Handphone Berkamera, Pembunuh Studio Foto Kelas Menengah Kebawah


Sebelum datangnya era kamera digital, kita banyak menemukan studio foto. Apakah itu di kota-kota besar maupun di kota kecil, hingga ke kampung-kampung.

Studio foto itu, mulai yang mengambil tempat di ruko-ruko untuk yang berlevel kelas menengah atau atas. Hingga yang menjadikan teras rumah yang dibuat warung untuk di jadikan studio foto untuk kelas bawah. Maupun yang berada di pasar-pasar Inpres ataupun di pasar tradisional. Serta studio sederhana dengan perlengkapan seadanya di kaki lima atau yang mendirikan kios kecil dengan menempati jalur hijau.

Pada awal masuknya era kamera digital, studio foto kelas bawah ini belum begitu terganggu eksistensinya. Para pengusahanya masih bisa bertahan hidup dengan pendapatan yang cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. 

Hajat hidup studio foto kelas bawah ini baru terganggu setelah masuknya era handphone atau telepon genggam berkamera.

Kamera yang pada awalnya hanya ada pada telepon genggam kelas atas yang mahal, belakangan merebak ke telepon genggam kelas bawah. Apalagi setelah datangnya serbuan telepon genggam buatan Cina yang berharga murah meriah. Kini boleh dikatakan, tak satupun produk baru telepon genggam ini yang tidak di lengkapi dengan kamera.

Dengan datangnya serbuan telepon genggam berkamera ini, pelan-pelan studio foto kelas bawah ini keberadaannya mulai mendapat ancaman dan gangguan. Pangsa pasar yang tadinya masih cukup besar mulai menyusut. Setiap keluarga mulai mempunyai telepon genggam berkamera ini, dan memakainya untuk kebutuhan keluarga, untuk santai, ulang tahun malah yang ekstrim ada yang memakainya untuk acara pernikahan. Lahan yang selama ini di isi oleh studio foto kelas bawah ini.

Pelan-pelan, satu persatu, studio foto ini mulai gulung tikar karena kehilangan pangsa pasar, kalaupun mereka bertahan, pendapatan mereka tak mencukupi lagi untuk menutup biaya operasional. Bagi yang cukup modal dan melek teknologi, mereka segera mengikuti trend era digital ini. Menambah investasi untuk pembelian kamera digital, serta seperangkat komputer yang di lengkapi printer khusus untuk pencetak foto.

Sayangnya investasi yang di tanam ini, juga tak menjanjikan akan segera mencapai titik impas atau pulang modal. Karena pada umumnya mereka yang memakai telepon genggam berkamera ini juga tak selalu mencetak setiap foto yang di abadikan. Mereka hanya menyimpannya di memori kamera, lalu sewaktu-waktu melihatnya. Bila telah bosan lalu menghapusnya yang kemudian diisi lagi dengan foto-foto baru.
Beberapa teman seprofesi saya yang selama ini hidup dari studio fotonya, telah banting setir. Ada yang memugar studionya, lalu di jadikan warnet . Ada juga yang merubah studionya menjadi depo air minum isi ulang.

Serbuan tehnologi fotografi Digital ini tidak hanya melenyapkan studio-studio kecil kelas bawah. Tapi juga kelas menengah. Beberapa studio foto di kawasan Roxy, Jakarta Pusat, kini telah menutup pintu, menyerah. Beberapa studio yang tinggal, kini juga hidup dalam ambang ketidak pastian. Karena kekurangan order yang parah. Pengurangan tenaga, suatu hal yang makin sering terjadi.

Saya tidak begitu tahu bagaimana keadaanya dengan mereka yang berada di Jalan Sabang, dimana terdapat begitu banyak studio foto yang berderet di kiri kanan jalan.

Bagaimana situasinya di  kota-kota lain di Indonesia? saya kira tidak jauh berbeda.
Lalu bagaimana dengan studio-studio kelas atas? Walau badai era telepon genggam berkamera juga menerpa mereka, tapi mereka sudah punya pangsa pasar yang lebih terjaga dan spesifik, makanya mereka tetap bisa berkibar di tengah studio menengah maupun kecil mulai menghilang satu persatu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar