Mencari Kakak

Sejak aku kembali dari Pakan Baru, aku tak pernah lagi bertemu dengan kakak-kakakku Latifah dan Lifdar. Itu berarti telah sekitar lima tahun kami berpisah.


Kedua kakakku itu punya panggilan kesayangan diwaktu kecil, yaitu; anduang Ipah dan anduang Pidan. Tapi keadaan telah mencerai beraikan kami, mereka berjuang mempertahankan kehidupannya masing-masing, dengan segenap kemampuan yang mereka punyai. Akupun berjuang mempertahankan kehidupanku, dengan berpindah-pindah dari keluarga ibu maupun keluarga ayah, hingga ke Panti Asuhan, dan kini kembali kekampung.

Libur sekolah telah tiba. Dalam kesendirianku bermain disekitar rumah, aku teringat kepada kedua anduang-ku itu. Anduang Ipah aku tidak tahu dimana kini dia berada setelah menikah, selain kota tempat tinggalnya, Pontianak . Karena sejak perpisahan kami dulu, tak pernah ada lagi komunikasi diantara kami. Anduang Pidan, kudengar pembicaraan diantara keluarga ibuku, dia juga sudah menikah, dan kini tinggal dikampung suaminya di Padang Tarok.

Padang Tarok, sebuah Nagari yang terletak antara Bukittinggi dan Payakumbuh, sekitar 20 kilometer dari Bukittingi, masuk dalam daerah Kabupaten Agam. Aku tahu nagari ini, karena aku pernah melihatnya dari atas kereta api waktu berhenti di stasiun Padang Tarok. Waktu itu aku dalam perjalanan pulang dari Panti Asuhan Muhammadiyah Payakumbuh.

Aku lalu mengatakan keinginanku kepada amai Uda, bahwa aku ingin pergi ke Padang Tarok mengunjungi anduang Pidan. Beliau mengizinkan aku pergi dan membekali aku uang Rp. 25,-

Tanpa pikir panjang lagi aku segera mengambil kain sarung, satu-satunya perlengkapanku. Hatiku begitu bahagia, aku akan segera bertemu dengan kakakku yang telah begitu lama kurindukan.

Hari masih pagi, belum jam sepuluh. Aku berangkat, berjalan kaki dari rumahku di dusun Buah Baurai. Aku bilang itu rumahku, karena memang satu-satunya yang menunggui rumah itu sekarang adalah aku, setelah umi pergi dibawa dan dibunuh oleh tentara pusat, lalu disusul dengan meninggalnya nenekku yang sudah begitu tua dan sakit-sakitan, Etekku sekeluarga juga sudah tinggal dirumahnya sendiri, yang dibangun lebih dekat kejalan besar, disudut rumah gadang. Semua kakak-kakakku perempuan maupun yang laki-laki juga telah pergi merantau dengan nasibnya masing-masing. Tinggallah aku yang menunggui rumah gadang peninggalan orang tua kami itu, sejak aku pulang kampung karena keluar dari Panti Asuhan Muhammadiyah Payakumbuh tahun 1965, sewaktu aku masih duduk di kelas dua Sekolah Dasar. Aku menunggui rumah itu hanya siang hari. Malam harinya, sebagaimana umumnya anak laki-laki Minangkabau, tidurnya di surau bersama teman-teman sebaya yang sama-sama belajar mengaji di surau tersebut.

Aku melewati jalan yang setiap hari aku tempuh menuju sekolahku, dari rumah jalan menurun menuju Ngalau Rangkak, persawahan yang membentang dikiri kanan jalan, lalu mendaki lagi melewati dusun Koto Sariak yang tak berpenghuni. Melewati dua tikungan dusun Tanjuang Kudu, sampailah aku di sekolah dasar Ilia Lamo tempat aku belajar menuntut ilmu, itu juga berarti aku telah berjalan sekitar satu kilometer.

Disudut halaman sekolah terdapat simpang tiga, aku mengambil jalan kekiri yang menurun, memasuki jorong Koto Nan Gadang, tapi penduduk kampung lebih sering menyebutnya Rumah Tinggi. Lepas dari turunan sebelah kanan jalan terdapat Masjid Jamik Taqwa, tempat berkumpulnya penduduk jorong Ladang Darek, Binu dan Koto Nan Gadang untuk melaksanakan shalat Jum’at. Setelah melewati masjid jalan kembali mendaki, pendakian itu berakhir simpang Gobah. Kekiri aku akan sampai di Jorong Binu, di kaki Bukit Barisan yang membujur dari utara hingga ke selatan pulau Sumatera. Aku mengambil jalan kearah kanan, melalui dusun Rumah Gadang dan kemudian bersambung dengan dusun Balai Panjang kampung ayah tiriku, atau ayah dari kak Inan, Ipah, Pidan dan tuan Salim.

Lewat sedikit dari Balai Panjang, terdapat persimpangan empat jurusan. Persimpangan ini dinamai Simpang Katapiang, karena persis di sudut tenggara persimpangan tersebut tumbuh satu batang pohon Ketaping yang menjulang tinggi, yang usianya tidak diketahui dengan pasti, yang pasti sudah puluhan tahun, atau mungkin juga sudah diatas seratus tahun, wallahu’alam. Pohon ketaping ini beredar kabar ditunggui oleh mahluk halus yang sering keluar pada malam hari, yang menyerupai tentara Belanda sedang berbaris. Dan konon ceritanya hantu tentara Belanda ini adalah tentara Belanda yang tewas menghadapi perlawanan rakyat Kamang dalam perang Kamang yang mencapai puncaknya tanggal 15 Juni 1908.

Simpang Katapiang kalau malam gelap, sepi dan menyeramkan, karena pohon-pohon yang ada disekitarnya juga tumbuh subur dan berdaun rimbun. Rumah penduduk terdekat berjarak sekitar 200 meter, dari persimpangan. Tidak begitu jauh sebenarnya, tapi hal ini tidak mengurangi keseraman di sekitarnya, karena rumah penduduk setempat juga tidak punya penerangan yang memadai.

Penerangan mereka hanya lampu dinding yang cahayanya hanya cukup untuk menerangi ruangan dalam rumah mereka. Memang ada diantara penduduk yang memasang lampu sitarongkeng, nama julukan masyarakat setempat untuk lampu Petromax yang cahayanya lebih terang. Tapi itu hanya untuk beberapa jam, karena begitu jarum jam sudah menunjukkan angka delapan lebih beberapa menit, lampu tersebut akan dimatikan, dan yang menyala sampai pagi adalah lampu dinding, yang kalau saat tidur telah tiba, cahayanya dibuat seredup mungkin, sekadar mempertahankan lampu itu hidup, yang bila tuan rumah terbangun tengah malam, tidak repot mencari korek api. Bahkan adakalanya lampu itu dimatikan, sehingga keadaan rumah gelap total. Untuk keperluan darurat, mereka meletakkan lampu senter didekat tempat tidur atau di bawah bantal. Lampu sitarongkeng akan menyala sampai pagi, bila tuan rumah baralek. Atau mendapat musibah, misalnya ada anggota keluarga yang meninggal yang belum dikuburkan.

Simpang Katapiang ini posisinya hampir persis mengikuti arah mata angin. Aku datang dari utara, simpang kekiri ketimur terdapat dusun Tarok. Bila diteruskan sekitar dua kilometer lagi, kita akan sampai di jorong Guguk Rang Pisang, kampung bako-ku atau keluarga almarhum ayahku.

Bila kita mengambil jalan kearah sebaliknya, ke barat. Dusun pertama yang dilewati adalah dusun Luak Anyia. Bila kita menempuh jarak yang sama kebarat, seperti ke Guguk Rang Pisang, kita akan sampai di Jalan Basimpang, yang disana membentang jalan lurus dari Pintu Koto yang berujung di utara, di Tanah Panyurek di kaki Gunuang Aru, Bukit Barisan, layaknya jalan arteri yang membelah dua nagari Kamang Ilia.

Tapi saat ini aku tidak akan menempuh salah satu diantaranya. Karena aku akan berjalan lurus kearah selatan. Menelusuri jalan menurun yang oleh penduduk sekitar dinamai Penurunan Gunjo. Melewati persawahan dikiri kanan jalan dan kemudian sampai di dusun Koto Tangah, terus berjalan dan sampai di simpang tiga Kabun Alah. Disudut kanan jalan ini terdapat sebuah heuler tempat penggilingan padi. Aku sempat beberapa kali diajak oleh kakakku kesini, diboncengi gerobak berisi karung padi yang akan digiling untuk mendapatkan berasnya.

Aku belok kekiri, karena bila kekanan melewati Padang Sawah, aku akan sampai di Pintu Koto, sedang tujuanku bukan kesana.

Terus berjalan, aku melewati perbatasan nagari Kamang Ilia dengan nagari Bungo Koto Tuo. Kampung pertama yang aku jelang setelah melewati hamparan persawahan adalah Jorong Kampung Panjang, disini aku punya seorang teman yang nama panggilannya sama denganku, Mi. Nama lengkapnya aku tidak tahu, aku mengenalnya karena orang tuanya punya sebidang sawah di Alahan, tidak begitu jauh dari sawah keluarga kami. Rumahnya tidak begitu jauh dari simpang Kampung Panjang yang aku lewati. Ada satu kisah persahabatanku dengannya yang juga melibatkan keluarganya, nanti akan kuceritakan di butir yang lain.

Aku lewati simpang Kampung Panjang dengan kenangan yang masih bergelayut di mata dan hatiku, hingga aku sampai di Sekolah Dasar Negeri Bungo Koto Tuo yang terletak di kanan jalan. Jaraknya dari simpang Kampung Panjang hanya sekitar tigaratus meter. Kepala sekolah ini adalah Bustami Sutan Mangkuto, suami dari Azizah anak mai Uda, aku memanggilnya tuan Tami, dalam aturan adat Minangkabau dia adalah sumando bagiku. Pernah suatu ketika, tuan Tami tidak bisa masuk sekolah karena kesehatannya agak terganggu. Aku lalu disuruh mengantarkan surat ke sekolah ini.

Panas semakin terik, tapi harapan akan segera bertemu anduang Pidan, menepis rasa panas ataupun capek. Telah terbayang rasa bahagia aku dapat bertemu dengan salah seorang kakakku, yang telah sekian lama tak bertemu. Sebenarnya aku ingin bertemu mereka semua, tapi bagaimana? Aku tidak tahu dimana mereka berada, dimana rantau yang mereka jelang, dimana kota tempat mereka tinggal.

Walaupun aku pernah mendengar nama kota tempat mereka berada, seperti anduang Ipah yang di Pontianak, kak Inan di Padang, Tuan Taslim di Tembilahan dan uda Des yang menyusul anduang Ipah ke Pontianak, tapi bagaimana aku akan kesana menemui mereka? Aku baru kelas empat sekolah dasar, pengetahuan maupun pengalamanku masih terlalu sedikit untuk dapat pergi menemui mereka sendirian. Kecuali anduang Pidan ini, dialah kakakku yang kini rantaunya paling dekat. Dan akupun telah tahu jalan mana yang akan aku tempuh. Hasil dari pengalamanku tinggal di Panti Asuhan Muhammadiyah Payakumbuh, pulang kampung naik kereta api, dan rajin membaca setiap stasiun yang aku lewati.

Baringin, adalah kampung berikutnya yang aku lewati setelah Kampung Panjang. Kampung ini dinamai Baringin, karena ada sebatang pohon Beringin yang tumbuh di tengah perkampungan.

Dari Baringin jalan menurun, lalu mendatar membelah persawahan. Sebelum mendaki lagi memasuki perkampungan, aku melewai jembatan yang membentang diatas agam, dasarnya cukup dalam dan airnya mengalir cukup deras, membuat aku ngeri bila melihat kebawah. Air agam ini juga air yang sama yang melewati agam dikampungku. Dan dia akan terus mengalir hingga sampai ke Padang Tarok, dan terus sampai ke proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Agam, yang lokasinya tidak begitu jauh dari nagari Padang Tarok.

Melewati jembatan ini berarti aku juga telah meninggalkan nagari Bungo Koto Tuo, dan memasuki nagari Koto Baru, dimana disini terdapat sebuah pasar desa yang ramainya setiap hari Minggu atau Ahad, yang kemudian menjadi nama pasar ini Pakan Akadatau Ahad.

Dikampungku, sejak kecil kami telah punya pameo atau julukan tentang penduduk nagari disekitar Kamang. Peduduk Koto Baru ini punya julukan: Tukang apa. Dan kini aku telah melihat buktinya. Disepanjang jalan yang kulalui, banyak terdapat bengkel Tukang Apa tersebut. Tukang Apa sebutan kami untuk pandai besi. Mereka membuat perlengkapan rumah tangga seperti pisau, ladiang alias golok, sabit, tabak atau cangkul, bajak, ladam atau sepatu kuda dan perlengkapan dari besi lainnya. Dari jauh bau asap batu bara yang dipakai sebagai bahan bakar bengkel telah tercium. Hasil produksi mereka disamping dibawa ke kota Bukittinggi, ada juga yang dijual di pakan yang mempunyai hari pasar yang berbeda di setiap nagari.

Aku sebenarnya ingin mampir, melihat bagaimana Tukang Apa itu bekerja, tapi lagi-lagi bayangan kakakku lebih kuat menarikku agar lebih cepat berjalan, dan segera bertemu dengannya. Kutinggalkan nagari Koto Baru dan kumasuki nagari Panampuang.

Pemandangan pertama yang aku temui adalah sawah yang terbentang sangat luas. Karena begitu luasnya, seakan-akan ujungnya berada dikaki gunung Merapi yang berdiri begitu kokohnya dikejauhan, bergandengan dengan Gunung Singgalang disebelah kanannya.

Belum begitu jauh aku berjalan mengharungi lautan persawahan ini, aku melewati sebuah masjid di sebelah kanan jalan. Masjid ini terkenal dengan panggilan Surau Labuah. Masjid ini sering mengadakan pengajian mingguan. Pengunjungnya tidak hanya warga sekitar, tapi juga dari nagari lain. Seperti keluarga ayahku, Inyiak aki, etek, angah dan tuo, sering mengikuti pengajian disini, juga beberapa penduduk Guguk Rang Pisang lainnya.

Aku terus melangkah meneruskan perjalanan. Keringat telah membasahai seluruh tubuhku yang ditimpa teriknya matahari siang. Tapi aku tak menghiraukannya, rasa rindu dan harapan untuk bertemu dengan anduang Pidan, mengalahkan panasnya matahari dan penatnya berjalan, serta perihnya telapak kakiku yang berjalan tanpa alas.

Panampuang kulewati, tibalah aku di Nagari Biaro Gadang. Dari jauh aku telah melihat stoplat kereta api Biaro, yang terletak diseberang jalan raya Bukit Tinggi – Payakumbuh. Akupun melihat mobil-mobil yang melintas dijalan raya yang telah beraspal mulus itu. Berbeda dengan jalan dikampungku yang masih jalan tanah, maupun jalan yang baru saja kulewati yang sebagian diantaranya telah ditimbuni dengan batu kerikil tanpa aspal, yang membuat kakiku sakit bila terpijak batu yang runcing. Dari masjid mulai terdengar suara azan zhuhur.

Akhirnya aku sampai juga di Stoplat Kereta Api Biaro. Inilah akhir perjalananku berjalan kaki sejauh tujuh kilometer dari kampungku. Perjalananku selanjutnya akan memakai jasa kereta api, yang dikampung sering di panggil Mak Itam.

Setelah menyeberang jalan raya beraspal, yang panas ditimpa matahari, sehingga aku harus berlari kencang menyeberanginya agar telapak kakiku tak melepuh kepanasan. Aku langsung menuju loket penjualan karcis. Jantungku berdebar, takut kalau uangku tidak cukup untuk membeli karcis. Uangku hanya Rp.25,- pemberian mai Uda, sewaktu aku pamit tadi pagi.

Dengan rasa harap-harap cemas, aku mendekati loket karcis. Semakin dekat ke loket jantungku semakin keras berdebar. Lalu, langkahku terhenti. Timbul rasa takut, aku tertunduk melihat uang yang aku pegang, bagaimana kalau…. bagaimana kalau…. bagaimana kalau….. Mataku terasa panas, ada yang tergenang disana yang hampir menetes.

"Kama ang, Jang?

Suara yang datang dari arah dalam loket karcis itu menyadarkan aku. Aku melihat bapak yang berada disana itu juga melihat padaku, sambil tertunduk dengan rasa was-was aku lalu mendekati pintu loket yang tingginya sebatas hidungku.

"Ka Padang Tarok, Pak! Jawabku sambil menjulurkan tangan menyerahkan uang yang ada di genggamanku padanya. Aku tak berani melihat kedalam loket menatap bapak penjual karcis kereta itu. Takut, kalau, kalau….

Tak lama kemudian tangan bapak penjual karcis itu terjulur lagi.

"Jo Sia wa ang? Tanyanya sambil menyerahkan selembar karcis, dan sejumlah uang kembalian padaku.

"Surang sen, pak...! Jawabku sambil mengambil karcis dan uang kembalian.

Bercampur perasaan heran, senang dan rasa tak yakin, aku lalu mengamati karcis kereta api yang ukurannya sebesar kartu koa yang sering dimainkan di oloh, tempat tukang perabot dikampungku menghabiskan waktu, setelah seharian penuh bekerja membuat kurisi sice.

Karcisnya terbuat dari kertas tebal berwarna hijau, diatasnya tertulis PNKA lalu baris bawahnya angka-angka yang aku tidak tahu artinya. Kebawahnya lagi tulisan Kelas 3, selain iu juga tertulis; Anak-Anak, dan harga karcis tersebut. Juga tertulis; Biaro – Padang Tarok.

Setelah puas melihat dan membolak-balik karcis itu, aku lalu teringat aku belum lagi shalat zuhur. Aku lalu kembali keloket, dan kini aku tidak lagi takut melihat wajah bapak penjual karcis itu dan menanyakan masih lamakah kereta akan datang, ketika dia menjawab masih lama, aku lalu cepat-cepat berbalik setelah mengucapkan terima kasih.

Aku kembali berlari melintasi jalan raya di depan stoplat itu. Setelah sampai diseberang, baru aku berjalan biasa tapi tetap dengan langkah yang cepat, menuju masjid yang tidak jauh dari persimpangan jalan arah ke kampungku, yang berada disebelah kiri jalan.

Sampai di masjid aku bersuci dan kemudian menyiram rambutku yang penuh debu bercampur keringat, terus ke tengkuk dan leherku yang berdaki. Kakiku yang masih memakai celana pendek juga kotor dan berdebu, ikut dibersihkan. Setelah itu baru aku berwudhuk, dan lalu shalat zuhur sendirian didalam masjid, memakai kain sarung yang selalu kulilitkan dan kuikatkan di pinggang, bila aku berjalan jauh.

Setelah selesai shalat dan berdoa, dari hafalan yang aku dapatkan di surau. Aku kembali ke stoplat. Kini badanku sedikit lebih segar, keringat di badanku juga sudah mulai kering. Yang terasa sekarang adalah: lapar.

Aku memasukkan tangan ke kantong celanaku. Merasakan dan dalam hati menghitung uang yang tersisa dari pembelian karcis. Sambil tetap menimang-nimang uang yang didalam kantong celanaku, aku berfikir. Kalau aku makan diwarung nasi yang ada dekat stoplat, aku takut uang ini tidak cukup. Aku lalu mendekati lapau yang berada dalam lingkungan stoplat. Melihat apa yang dapat kubeli dan kumakan dari uang yang ada. Akhirnya aku memilih dan mengambil sebuah godok setelah menanyakan harganya, lalu membayarnya. Godok yang dibuat dari ubi kayu yang di parut itupun aku makan, itu cukuplah untuk mengganjal perutku agar idak kena penyakit jumbalang lapa! dan untungnya uangku masih ada sisanya.

Belum lagi godok yang ku makan habis, kereta api telah datang. Sebelum memasuki stoplat, masinis yang berada di lokomotifnya membunyikan suitan kereta apinya yang berbunyi nyaring; cuiiiit…….,! cuiiiiit…..!

Setelah kereta berhenti, para penumpangpun naik. Karena penumpang turun dan naik berebut di dekat peron, aku lalu lari kearah rangkaian kereta sebelah belakang. Yang tidak ada penumpang naik dan turunnya. Tapi ketika mencoba untuk menaiki tangga kereta aku kesulitan, karena tangganya cukup tinggi. Untung saja seorang penumpang yang berada dekat tangga membantu menarik tanganku keatas, sampai kakiku dapat menginjak tangga kereta. Dan kemudian masuk kedalam gerbong dan mencari tempat duduk dibangku panjang yang membelakang ke jendela. Tapi semua bangku pinggir telah penuh, tinggal bangku panjang yang berada ditengah gerbong, dan tanpa sandaran punggung.

Perjalananku saat ini adalah perjalananku yang pertama naik kereta api, setelah yang terakhir dua tahun yang lalu, ketika aku pulang dari Payakumbuh. Tapi aku masih bisa mengingat dengan jelas, setiap stasiun maupun stoplat tempat kereta ini berhenti disepanjang jalur Bukittinggi – Payakumbuh yang jaraknya 33 kilometer ini. Berangkat dari stasiun Bukittinggi, stoplat pertama tempat kereta berhenti adalah Aua Birugo yang masih berada didalam kota Bukittingi. Perjalanan yang sebenarnya baru dimulai dari sini, lalu stoplat Tanjung Alam dan Biaro. Setelah stoplat Biaro baru stasiun Baso. Di Stasiun Baso ini terdapat rel Ganda, disini bertemu kereta yang dari Bukittinggi dan yang dari Payakumbuh. Setelah stasiun Baso kereta akan melanjutkan perjalanan dan kemudian berhenti di Stoplat Ujung Guguk. Di stoplat Ujung Guguk ini terdapat sesuatu yang unik. Yaitu stoplat ini berlokasi di penurunan panjang dari Stasiun Baso sampai ke pinggiran Ujung Guguk yang berbatasan dengan sawah. Untuk membantu pendakian kereta yang datang dari Payakumbuh agar tidak mundur ketika menanjak di pendakian yang panjang ini, ditengah terdapat rel khusus yang yang bergerigi, rel yang bergerigi inilah yang menjadi tumpuan lokomotif ketika hendak menanjak.

Setelah stoplat Ujung Guguk ini, baru memasuki stoplat Padang Tarok, kemudian stoplat Simpang, terus Piladang dan berakhir di Stasiun Payakumbuh.

Asyik mengenang dan menikmati perjalanan naik kereta, tanpa terasa kereta telah memasuki Stasiun Baso. Aku masih ingat, di stasiun ini lokomotif akan “minum” dari pipa dekat tanki air diujung stasiun. Pipa ini menjulur beberapa meter, sehingga ujungnya yang mencorong kebawah persis di ketel lokomotif. Bila ketelnya telah penuh, pipa ini dapat diputar kesamping keluar jalur kereta, sehingga tidak tertabrak oleh lokomotif maupun rangkaian kereta yang berjalan.

Begitu juga, bila dari Bukittinggi kereta mendorong gerbong dari belakang, maka di stasiun Baso ini lokomotif akan pindah kedepan, kemudian menarik rangkaian kereta yang berada di belakangnya menuju Payakumbuh.

Setelah berhenti sekitar setengah jam, kereta kembali berangkat. Aku yang tadi berada di gerbong paling belakang, pindah kegerbong paling depan, dan mendapatkan tempat duduk yang kuidamkan, di pinggir dekat jendela. Posisi dudukkupun berubah, tidak duduk menyender dengan kaki terjuntai, saling berhadapan dengan penumpang di depanku. Tapi aku naik keatas bangku, bersimpuh dan mengganjal lututku dengan kain sarung yang dilipat tebal, agar lututku tidak sakit beradu dengan kayu alas bangku. Aku melihat keluar, menikmati pemandangan alam daerah yang dilewati kereta. Aku baru mengubah posisi dudukku ketika kondektur memeriksa karcis penumpang. Setelah kondektur lewat, dan karcisku telah dilubangi dengan alatnya yang seperti tang, aku kembali duduk seperti semula, menikmati alam yang ada sejauh mata memandang.

Begitu memasuki hamparan persawahan yang begitu luas, setelah melewati stoplat Ujung Guguk, akupun merasa perjalananku dengan kereta api ini juga akan segera berakhir, karena didepan sana, sekitar empat atau lima kilometer lagi adalah stoplat Padang Tarok, dimana nanti aku akan turun, dan memulai pencarian terhadap kakakku.

Dudukku sudah tidak tenang lagi, aku tak bisa lagi menikmati pemandangan indah persawahan luas, disepanjang jalan labuah luruih ini. Rasa taragak ingin bertemu, bercampur dengan kecemasan dan rasa was-was. Kalau aku tidak bertemu dengannya, aku harus kembali pulang. Dan itu berarti aku harus menunggu kereta terakhir yang berangkat jam 4 sore dari Payakumbuh, dan paling cepat aku sampai di Biaro jam 6 atau pas waktu magrib, dilanjutkan dengan berjalan kaki menempuh kegelapan malam sejauh tujuh kilometer menuju kampungku, tanpa penerangan sepanjang jalan, sendiri. Sedangkan aku sendiri sangat takut akan hantu yang gentayangan di kegelapan malam. Hii…. Seram!.

Karena hatiku sudah tidak tenang, dan pikiran mulai agak kalut membayangkan apa yang akan terjadi bila aku tak bertemu dengan kakakku, aku tak sadar kalau kereta api telah sampai dan berhenti di stoplat Padang Tarok. Aku terkejut dan segera berlari menuju pintu keluar dan tangga menuju peron stasiun. Ketika aku sampai di tangga kereta telah mulai bergerak hendak berangkat lagi. Untunglah aku berada diatas peron, sehingga aku tak perlu meloncat tinggi dari tangga kereta, seperti aku naik di Biaro tadi siang. Aku masih bisa turun dengan baik tanpa terjatuh, walau keseimbangan badanku agak sedikit goyang. Aku lalu berdiri menenangkan diri, dan menunggu kereta berjalan menjauh meninggalkan stasiun yang telah kosong, karena penumpang yang telah turun duluan langsung meninggalkan stasiun tanpa menunggu kereta berangkat.

Ketika kereta telah benar-benar keluar dan menjauh meninggalkan stasiun, aku melihat kesekeliling. Tak ada lagi siapa-siapa. Petugas stasiunpun tak lagi terlihat.

Aku menelusuri rel kearah berlawanan, meninggalkan stasiun menuju deretan rumah dipinggir jalan raya Bukittinggi – Payakumbuh yang bersisian dengan rel kereta api, rumah yang juga berfungsi sebagai warung. Aku lalu mendekati salah satu warung, dan menanyakan nama kakakku Lifdar. Diantara pembeli maupun yang punya warung lalu saling bertanya. Tapi semuanya mengatakan tidak tahu dan tidak kenal dengan nama yang kusebutkan.

Apa yang kucemaskan diatas kereta api tadi mulai membayang. Aku melangkah meninggalkan mereka dibawah tatapan yang saling bertanya-tanya. Beberapa rumah dari warung tadi aku bertanya lagi di sebuah warung kopi, tapi mereka juga tidak tahu dengan nama yang kusebutkan. Tapi salah seorang berinisiatif menanyakan kampung asalku, ketika aku menyebutkan Kamang, salah seorang diantaranya seperti mengingat sesuatu. Dan dia lalu melemparkan pertanyaan kepada yang lain.

"Kok Idan bini Iajih, ndak? Mereka lalu saling pandang lagi, salah seorang lalu bertanya lagi padaku: "Sia namo laki kakak wak ang tu?

Salah seorang yang berada diwarung pertama tadi, rupanya mengikutiku, dan kemudian ikut bergabung.

"Ambo alun tau lai, sabab inyo manikah dulu di Pakanbaru...!

Mendengar nama kota Pakanbaru, laki-laki yang pertama menjawab tadi, semakin yakin akan dugaannya. Dia lalu minta tolong kepada salah seorang yang termuda diantara mereka yang berada diwarung itu, mengantarkan aku kerumah orang yang disebutkannya tadi. Diiringi bermacam komentar, yang diantaranya mengatakan ketegaan orang tua yang melepaskan anak kecil seperti aku berjalan sendiri. Ada juga yang memuji keberanianku melakukan perjalanan pencarian ini. Serta komentar lain yang tak lagi jelas kudengar, karena aku semakin jauh dari mereka.

Aku berjalan mengiringi sipengantar dari belakang. Kami berjalan searah dengan jalan aku keluar dari stasiun tadi, melawan arah datangnya kereta api, dipinggir jalan raya Bukittinggi - Payakumbuh. Sampai dipersimpangan, sekitar duaratus meter dari stasiun. Kami belok kiri melintasi rel kereta api, memasuki jalan yang menuju perkampungan. Tak jauh dari situ, disebelah kanan jalan raya, aku melihat agam, yang airnya mengalir menuju proyek PLTA Batang Agam.

Setelah melewati rel, dia mengajak aku berjalan berdampingan. Jalan yang kami lewati cukup lebar, walaupun tidak beraspal, dan hanya ditutupi pasir, tapi bisa dilewati mobil. Dikiri kanan jalan adalah persawahan yang diselingi oleh satu dua rumah. Sambil mengobrol dia menanyakan kisah perjalananku, dia lalu menunjuk sebuah rumah ditengah persawahan, yang disampingnya ada tabek ikan, dan mengatakan itu adalah rumah orang tua Azis suami kakakku. Aku melihat sekilas rumah yang ditunjuknya itu, aku tak menjawab, karena pikiran dan hatiku belum benar-benar tenang. Dia menanyakan lagi dengan siapa aku berjalan dari kampungku, dan hubunganku dengan orang yang aku cari, tapi jawabanku hanya setengah hati, perasaanku belum benar-benar tenang.

Dari jalan kami belok kekanan dan berjalan diatas pematang sawah. Kami berbelok beberapa kali kekiri maupun kekanan mengikuti alur pematang sawah. Satu pertanyaan yang tak dapat ku jawab. Kenapa berani sekali berjalan seorang diri!. Dia juga terkejut ketika aku menjawab umurku 11 tahun dan kelas 4 SD.

Sawah-sawah yang kami tempuh semakin dekat ke kaki bukit, hingga pematang terakhir, kami sudah memasuki perkampungan lagi. Tapi antara rumah yang satu dengan yang lain berjauhan. Kami melewati beberapa pohon kelapa, melangkahi pelepah daun kelapa tua dan kering yang nampaknya baru jatuh dan melintang dijalan setapak yang kami lalui. Kami sampai disebuah rumah panggung yang sudah tua. Dinding kayunya sudah mulai kelihatan lapuk. Atapnya yang terbuat dari seng sudah karatan dimakan usia

Dihalaman rumah, orang yang mengantarku berhenti, dan memanggil.

"Uni Dan...!, uni Dan...!

"Oi, sia tu...? Darahku berdebar, karena suara itu kukenal, tapi aku ragu, karena dialeknya berbeda, bukan dialek kampungku. Terdengar langkah kaki di lantai papan rumah panggung itu, dan kemudian muncullah dari jendela wajah yang sedang kucari!

"Mi, wak ang, Mi...? katanya setengah berteriak sambil bergegas menuju tangga. Satu wajah lagi muncul dari jendela, seorang laki-laki tersenyum padaku, aku bertanya dalam hati, mungkin ini suami kakakku anduang Pidan?.

Tapi aku tak sempat membalas senyumnya, karena kakakku telah sampai di halaman, dan memeluk aku sambil menangis, serta mengajukan pertanyaan yang tak putus-putusnya, sehingga tak satupun yang sempat terjawab. Aku hanya tertunduk diam, namun dihatiku terbersit rasa lega, karena pencarianku menemui kakakku tidak sia-sia.

Aku digiring anduang Pidan naik kerumahnya, dia juga mengajak orang yang mengantarku naik kerumah. Aku diperkenalkan pada suaminya, juga anak-anaknya. Yang tertua Iza satu-satunya perempuan, nomor dua Pian, dan sibungsu Daf. Kedua kemenakan-ku yang laki-laki itu nampaknya pemalu, karena begitu aku naik kerumah, mereka bersembunyi di kamar, tak mau menemuiku ketika diajak untuk bersalaman. Sedangkan nama sumando-ku Abdul Azis, demikian dia menyebutkannya.

Setelah kakakku menyajikan minuman, dia menoleh padaku; “Lah makan ang, Mi…?

Aku hanya diam, ketika kakakku menanyakan sudah makan apa belum. Aku malu sama sumandoatau kakak iparku untuk menjawab, juga pada orang yang mengantarku tadi. Sebenarnya aku memang sedang lapar. Godok yang kubeli dan kumakan di Biaro tadi, rupanya sudah tak sanggup menangkal rasa laparku.

“Tantu iyo inyo lapa, dima pulo inyo kamakan sapanjang jalan...!?.”

Rupanya sumandoku mendengar ratapan perutku, yang manggareok belum ketemu nasi sejak sarapan di kampung tadi pagi, sebelum aku berangkat.

Kakakkupun menyiapkan makan, sementara dia bekerja, aku shalat ashar. Sumandoku meneruskan obrolannya dengan tamunya yang tadi mengantar aku.

Setelah selesai makan, tak lama orang yang mengantarkan aku pamit.

Tinggallah kami bertiga melanjutkan obrolan yang terputus. Anak-anak kakakku asyik pula dengan mainan mereka. Sebenarnya tidak tepat kalau kami dikatakan ngobrol, kendali obrolan dipegang oleh sumandoku, sesekali ditinggkah oleh kakakku, dan “obrolan” itu tak lebih dari sekadar arena tanya jawab antara mereka denganku. Bagaimana keadaanku, sekolahku, keadaan keluarga yang lain, amai Uda dan keluarganya, etek Timah beserta suami dan anak-anaknya, rumah gadang yang kutinggali sendiri, kebun yang disaduokan, sawah yang tergadai, yang aku tidak tahu siapa yang memagangnya.

Obrolan kami sampai kenapa mereka pulang dari rantau di Pakanbaru, dan menetap dikampung. Tuan Azis, menceritakan, mereka pulang kampung karena disuruh oleh kedua orang tuanya yang sudah tua. Sawah ladang mereka tidak ada yang megurus. Sebagai anak yang tertua, dia diberi tangung jawab untuk mengelola semuanya. Sementara adik-adiknya kecuali yang bungsu dan seusia denganku, juga pada pergi merantau dan telah “menjadi orang”, tidak mungkin pulang dan tinggal di kampung.

Selesai shalat magrib, kami pergi kerumah orang tua suami kakakku, juga anak-anaknya yang pemalu itu. Rumahnya tepat seperti yang ditunjukkan orang yang mengantarkan aku siang tadi. Dikelilingi oleh sawah, kecuali bagian samping yang bersisian dengan rumah orang lain yang berhadapan langsung dengan jalan. Dibelakang rumahnya terdapat sebuah tabek yang panjangnya seukuran rumahnya.

Setelah tuan Azis membuka pintu dan mungucapkan salam, kami masuk.

Didalam rumah aku melihat sepasang orang tua menyambut kami, dan seorang anak laki-laki sebaya aku. Kami bersalaman dengan ayah dan ibu tuan Azis, serta adiknya yang ketika diperkenalkan bernama Muslim. “Episode” tanya jawabpun terulang lagi. Didikan kampung, yang berkaitan dengan adat yang distilahkan dengan falsafah jalan nan ampek, yaitu; jalan mandaki, jalan manurun, jalan mandata dan jalan malereng, membuat aku bersifat pasif dalam obrolan ini. Aku hanya menjawab apa yang ditanyakan.

Jalan mandaki, mengajarkan aku untuk menghormati, sopan dan santun terhadap orang tua.
Jalan manurun, menyuruh aku untuk menyayangi mereka yang lebih kecil dari aku. Adik-adikku ataupun siapa dia yang usianya dibawah aku.
Jalan mandata, adalah pergaulan antar sesama besar atau mereka yang sebaya denganku.
Jalan malereng, inilah yang kuhadapi kini, yaitu pergaulanku dengan sumando atau kakak ipar serta mertua kakakku. Aku tak ingin mempermalukan kakakku gara-gara tingkahku.

Pertemuan malam itu berakhir setelah terlihat kedua orang tua tuan Azis telah memperlihakan isyarat akan beristirahat. Kami pamit dan pulang kembali ketempat semula, rumah tua di kaki bukit.

Ada satu hal yang menarik perhatianku dalam pertemuan malam itu; anduang Pidan benar-benar telah menguasai berbicara dengan dialek bahasa orang Padang Tarok. Alangkah lamanya kami tak bertemu, dan banyaknya perubahan yang terjadi sejak kami berpisah di Pakanbaru dulu, dimana saat itu dia dan anduang Ipah masih gadis, sementara kini anaknya telah tiga orang. Rahmaniza, Alfian dan Muhammad Dafris

Tidak ada komentar:

Posting Komentar