Aku Disandera

Sebagai seorang anak yatim piatu yang juga miskin, aku jarang sekali punya uang jajan. Kalau ada orang kampung yang kasihan padaku, lalu memberiku uang, baru aku bisa jajan dan menikmati satu atau dua buah penganan yang di jual di warung dekat Simpang Labuah.

Sekali waktu, aku di beri uang jajan sama orang yang masih ada hubungan keluarga denganku, walau keluarga jauh.

Kebetulan hari itu adalah hari jum’at. Salah satu diantara dua hari pasar di pasar desa kami yang orang kampung menyebutnya pekan. Sehabis shalat Jum’at, aku langsung berjalan ke pekan. Uang tadi aku simpan di kantong celana. Aku sudah membayangkan mau jajan apa aku nanti di pekan, tak terasa akupun menelan ludah, membayangkan makanan-makanan enak yang nanti dapat aku beli di pekan. Tanganku sebentar-sebentar keluar masuk kantong celanaku, memastikan uang sebanyak 5 rupiah itu masih ada disana.

Sampai di pekan aku langsung menuju deretan pondok-pondok kecil beratapkan daun rumbia, tempat para pedagang makanan berjualan. Begitu banyak pilihan, ketupat sayur, sate, pecal, kue mangkok, serabi yang diberi kuah gula merah, bika panggang dan banyak lagi, yang semuanya itu membuat aku bingung menentukan pilihan, karena semuanya enak.

Dalam mencari makanan yang akan aku nikmati, sebelah tanganku tidak lepas dari kantong, memegang uang jajanku, memastikan uang masih berada disana.

Aku lalu mendekati warung pedagang yang menjual ketupat sayur, memesan ketupat sayur seharga 5 rupiah, sesuai dengan jumlah uang yang ada di kantongku. Sambil berdiri di dekat bangku kayu panjang tempat aku akan duduk nanti, aku begitu ngiler melihat makanan yang berada di depan mataku, aromanya yang begitu menusuk hidung membuat aku tambah lapar dan semakin ingin sesegera mungkin menikmatinya.

Aku mengeluarkan uang dari kantong celanaku, berancang-ancang untuk langsung membayar pesananku. Tapi pikiran lain berkelebat di kepalaku, yaitu aku akan membayar nanti setelah selesai memakan ketupat sayur itu. Seketika tanganku yang tengah memegang uang itu, segera kutarik kembali.

Karena ketupat sayur pesananku sudah di sodorkan kepadaku, aku lalu mengambilnya. Sejenak aku bingung, uang yang ada di tanganku mau di letakkan dimana? Secara refleks tangan kiriku mengambil uang yang terjepit di tangan kananku, di bawah piring yang berisi ketupat sayur pesananku.

Meja pedagang ketupat sayur itu tidak cukup besar, sesuai dengan ukuran warungnya. Sisa tempat dimana aku meletakkan piring ketupat sayur itu cukup sempit, karena mejanya telah dipenuhi oleh panci-panci besar berisi sayur nangka, daun pakis dan rebung. Sayur yang dapat dipilih sebagai teman pemakan ketupatnya.

Bila orang dewasa memakan ketupat sayur di warung itu, mereka cukup memegang piringnya dengan tangan kiri. Sementara tangan kecilku belum cukup kuat untuk memegang piring itu sebelah tangan, akupun lalu meletakkan piring di atas meja. Karena sisa meja tempat aku meletakkan piring ketupat sayur itu cukup sempit, maka untuk menahan piring agar tidak jatuh, maka aku harus menahannya dengan tangan kiri, tapi tangan kiriku saat itu juga tengah memegang uang. Agar tangan kiriku bebas menahan piring, maka uang yang aku pegang lalu diletakkan di atas bangku yang kemudian aku duduki. Dalam pikiranku uang itu kini aman karena aku duduki.

Selesai makan aku lalu berdiri untuk mengambil uang yang berada diatas bangku yang tadi aku duduki, tapi uang itu tidak ada!

Sambil bertanya-tanya di dalam hati kemana perginya uang itu, aku mencarinya di bawah bangku. Aku juga meraba paha belakangku yang memakai celana pendek, kalau-kalau uang itu menempel dan lengket disana, nihil. Para pembeli yang berada disampingku ikut bertanya, ada apa. Aku lalu mengatakan uangku yang tadi aku letakkan dibangku dan aku duduki, tidak ditemukan.

Rupanya pedagang ketupat sayur itu juga mulai tertarik dengan tingkahku yang celengukan kesana kemari kebingungan.

“A tu, a nan ang cari? Pedagang ketupat sayur itu menanyaiku, sambil terus melayani pembeli lain.

“Pitih awak balatakan di bangku ko cako, indak basuo...” aku menjawab, keringat dingin mulai membasahi tubuhku.

“Bilo lo ang malatakan pitih disinan...?”

“Cako, sabalun awak mamakan katupek...”  Rasa takut semakin membuatku merasa terpojok, mukaku mulai pucat.

“Indak ado bagai ang malatakan pitih nampak di den doh, baduto ang rangan...” pedagang ketupat sayur itu mulai menuduhku berbohong.

Aku benar-benar terpukul dengan tuduhannya bahwa aku telah membohonginya.

“Indak ado ang bapitih, ang kecekan pitih ang ilang. Ka makan katupek perai ang disiko...”

Pedagang itu semakin memberondongku dengan tuduhan-tuduhannya, bahwa aku ingin makan gratis disana. Aku hanya diam terpaku mendengar tuduhan itu, aku benar-benar terhenyak tak berdaya. Keinginanku untuk mencari uangku yang hilang langsung sirna. Tanpa dapat dicegah airmataku menetes membasahi pipiku. Penyesalan kenapa uang tadi tidak langsung saja aku berikan untuk membayar, disaat dia menyuguhkan piring berisi ketupat sayur itu padaku, semakin membuat aku terpuruk menyesali  diri sendiri.

“Kini tagak ang di suduk tu, sabalun ang baia katupek den waang indah buliah pai...” pedagang itu menyanderaku dengan menyuruh berdiri di sudut warungnya. Aku hanya bisa terdiam membisu tanpa bisa bicara-apa sambil beringsut dari tempatku berdiri kearah yang di tunjuknya.

Sambil menyesali perbuatanku yang ceroboh meletakkan uang sembarangan, aku menghapus airmata yang masih saja menetes. Dalam kesedihanku, aku bingung tak tahu harus berbat apa. Aku juga menyesali, kenapa kemiskinan keluarga kami membuat aku seperti sekarang ini. Sementara para pedagang-pedagang lain yang tadi ikut melihat kejadian itu mulai kembali sibuk dengan dagangannya, begitu juga si pedagang ketupat itu.

Para pembeli ketupat sayur yang datang silih berganti, heran melihat aku berdiri mematung, tertunduk sambil menangis di sudut warung ketupat sayur itu. Setiap ada pembeli yang bertanya, tuduhan kotor itupun selalu di ulang-ulang sang pedagang, yang membuat mereka ikut sinis melihatku, sedang aku merasa semakin terbenam dalam ketidak berdayaan, karena tidak bisa membela diri.

Aku tidak tahu berapa lama aku berdiri jadi sandera di sudut warung pedagang ketupat sayur itu, tapi cukup untuk membuat kakiku kesemutan karena berdiri mematung disana.

“Manga ang di siko Mi? Satu suara terdengar membangunkan aku dari lamunan penyesalan.

Belum sempat aku menjawab dan melihat siapa yang datang, pedagang ketupat sayur itu lebih dulu menyerocos memotong pertanyaan yang ditujukan padaku itu.

“Iko, anak uni ko. Kaciak baru lah pandai baduto. Lah jaleh wakno indak bapitih, makan katupek no di siko. Lah kanyangno dikecekanno pitihno ilang di ateh bangku tu...”

“Iyo, Mi? Aku hanya mengangguk tanpa berani mengangkat kepala.

“Bara ang makan katupektu...” suara lembut itu kembali menanyaiku, tapi belum sempat aku menjawabnya, sang pedagang dengan cepat memotong.

“Sapuluah rupiah...”

Aku terkejut mendengarkan harga yang dikatakan pedagang itu, bukankah aku tadi hanya makan ketupat sayur seharga 5 rupiah? Tapi aku tak berani membantah kebohongan yang telah dikatakannya.

Si ibu yang ternyata adalah orang sekampungku di Ladang Darek, yang walaupun tidak mempunyai hubungan keluarga denganku,  lalu membayar harga yang dikatakan pedagang ketupat itu.

“Paja ko anak yatim piatu komah, diagiah banano sapiriang alun karugi bagai lai doh, mungkin malah batambah rami galeh kau ko...”

Sambil mengambil uang kembalian, si pedagang ketupat sayur itu hanya diam mendengarkan omongan si ibu yang membebaskanku itu.
.
“Taruh pulang dih...” kata si ibu menyuruhku pulang setelah membebaskan aku penyanderaan.

“Jadih mai...”  jawabku sambil mengangguk, kemudian berjalan meninggalkan warung pedagang ketupat sayur itu dengan lega. Tapi dalam hati aku tetap marah pada si pedagang, karena telah mencatut harga ketupat sayur yang aku makan itu dua kali lipat dari harga sebenarnya....


1. “Apa yang kamu cari?
2. “Uang saya diletakkan di bangku ini tadi, tidak ketemu...”
3. “Kapan kamu meletakkan uang disana?”
4. “Tadi sebelum saya makan ketupat...”
5. “Saya tidak melihat kamu meletakkan uang di sana, kamu berbohong barangkali...”
6. “Kamu tidak punya uang, kamu katakan uang kamu hilang. Mau makan ketupat gratis kamu disini...”
7. “Sekarang berdiri kamu di sudut itu, sebelum kamu bayar ketupat saya, kamu tidak boleh pergi...”
8. “Sedang apa kamu disini Mi?”
9. “Ini, anak mbak ini. Kecil-kecil sudah pandai berbohong. Sudah jelas dia tidak punya uang, makan ketupat dia disini. Sudah kenyang dikatakannya uangnya hilang diatas bangku itu...”
10. “Benar, Mi?
11. “Berapa harga ketupat itu?
12. “Sepuluh rupiah...”
13. “Anak ini anak yatim piatu, kamu beri dia sepiring belum tentu bakalan menimbulkan kerugian, mungkin malah akan semakin laris dagangan kamu ini...”
14. “Langsung pulang ya...”
15. “Ya, bu..”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar