami langsung menuju tangga kamar gantung, setelah sampai di tangga barulah telingaku dilepaskannya. Aku disuruh naik, dia mengiringi dari bawah, berjaga-jaga kalau aku terpeleset dan jatuh. Setelah aku sampai di dalam kamar, dia turun lagi. Aku hanya terdiam di dalam kamar, aku meraba telingaku, terasa sakit, dan membuat kepalaku agak pusing.

Tak lama kemudian dia naik lagi, membawa sepiring nasi dan air minum. Setelah meletakkannya di dekat aku duduk dan menyuruh aku makan, dia turun lagi. Begitu sampai di bawah, dia mengangkat ujung tangga, dan menggantungkannya di tempat biasa.

Aku dikurung!

Lama aku terdiam, tanpa menyentuh nasi yang diantarkan tuan Salim. Rasa sakit di telingaku menghilangkan rasa lapar dan hausku. Pikiranku melayang jauh, nun disana, kampung halamanku. Wajah umipun terbayang. Wajah yang telah meninggalkan kami beberapa tahun yang lalu. Wajah yang lembut penuh kasih sayang. Bola mataku terasa panas, tanpa kusadari beberapa tetes air mata membasahi pipiku. Aku lalu merebahkan badanku, berbaring miring menghadap dinding. Sambil memeluk bantal, seakan aku memeluk umi. Terasa umi begitu dekat denganku……